Kamis, 19 Februari 2009

Keberagaman Identitas dalam Kesatuan Kultur

PENGUASAAN pilihan politik di Kepulauan Riau tak terlepas dari kemampuan parpol menguasai basis massa di kawasan pedesaan. Hal ini terkait dengan kondisi geografis wilayah yang tersebar di 2.408 pulau dengan beragam karakter demografis.

Dari keseluruhan wilayah Provinsi Kepri, yang terdiri dari empat kabupaten dan dua wilayah kota, tercatat Kota Batam dan Kota Tanjung Pinang yang paling banyak memiliki daerah yang bisa dikategorikan wilayah perkotaan. Kategorisasi ”kota” ini diukur dari ketersediaan infrastruktur perkotaan, karakter demografis, dan perkembangan pembangunan sektor industri.

Hal ini sejalan dengan ”pola” kemenangan Partai Golkar di wilayah pedesaan. Jika memerikan hasil Pemilu 2004 di Kepri, tampak partai Golkar unggul di kawasan yang mayoritas penduduknya tinggal di pedesaan. Semakin banyak penduduk pedesaan di satu daerah, semakin besar pula perolehan suara Golkar di daerah itu.

Persentase perolehan suara Golkar paling banyak terdistribusi di Natuna (72,6 persen penduduknya tinggal di daerah pedesaan) dan di Lingga (65,9 persen penduduk tinggal di pedesaan). Di dua daerah itu Partai Golkar meraup masing-masing 25,39 persen dan 23,21 persen suara. Adapun di Karimun, Golkar unggul dengan 19,44 persen suara dan di Kabupaten Kepulauan Riau menang dengan 18,37 persen suara.

Kondisi berbeda tampak di Kota Tanjung Pinang, yang secara demografis termasuk kategori perkotaan, Golkar kalah oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang meraup 21,11 persen suara pemilih.

Demikian juga di Kota Batam, PAN lebih unggul dengan perolehan 15,49 persen suara. Di kota industri ini Partai Golkar hanya mampu menempati posisi keempat dengan 11,27 persen suara. Di bawah PAN adalah PKS (13,81 persen), PDI-P (13,07), dan PDS (11,81).

Hasil pemilu legislatif 2004 di provinsi ini memang tidak menunjukkan kesenjangan yang mencolok dalam distribusi perolehan suara empat partai terpopuler. Pada Pemilu 2004 Partai Golkar menang dengan 15,90 persen suara, disusul PDI-P (14,39), PAN (11,47 persen), dan PKS (10,87 persen).

Hal ini berbeda dengan ”saudara”-nya Provinsi Riau (daratan), di mana perolehan suara Partai Golkar dalam pemilu legislatif 2004 memiliki rentang yang cukup jauh dibandingkan parpol-parpol lainnya.

Keberagaman penduduk

Kepulauan Riau adalah wilayah yang heterogen dari sisi etnisitas. Meskipun secara demografis didominasi etnis Melayu, tetapi perkembangan industri di sebagian wilayah (Batam) menjadikan sebagian wilayah Kepri banyak ”diserbu” pendatang pencari kerja.

Hal itu tampak dari proporsi penduduk berdasarkan etnis yang menunjukkan jumlah penduduk suku Melayu-Riau, sebagai suku asli, tidak terpaut signifikan dengan jumlah penduduk dari suku-suku pendatang.

Penduduk dari suku asli Melayu-Riau hanya berkisar 31,18 persen, sementara masyarakat asal Jawa yang tersebar di sejumlah kabupaten sebanyak 22,24 persen dari total populasi. Lebih dari separuh jumlah orang Jawa di Kepulauan Riau menetap di Kota Batam. Selain orang Jawa, jumlah signifikan penduduk dari suku lain adalah masyarakat suku asal Minang dan etnis Tionghoa.

Melihat keberagaman di Kepri ibarat memetakan wilayah itu secara geografis, terpecah menjadi ribuan pulau dan masing-masing memiliki kekhasannya sendiri.

Sita Rohana, Peneliti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Kepulauan Riau, menganalogikan masyarakat Kepri sebagai ”pulau-pulau yang tercairkan oleh laut”.

Masyarakat Kepri, khususnya orang asli yakni suku Melayu, sangat terbuka terhadap pendatang. Bahkan, sejarah kesultanan wilayah ini terbentuk oleh sebuah perbauran suku Bugis dan Melayu.

Karakter terbuka seperti ini agaknya berpengaruh pada sifat pragmatis masyarakat di Kepri. Pilihan politik tidak didasarkan pada sebuah landasan ideologis yang cukup kuat. Partai-partai yang dinilai mampu menyentuh kebutuhan dan harapan masyarakat secara langsung yang akan berhasil, tetapi dengan catatan, sangat mungkin pilihan ini berubah sewaktu-waktu.

Kemenangan nasionalis

Secara keseluruhan, preferensi politik di wilayah Kepri cenderung didominasi oleh partai-partai berhaluan nasionalis. Kecenderungan ini tampak dari pengalaman dalam berbagai pemilu yang secara konsisten dimenangi oleh Partai Golkar dan PDI-P.

Kondisi tersebut berkebalikan dengan masa awal pascakemerdekaan. Pada pemilu pertama 1955 wilayah Kepri merupakan basis kekuatan Partai Islam. Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) berhasil merebut lebih dari separuh suara pemilih (52,90 persen) di Kepulauan Riau.

Namun, pada pemilu berikutnya—16 tahun kemudian (1971)— tidak ada partai berbasis Islam lainnya yang mampu menggantikan posisi Masyumi yang dibubarkan oleh Soekarno. Partai NU (Nahdlatul Ulama), yang cukup berwibawa saat itu, hanya mampu merebut 8,86 persen suara, sedangkan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) hanya mampu meraih 4,18 persen suara.

Kekuatan politik Orde Baru menguasai birokrasi membalikkan kawasan ini beralih menjadi basis kekuatan partai berhaluan nasionalis. Pada pemilu pertama periode Orde Baru, Partai Golkar langsung meraup 80,92 persen suara.

Pada pemilu-pemilu berikutnya Partai Golkar selalu berhasil merebut suara mayoritas pemilih di Kepulauan Riau. Selama enam kali penyelenggaraan pemilu pada era Orde Baru perolehan Golkar selalu tertinggi dengan raihan suara rata-rata di atas 75 persen. Kekuatan Partai berhaluan nasionalis ini bertahan secara konsisten di ”Bumi Segantang Lada” hingga penyelenggaraan pemilu terbaru tahun 2004 dan sejumlah pemilihan kepala daerah sejak tahun 2005.

Pascatumbangnya era Orde Baru, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berhasil merebut dominasi dengan perolehan 35,3 persen suara. Pencitraan Megawati yang diikonkan sebagai tokoh perlawanan dan korban represi Orde Baru yang bisa jadi mendongkrak perolehan suara partai berlambang banteng gemuk itu.

Kemenangan PDI-P di Kepri hanya bertahan satu periode. Pada Pemilu 2004, Partai Golkar kembali menang (walaupun tipis) atas PDI-P dengan perolehan suara masing-masing 15,90 persen dan 14,39 persen suara, sementara PAN, meskipun perolehan suaranya meningkat, berada di posisi ketiga dengan 10,58 persen suara.

Pilkada dan Pemilu 2009

Perkembangan demokrasi di tingkat lokal yang tecermin dari penyelenggaraan pilkada masih mendukung asumsi bahwa partai-partai berhaluan Islam tidak mampu merebut suara mayoritas publik di Provinsi Kepri.

Partai Golkar, misalnya, terlihat cukup percaya diri ketika secara tunggal mengusung pasangan calon bupati di Kabupaten Kepri dan Natuna. Di Kabupaten Kepri, Partai Golkar berhasil mengawal Ansar Ahmad dan Mastur Taher menduduki kursi bupati dan wakil bupati dengan perolehan 31,29 persen suara. Adapun di Natuna, Partai Golkar sukses memenangkan pasangan Daeng Rusnandi-Raja Aminullah dengan 34,69 persen suara.

Di dua pilkada lainnya, Golkar cukup berhasil mengusung pasangan calonnya meskipun harus melakukan koalisi dengan sejumlah partai lain. Kegagalan partai Golkar hanya terjadi di Kabupaten Lingga yang dimenangi oleh koalisi Partai Demokrat dan PIB.

Namun, partai Golkar dan PDI-P patut waspada sebab dalam dua pemilu terakhir perolehannya tidak konsisten di Kepulauan Riau, apalagi jumlah suara yang diperoleh Partai Golkar cenderung anjlok dibandingkan pemilu sebelumnya.

Begitu juga PDI-P, yang hanya bisa mempertahankan separuh suara pemilihnya pada Pemilu 2004 dibandingkan Pemilu 1999. Sebaliknya, partai-partai berbasis Islam, seperti PAN dan PKS, meskipun tidak unggul, tetapi perolehan suaranya cenderung stabil, bahkan meningkat.

Dalam persaingan politik yang semakin riuh, partai yang memiliki massa riil dan kuat di satu daerah akan lebih diuntungkan. Pemilu 2009 akan diramaikan oleh lebih banyak parpol ketimbang Pemilu 2004. Popularitas dan kekuatan partai-partai nasionalis memelihara konstituen akan diuji kemampuannya bertahan di bumi segantang lada tiga bulan ke depan. (Suwardiman/ Litbang Kompas)

Melayu-Riau, Melayu-Bugis

MASYARAKAT di Kepulauan Riau, khususnya melayu, cenderung berkarakter terbuka. Hal ini tampak dari bagaimana masyarakat di wilayah kepulauan ini bisa berbaur dengan keragaman etnis yang ada. Sejarah masyarakat Kepulauan Riau memang dimulai sekaligus dibangun dari sebuah perbauran dua etnis, Melayu dan Bugis.

Maka, pendikotomian Melayu-Bugis dalam konteks Kepulauan Riau menjadi tidak relevan lagi dalam konteks saat ini. Titik mula persatuan dua suku ini adalah persatuan yang ditetapkan oleh puak Melayu dan Bugis yang datang dari Sulawesi dan membentuk sebuah kerajaan baru pada tahun 1772.

Sita Rohana, peneliti di Balai Pelestarian Sejarah Kepulauan Riau, menjelaskan bahwa kelompok Bugis di Riau yang sudah ada sejak masa periode kesultanan sudah tidak lagi bisa dibilang Bugis, tetapi Melayu. Identifikasi Bugis-Melayu hanya bisa dilakukan terhadap kelas bangsawan melalui gelar yang menempel pada namanya.

”Kelompok masyarakat keturunan Bugis yang sudah ada sejak periode kesultanan lebih banyak yang sudah mengidentifikasi dirinya sebagai Melayu,” kata Sita Rohana.

Etnis melayu merupakan etnis dominan di Kepulauan Riau. Menurut sensus penduduk terakhir, penduduk bersuku Melayu Riau berjumlah sekitar 310.000 jiwa, sementara suku Jawa yang banyak terdapat di Batam dan Tanjung Pinang berjumlah sekitar 220.000 jiwa. Komposisi penduduk etnis Tionghoa juga signifikan, mencapai hampir 10 persen dari total penduduk.

Semangat lokalitas juga menjadi faktor yang turut mewarnai atmosfer politik di Kepulauan Riau. Seperti diungkapkan oleh sejarawan Aswandi Syahri, apa pun yang dibuat di Kepulauan Riau ”ruh”-nya adalah semangat Melayu. Simbol-simbol kemelayuan sering kali digunakan dalam kontestasi politik di Kepulauan Riau.

Saat pemilihan gubernur tiga tahun lalu, misalnya, pasangan Ismeth Abdullah-M Sani mengangkat nilai adat Melayu dalam berbagai cara dalam kampanye. Salah satunya adalah dengan mengangkat dan mengagungkan Pulau Penyengat sebagai salah satu pusat terakhir Kerajaan Riau.

Dalam pendekatan politik identitas, keterkaitan antara karakteristik etnis dan perilaku politik suatu masyarakat merupakan suatu keniscayaan. AP Cohen (Boundaries and Boundary-Conciuousness: Politizing Cultural Identity, 1998) menjelaskan kedekatan etnis, dalam kondisi tertentu, sering kali berpengaruh kuat terhadap ekspresi politik.

Sentimen kedaerahan dan simbol-simbol identitas kelompok masyarakat (seperti etnis dan agama) tak jarang digunakan sebagai alat untuk membangun kekuatan politik. (Suwardiman)

"Politik Tempatan" Mendikte Kemenangan

DARI pemilu ke pemilu, Riau bagaikan sebuah ”oase” dukungan politik bagi Partai Golkar. Kemenangan demi kemenangan diraih partai beringin ini dalam pemilu. Namun, pertarungan politik lokal dalam pilkada bisa jadi mengubah konstelasi kekuatan politik dominan.

Riau daratan menyimpan catatan mengesankan bagi Partai Golkar. Di provinsi ini, partai beringin berdiri kokoh selama berpuluh tahun. Berkali- kali pemilu dilakukan, senantiasa dimenangkan oleh Golkar, beberapa di antaranya mencapai persentase yang nyaris mutlak. Dalam Pemilu 1971 hingga 1992, posisi Golkar kokoh memimpin dengan perolehan antara 71 dan 79 persen suara, bahkan mencapai 80,2 persen dalam Pemilu 1997.

Demikian juga saat perolehan suara Partai Golkar secara nasional mengalami keterpurukan pada Pemilu 1999, kemenangan masih tetap bisa diraihnya. Golkar membukukan kemenangan dengan 29,7 persen mengungguli PDI-P di tempat kedua dengan 27,4 persen. Malahan pada pemilu legislatif 2004, citra Golkar seakan telah kembali ”pulih” dan membukukan kemenangan dengan hampir tiga kali lipat suara PDI-P.

Kelembaman pergeseran pilihan politik pemilih pemilu di Riau menimbulkan pertanyaan tentang karakter hubungan pemilih wilayah ini dengan sosok parpol. Apalagi dilihat dari sebaran perolehan suara partai di setiap kabupaten/kota, tidak tampak kekuatan dominan pengimbang Golkar. Hanya di Kabupaten Bengkalis dan Rokan Hilir suara PDI-P cukup dekat membuntuti.

Kondisi ini berkebalikan dengan hasil Pemilu 1955, di mana konstelasi politik menunjukkan dominasi partai-partai Islam. Dalam pemilu pertama itu, kekuatan partai Islam mencakup 80,1 persen suara: Partai Masyumi memperoleh 52,8 persen; Perti 20,3 persen, dan Nahdlatul Ulama 7,96 persen suara. Tak hanya di Riau, dominasi partai Islam malahan mencakup seluruh wilayah Sumatera Tengah waktu itu.

Kenyataannya, ”loyalitas” orang Riau kepada Golkar tidaklah monolitik dan tidak datang tiba-tiba. Kekuatan Golkar menanamkan pengaruh di bumi Lancang Kuning dibangun bertahap yang tecermin dari merambatnya perolehan Golkar dalam Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997. Handicap popularitas Golkar bukannya tak ada. Pada Pemilu 1977, perolehan suara Golkar nyaris disusul PPP.

Salah satu yang pasti, fondasi popularitas Golkar dibangun dari struktur birokrasi yang mampu membahasakan sosok partai ini dalam berbagai aspek kehidupan orang Riau. Demikian masifnya pengaruh Golkar sehingga sosok identitas dan ideologi ”moderat-developmentalis” ala Golkar menancap kuat dalam kehidupan Riau.

Secara fisik hal itu tampak dari model pembangunan fisik wilayah ini yang mendirikan bangunan-bangunan monumental simbolik Melayu yang megah. Namun, secara sosiologis, salah satu yang kuat menopang pilihan orang Riau kepada partai beringin adalah sikap budaya orang Melayu Riau sendiri yang cenderung memilih yang ”sudah pasti” dan ”sudah teruji”.

Dalam pandangan Ali Jufri, Dekan Fisip Universitas Riau, orang Riau menjadi cenderung pragmatis-realistis dan acapkali bersifat jangka pendek dalam menentukan pilihan politik. Kondisi demikian dimanfaatkan benar oleh Golkar yang paling mapan dalam akses sumber daya birokrasi dan jaringan kultural di masyarakat.

”Politik tempatan”

Kemampuan Golkar ”melokalkan” cita rasa parpol dengan budaya Melayu ditempuh dengan menempatkan tokoh lokal yang sudah dikenal baik dan mampu membahasakan kebutuhan mendasar masyarakat Melayu, kebanyakan putra daerah.

Pada saat era reformasi bergulir, para tokoh yang sudah dikenal itu tetap berada di tengah konstituennya sehingga masih memiliki kemampuan menarik pilihan publik. Tak hanya pada masa kini, sikap tersebut juga pernah dibuktikan pada Pemilu 1977. Sosok figur dan kekuatan dakwah pujangga Prof DR Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) terbukti mampu mengangkat perolehan suara PPP sehingga membayangi ketat keunggulan Golkar.

Dalam kondisi Riau, hal itu diterapkan dalam situasi yang tepat, yakni saat ini di mana pengakuan etnisitas orang Melayu sudah semakin ”substantif”, yakni penghormatan orang kepada nilai-nilai budaya Melayu- islam. Penduduk Riau tidak lagi terikat dalam pengakuan etnisitas Melayu sebagai puak-puak kekerabatan apalagi Melayu sebatas artian ras Melayu.

Di sisi lain, karakter ”politik tempatan” semacam itu menimbulkan dampak, yaitu minimnya calon-calon alternatif dalam Pilkada Riau. Dari jajaran kepala daerah yang terpilih dalam 12 kali pilkada, 7 di antaranya incumbent, 3 birokrat, dan 2 mantan ketua DPRD. Bahkan, dari keseluruhan 66 calon kepala daerah yang bertarung, hanya 2 orang yang berasal dari kalangan akademisi dan tak seorang pun dari calon perempuan yang muncul.

Pemilu 2009

Sekuat-kuatnya Partai Golkar menancapkan pengaruh, pelaksanaan pilkada di provinsi ini tampak mulai mengubah peta geopolitik. Dari 12 kali pilkada, termasuk di tingkat provinsi, hanya satu pertarungan di Kabupaten Bengkalis yang mampu dimenangkan Golkar sendirian. Tujuh kemenangan selebihnya, Golkar harus berkoalisi dengan berbagai partai Islam maupun parpol baru.

Dengan melihat cara pandang pragmatis orang Melayu Riau terhadap politik, perolehan suara parpol dalam Pemilu 2009 akan banyak ditentukan oleh sejauh mana parpol tersebut menempatkan caleg yang cukup dikenal oleh konstituen lokal. Penetrasi parpol, apalagi parpol baru, tak akan efektif tanpa penyertaan tokoh lokal.

Hal itu bisa berarti pertarungan Golkar dalam Pemilu 2009 tampaknya belum akan mendapat banyak tantangan. Apalagi partai ini lihai menjaga popularitas dengan membangun koalisi dengan parpol lain yang ”menjepit” mereka di kantong- kantong basis massa. Di Pekanbaru, di mana PAN kuat, Golkar melakukan koalisi, demikian juga di wilayah Kuansing yang berkultur Minang, Golkar berkoalisi dengan PPP. Tercatat hanya dengan PDI-P, Golkar tidak melakukan koalisi. (Toto Suryaningtyas/ Litbang Kompas)

Dalam Tarikan Islam dan Nasionalis

Oleh Bambang Setiawan

Pemerian kekuatan politik di Aceh tak lepas dari tarik ulur antara penetrasi partai-partai bernuansa Islam dengan partai-partai berhaluan nasionalis. Meskipun cenderung turun, secara keseluruhan kekuatan partai berbasis massa Islam masih dominan dengan meraih 55,75 persen suara di wilayah Aceh pada Pemilu 2004. Dalam pemilu sebelumnya, suara yang diraih mencapai 63,9 persen.

Kejayaan partai-partai Islam di wilayah "Serambi Mekkah" sebetulnya sudah diraih pada pemilu pertama, 1955, ketika Aceh masih menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Pemilihan kekuatan politik sudah cukup kentara, setidaknya dilihat dari perwujudan kekuatan partai di tiga wilayah yang berbeda: utara-timur, tengah, dan barat-selatan.

Gabungan suara yang diperoleh partai-partai Islam, seperti Masyumi, NU, PSII, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan PPTI, diseluruh wilayah Aceh mencapai 90,46 persen. Partai terbesar adalah Masyumi yang berhasil menggalang 75,57 persen pemilih. Suara terbesar untuk partai ini diperoleh dari wilayah utara dan timur (Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh timur). Sementara itu, di Aceh Barat dan Aceh Selatan, Masyumi harus berbagi dengan sesama partai Islam Lainnya, Perti dengan selisih tipis.

Di luar itu, Aceh Tengah memiliki corak yang sedikit berbeda dengan wilayah lainnya. Walau Masyumi unggul dengan 67,54 persen suara, tetapi di daerah ini eksistensi Partai Kristen Indonesia (Parkindo) terlihat lebih menonjol dibanding di wilayah Aceh lainnya. Parkindo mendapatkan 10,88 persen suara di wlayah ini. Keberadaan partai nasionalis, terutama PNI, juga cukup terasa meski hanya mendapatkan porsi 7,93 persen.

Karakter pemilih yang berbeda, menurut Teuku Dadek, pemerhati politik dan budaya Aceh, didasari oleh kultur politik dan etnis yang memang cenderung berlainan. Wilayah utara dan timur yang menjadi basis dari Partai Masyumi mayoritas adalah etnik Aceh yang menggunakan bahasa Aceh. Aceh Tengah yang didominasi oleh suku Gayo-Alas pada dasarnya merupakan kesatuan kultural yang memiliki sejarah, bahasa, dan kepentingan berbeda. Selain barakar pada keterikatan masyarakat dengan Kerajaan Linge yang memerintah pada abad XIII-XV, dalam perkembangan Aceh selanjutnya terjadi ketimpangan dalam distribusi kekuasaan. "Wilayah Aceh bagian tengah merasa terpinggirkan dari kekuasaan politik yang didominasi oleh elite dari Aceh bagian utara dan timur sehingga tidak heran kalau kemudian wacana untuk membentuk provinsi sendiri sempat mencuat," ungkap Dadek.

Sementara itu, bagian barat dan selatan yang sebagian mendukung Perti pada Pemilu 1955, pada dasarnya adalah kelompok masyarakat yang banyak dipengaruhi oleh kultur Minang. Sebagian dari masyarakat di wilayah ini menggunakan bahasa Aneuk Jamee, hasil akulturasi bahasa Aceh dan Minang. Partai Islam Perti yang mendapat dukungan mereka di wilayah ini, didirkan di Bukittinggi sebagai organisasi pendidikan bagi Muslim tradisional Minangkabau.

Penetrasi Orde Baru

Penetrasi kekuasaan Orde Baru lewat Golongan Karya dalam pemilu kedua yang digelar tahun 1971 langsung menyedot suara untuk partai-partai Islam hingga tinggal separuhnya (48,89 persen). Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Tengah, dan Banda Aceh pun berubah menjadi basis Golkar. Sebaliknya, meskipun pemilih di wilayah utara dan timur tetap mempertahankan kecenderungan mencoblos partai-partai Islam, tetapi tanpa kehadiran Masyumi (yang dibubarkan oleh pemerintah pada tahun 1960) basis massa Islam cenderung tersebar di Parmusi, Perti, NU, dan PSII. Di Pidie, Golkar menghadapi perlawanan paling berat dari partai-partai tersebut sehingga hanya bisa mengumpulkan 28,49 persen suara. Kekuatan Golkar juga kurang dominan di Aceh Utara dan Aceh Besar. Namun, periode setelah itu, penetrasi Golkar kian masif sehingga dalam pemilu terakhir di zaman Orde Baru (1977) Golkar menguasai semua wilayah Aceh.

Masa reformasi

Dalam pemilu demokratis tahun 1999, partai-partai bernuansa Islam kembali merebut sebagian wilayah yang dikuasai Golkar. Golkar dipaksa rela berbagi kemenangan dengan PPP dan PAN. Bahkan, PPP mampu memenangi empat kabupaten. Ketokohan putra kelahiran Aceh, Ismail Hasan Metareum, yang memimpin PPP (1994-1999), diperkirakan membuat partai ini memiliki eksistensi yang cukup kuat di Aceh. Adapun partai baru yang berbasis massa kalangan Muhammadiyah, PAN, berkibar di Kota Banda Aceh dan Pidie.

Kekuatan Golkar kembali naik dalam Pemilu 2004 dengan menguasai 10 dari 21 kabupaten/kota, terutama di wilayah-wilayah yang berdekatan dengan Sumatera Utara. Partai nasionalis lainnya, PDI-P, yang dalam pemilu sebelumnya mampu menang di Kabupaten Aceh Timur, tergerus dan menjadi partai yang tidak memiliki pengaruh signifikan.

Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mampu meraih dukungan terbesar di Kota Banda Aceh dan menggeser dengan suara dua kali lipat dari perolehan suara pemenang sebelumnya, PAN. (LITBANG KOMPAS)

Perburuan Suara di Kantong Suku dan Agama

Oleh MG RETNO SETYOWATI

Keragaman suku bangsa menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sosial masyarakat. Masyarakat Sumut terdiri dari berbagai kelompok suku yang terkategorikan dalam dua kelompok masyarakat, yaitu kelompok suku asli dan kelomppok pendatang. Melayu, Batak, dan berbagai sub-etnisnya, serta Nias, merupakan suku asli, sedangkan kelompok suku pendatang, antara lain Jawa, Minang, Tionghoa, Aceh, dan India.

Yang menarik, keragaman suku bangsa semacam ini diikuti pula oleh agama yang dianut maupun sebaran wilayah permukiman mereka. Oleh karena itu, kantong-kantong permukiman di bagian terbesar wilayah Sumut sekaligus merupakan kantong-kantong suku dan agama. Posisi kota, khusunya Medan sebagai ibu kota provinsi, menjadi wilayah pertemuan, yang menjadi simbol keragaman provinsi ini.

Catatan kependudukan menunjukkan, bagian terbesar penduduk Sumut memeluk agama Islam (mencapai 65 persen). Agama ini terutama dianut oleh kelompok suku Melayu dan Jawa yang menyebar di pesisir timur Sumatera, meliputi daerah Asahan, Simalungun, Deli Serdang, Langkat, Serdang Bedagai, Tanjung Balai, Binjai, Tebing Tinggi, dan Labuhan Batu.

Di samping itu, bagian barat dan selatan Sumut, meliputi wilayah Sibolga, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Padang Sidimpuan, yang dimukimi kelompok suku Mandailing pun, mayoritas beragama Islam.

Akan halnya agama Kristen, baik Protestan maupun Katolik, dengan proporsi total sebanyak 26,6 persen, dianut oleh suku Batak dengan berbagai kelompok subetnisnya yang tersebar di bagian tengah Sumut, Pegunungan Bukit Barisan, yang meliputi wilayah Tapanuli Utara, Karo, Dairi, Samosir, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, Pematang Siantar , dan Tapanuli Tengah. Di samping itu, Kristen juga menjadi Agama terbesar yang dianut masyarakat Nias yang bermukim di Pulau Nias, sebelah barat Pulau Sumatera.

Dinamika politik

Keragaman suku yang diikuti pula oleh pengelompokan yang spesifik berdasarkan agama dan wilayah permukiman ini tidak terhindarkan pula memengaruhi dinamika politik masyarakat setempat. Implikasi yang paling nyata terlihat dalam peta kekuatan organisasi politik di Sumut dan bagaimana penerimaan masyarakat terhadapnya dalam berbagai ajang kontestasi politik di wilayah ini. Dalam hal ini, sejarah penyelenggaraan pemilu selama ini, baik di tingkat nasional maupun lokal, dapat dijadikan refleksi atas kondisi tersebut.

Diawali dari hasil Pemilu 1955 yang melibatkan tiga kekuatan politik utama di Indonesia saat itu, yakni Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dari Pemilu 1955 itu terlihat adanya kecenderungan tarik-menarik kekuatan yang tinggi antara kelompok Islam dan non-Islam (Kristen, Nasionalis, Sosialis, dan Komunis). Saat itu Masyumi unggul. Perolehan suara partai-partai bercorak keislaman mampu meraup 47 persen suara. Sementara itu, partai-partai non-Islam hanya mampu meraih 38 persen suara.

Faktor masuknya Aceh sebagai bagian dari wilayah pemilihan Sumut menjadi penentu kemenangan partai-partai Islam di wilayah ini. Pada saat yang sama, pengaruh Kristen dan kesamaan suku tampaknya tidak terlalu menonjol terhadap pilihan partai yang mengusung agama ini. Umumnya, aspirasi politik lebih banyak tertuju pada PNI yang kala itu di Sumut dipenuhi oleh tokoh-tokoh partai dari kalangan Kristen.

Pada Pemilu 1971, ketika partai-partai Islam berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai non-Islam menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Golkar tampil sebagai peraih suara terbanyak. Golkar dan mesin pemerintahan Orde Baru mampu menyatukan keragaman budaya menjadi satu kekuatan politik homogen. Saat itu, PPP maupun PDI hanyalah rumah politik bagi para loyalis Islam, Nasionalis, dan Kristen yang kian susut jumlah dan ruang gerak politiknya.

Kondisi demikian terus berkangsung hingga Pemilu 1997, di akhir kotestasi politik Orde Baru . Saat reformasi bergulir, yang diikuti penyelenggaraan Pemilu 1999, penguasaan Golkar tergantikan oleh PDI Perjuangan (PDI-P). Di sejumlah kantong suaranya, yang berada di wilayah bagian utara, timur, dan barat Sumut, yaitu Tapanuli Utara, Toba Samosir, Labuhan Batu, Asahan, Simalungun, Dairi, Langkat, Sibolga, Tanjung Balai, dan Binjai, Golkar tumbang.

Sebenarnya, dalam hitungan besaran suara provinsi, keruntuhan Golkar tidak membalikkan kondisi menjadi seperti yang terjadi di era awal perpolitikan provinsi ini, di mana partai-partai berasaskan agama berkuasa. Namun, jika dilihat dalam wilayah yang lebih kecil, hubungan antara suku dan agama masih tampak. KOndisi semacam ini juga masih tampak denyutnya pada saat Partai Golkar mengambil alih kemenangan di provinsi ini saat Pemilu 2004.

Wilayah-wilayah yang selama ini dikenal kuat dengan nuansa suku dan keagamaan, semacam Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Padang Sidimpuan, dan juga beberapa wilayah di pesisir timur Sumut, cenderung mangarahkan aspirasi politiknya kepada partai-partai yang mempresentasikan Islam.

Oleh karena itu, PPP, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional meraih suara signifikan di wilayah tersebut. Demikian juga wilayah basis kekristenan, seperti Tapanuli Utara, Toba Samosir, menjadi kantong suara bagi partai bernuansa kekristenan, seperti Partai Damai Sejahtera (PDS). Bahkan, di Kabupaten Humbang Hasundutan, PDS tampil sebagai pemenang, mengalahkan parpol lainnya.

Kekentalan corak agama dan suku ini berkonsekuensi terhadap keberadaan parpol lainnya. Menjadi masuk akal jika Golkar mampu memenangi Pemilu 2004 lantaran partai inilah saat itu yang tergolong mampu memasuki sekat-sekat agama dan suku.

Pada Pemilu 2004, dari 25 kota dan kabupaten se-Sumut, Golkar menguasai 18 kabupaten dan kota. Sisanya, partai ini mampu menjadi pemenang kedua ataupun ketiga. Artinya, baik di wilayah yang kental dengan nuansa agama maupun etnisitas, Golkar berhasil memanen suara. Tidak demikian yang terjadi pada PDI-P. Sekalipun memiliki basis massa yang sangat kuat di Kabupaten Deli Serdang, Karo, Nias, Kota Pematang Siantar, dan cukup kuat di wilayah-wilayah beretnis Jawa, Batak, ataupun wilayah beragama Kristen, partai ini lumpuh di wilayah-wilayah Islam, seperti Padang Sidimpuan, Mandailing Natal, dan Tapanuli Selatan.

Demikian pula dengan partai-partai bercorak Islam yang tidak mampu menghimpun suara di wilayah-wilayah beretnis Batak. Kekuatan signifikan justru ditunjukkan oleh Partai Keadilan Sejahtera, yang cukup menonjol di perkotaan dan bahkan menjadi pemenang di Medan.

Menuju Pemilu 2009

Persoalannya kini, apakah konfigurasi sosial dan politik semacam ini akan terus bertahan dalam berbagai ajang kontestasi politik saat ini yang sangat kental dengan kehadiran sosok sebagai penentu kemenangan?

Bagi pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara, Ridwan Rangkuti, Sumut memang kental dengan politik etnik. Sementara antropolog dan pengamat sosial setempat, Togar Nainggolan, mendeskripsikan derajat pertautan agama dan suku ke dalam kelompok sosial yang sekaligus dapat dijadikan acuan saat menakar kekuatan sosok dalam kontestasi politik.

Di satu sisi terdapat kelompok suku yang sangat kuat dipengaruhi latar belakang etnisitas dan agamanya. Dalam kelompok ini, unsur-unsur kekerabatan menjadi hal yang penting, termasuk pengutamaan pilihan politik pada sosok-sosok yang memiliki kesamaan budaya. Sebaliknya, kelompok etnis yang tidak cukup kuat dipengaruhi baik oleh etnisitas maupun oleh agama. Kelompok demikian cenderung melekat pada suku-suku pendatang. Dalam kondisi Sumut, kesamaan maupun kedekatan identitas sosok tidak menjadi jaminan pilihan politik. Dicontohkan, dalam pilkada di tingkat provinsi tahun 2008, Sumut yang bagian terbesar penduduknya suku Jawa tak serta-merta menempatkan sosok dari suku itu sebagai pemenang.

Berbagai ajang kontestasi politik lokal yang dilaksanakan sejak 2005 hingga kini memang memberikan gambaran kekuatan Golkar bersama sosok-sosok yang dicalonkannya dalam pertautan etnisitas dan agama. Hanya, yang membedakan, kondisi demikian tidak semuanya berjalan paralel dengan peta penguasaan politik pada Pemilu 2004. Sekalipun tetap dominan dalam rangkaian pilkada, beberapa wilayah penguasaannya kini rapuh, dan bahkan sebagian terkuasai oleh sosok pemimpin berasal dari parpol lainnya.

Di sisi lain, penetrasi kekuatan politik partai ini melalui calon-calon yang diusungnya tidak sepenuhnya mampu memenangi wilayah-wilayah kental nuansa suku dan agama yang dikuasai oleh parpol lainnya. Dalam kondisi demikian, terbilang berat memang upaya yang harus dilakukan partai ini untuk meningkatkan penguasaannya di semua wilayah Sumut dalam Pemilu 2009 mendatang.

Adapun bagi partai-partai lainnya, bisa jadi ini merupakan suatu peluang yang dinantikan. Kemampuan menampilkan sosok menjadi kunci dalam melakukan perburuan suara di kantong-kantong suku dan agama. (LITBANG KOMPAS)

Perubahan Orientasi Pemilih Sumsel

Oleh BE Julianery

Sumatera Selatan menjadi salah satu wilayah di Sumatera yang menampilkan citra menguatnya parpol sekuler-nasionalis. Wajah afiliasi politik wilayah ini, yang setengah abad lampau menjadi lumbung partai Islam, saat ini cenderung meredup.

Partai Golkar yang pada masa lalu dijadikan mesin politik oleh era pemerintahan Orde Baru telah menjadi kekuatan politik yang sangat menentukan. Di Sumatera Selatan, pada Pemilihan Umum 1971, Golkar berhasil memperoleh 62 persen suara, sementara partai-partai Islam (Parmusi, Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia, Perti) hanya meraih sepertiga bagian suara dari sekitar 1,3 juta pemilih.

Keadaannya tidak berubah setelah Orde Baru ”memaksakan” fusi partai-partai pada tahun 1973. Dalam lima kali ”pesta demokrasi” Orde Baru—Pemilihan Umum 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997—Golkar senantiasa membuat Sumatera Selatan (yang sudah dipisahkan dengan Bengkulu dan Lampung sebagai provinsi) menjadi ”lautan kuning”.

Pascalengsernya era pemerintahan Orde Baru terjadi perubahan orientasi politik yang didasari perubahan orientasi keagamaan. Sikap politik Islam warga Sumatera Selatan tidak lagi terjebak oleh simbol-simbol politik Islam, seperti halnya partai politik berlabel ”Islam”. Mereka lebih tertarik pada simbol politik Islam yang substansialis, dalam arti mewadahi nilai-nilai keislaman.

Hal itu tidak berarti kesetiaan terhadap agama dan etnisitas di Sumatera Selatan luntur. Hanya saja, bagi pemilih masa sekarang, performa dan komitmen partai serta tokoh parpol terhadap masyarakat pada akhirnya jadi penentu. Peluang bagi para caleg dari partai baru pun kini terbuka asalkan dapat menunjukkan tindakan konkret yang langsung dirasakan masyarakat.

Kemenangan PDI-P

Runtuhnya rezim Orde Baru selepas Presiden Soeharto melengserkan diri rupanya berimbas juga kepada menurunnya pamor Golkar di wilayah ini. PDI-P pimpinan Megawati Soekarnoputri menggantikan pamor politik dominan berbarengan dengan melempemnya mesin politik birokrasi yang sebelumnya bekerja untuk Golkar.

Pemilihan Umum 1999 mengukuhkan PDI-P pimpinan istri Taufik Kiemas—yang berdarah Sumatera Selatan—ini sebagai pemenang dengan perolehan mencapai 39,5 persen suara dari sekitar 3 juta suara yang sah. Sumatera Selatan berganti menjadi ”lautan merah”. PDI-P dominan di tujuh daerah di Sumatera Selatan: Kabupaten Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Komering Ulu (OKU), Muara Enim, Lahat, Musi Rawas, dan Palembang.

Hanya saja, setelah Megawati naik ke kursi kepresidenan menggantikan Abdurrahman Wahid pada tahun 2002, pamor PDI-P justru surut. Kinerja pemerintahan Megawati dinilai mengecewakan sehingga ikut menurunkan citra PDI-P. Akibatnya, popularitas partai berlambang banteng bermoncong putih di Sumsel pun berangsur meredup.

Perolehan suara PDI-P di provinsi itu pada pemilu untuk anggota badan legislatif pada 2004 menunjukkan bukti. PDI-P hanya menang di dua kabupaten (OKI dan Muara Enim) dan satu kota (Prabumulih), sedangkan Golkar kembali berjaya di 10 daerah, yakni OKU, Lahat, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Banyuasin, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir, Kota Pagar Alam, dan Lubuk Linggau.

Perubahan orientasi

Kembalinya kekuatan politik Partai Golkar tak terlepas dari orientasi politik masyarakat yang berubah.

Ketua Dewan Pembina Adat Istiadat Sumatera Selatan Djohan Hanafiah mengemukakan, masyarakat Sumatera Selatan adalah masyarakat egaliter. Untuk memilih pemimpin lokal, mereka masih dipengaruhi pertimbangan etnisitas dan agama, karena di wilayah ini hidup kesetiaan etnis yang relatif tinggi.

Selain itu, posisi termarjinalkan dapat menjadi ”luka politik”. Di Musi Banyuasin (Muba), misalnya, seperti juga di dataran rendah lainnya di Sumatera Selatan, kemiskinan begitu kuat kaitannya dengan hak atas tanah. Umumnya, hal itu diakibatkan sengketa tanah antara rakyat dan perusahaan perkebunan sawit.

Persatuan Masyarakat Adat Sumatera (Permass) mendokumentasikan sejak tahun 1989 hingga 2007 di Sumsel terdapat 220 kasus sengketa tanah, 16 di antaranya merupakan sengketa tanah adat yang sampai sekarang belum ada penyelesaian. Sebagian besar kasus penyerobotan tanah adat untuk perkebunan kelapa sawit. Dari 16 kasus tersebut, luas lahan yang disengketakan mencapai 30.000 hektar dengan jumlah korban sedikitnya 6.000 keluarga (Kompas, 18/3/2008).

Namun, ”luka politik” bukan hanya pencetus kekecewaan. Ia telah menjadi guru yang baik bagi warga.

Abdullah Idi, sosiolog Institut Agama Islam Negeri Palembang dan Direktur Stisipol Candradimuka, berpendapat, masyarakat Sumatera Selatan kini makin pandai. Para pemilih akan lebih dulu melihat calon yang maju dalam pemilihan untuk lembaga legislatif, setelah itu baru melihat partai apa di belakangnya.

Tidak mengherankan apabila Prabowo Subianto dengan Partai Gerindra yang mengampanyekan diri sebagai partai yang peduli akan masyarakat miskin menarik perhatian buruh tani di OKU Timur, Lahat, dan Musi Banyuasin. Dibandingkan dengan para caleg dari partai lama, menurut dia, ada peluang untuk partai baru. ”Kuncinya, melakukan tindakan konkret yang langsung dirasakan masyarakat,” kata Abdullah.

Dampak dari pandangan itu adalah langkah politik uang yang seakan menjadi ”sah” dilakukan. Upaya membangun jembatan yang amat diperlukan di daerah itu, misalnya, bisa dikategorikan sebagai politik uang. Meski begitu, menurut Ardyawan Saptawan, pengajar Fisipol Universitas Sriwijaya, pengeluaran seorang caleg adalah hal yang wajar.

Untuk memenangi pemilihan, para kandidat itu tidak dapat menggantungkan diri hanya pada pamor partai, karena afiliasi partai bisa dikalahkan oleh jaringan serta pengaruh pribadi. Apakah dengan demikian para pemilih di Sumsel akan beralih ke latar politik berorientasi rasional? Hasil pemilihan April nanti tentu akan memberikan jawabannya. (BE Julianery/ litbang kompas)

Era Masyumi di Sumsel

SUMATERA Selatan, tulis Elizabeth Fuller Collins dalam Indonesia Betrayed, memiliki warisan Islam yang kuat. Pada abad XIX, Palembang dikenal sebagai pusat kebangkitan Hadrami, gerakan yang membawa arus baru Islam dari Timur Tengah ke Asia Tenggara. Hadrami adalah keturunan pedagang dari Yaman. Banyak di antara mereka yang menggunakan nama Said (Sayid) yang mengindikasikan sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.

Kondisi demikian menjadikan Sumsel sebuah wilayah yang mendukung bagi berkembangnya organisasi berbasis massa Islam. Pada awal abad XX Sumatera Selatan menjadi basis kuat bagi Sarekat Islam, sebuah organisasi yang pada mulanya organisasi pedagang batik Muslim. Dari 18.000 anggota Sarekat Islam pada 1920-an, lebih dari sepertiganya berada di Sumatera Selatan.

Di luar faktor pemilih, dukungan bagi parpol Islam dipengaruhi elite partai Islam.

Guru besar ilmu politik pada Fakultas Adab dan Humaniora Institut Agama Islam Negeri Palembang, Hatamarrasyid, mengatakan bahwa ada perubahan orientasi keislaman dan pemahaman masyarakat akan ideologi politik Islam di Sumatera Selatan.

Nilai-nilai moral Islam dipandang sebagai elemen penting bagi masyarakat yang adil. Karena itulah, agaknya, pada Pemilihan Umum I (1955), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), partai yang didukung kelompok Islam modernis pimpinan Moh Natsir, mendominasi perolehan suara di Sumatera Selatan, yang kala itu meliputi Keresidenan Palembang, Keresidenan Bangka-Belitung, Keresidenan Bengkulu, dan Keresidenan Lampung.

Perubahan orientasi ideologis pemilih di Sumatera Selatan menyebabkan sulitnya partai Islam menguasai kembali Sumsel. Pada pemilihan umum era Orde Baru, partai Islam di Sumatera Selatan pun tidak pernah unggul lagi. Kegemilangan partai-partai aliran keagamaan pada masa demokrasi parlementer (1950-1959) pudar sudah. (BE Julianery)

PPP dan Keislaman Indonesia

Partai Persatuan Pembangunan boleh mengklaim diri sebagai satu-satunya partai Islam yang masih hidup dan punya sejarah panjang dalam pentas politik Indonesia. Namun, partai Islam yang muncul belakangan tampaknya mampu mengatasi ketertinggalannya dalam membangun jaringan dan kedekatan dengan konstituen Muslim. Bahkan, mereka mampu mengakumulasikan dukungan konstituen itu menjadi suara yang punya arti dalam pemilu.

Dalam dua pemilu pascareformasi, PPP memang mampu memperlihatkan diri sebagai kekuatan politik Islam yang terbesar di parlemen. Namun, keraguan terhadap dukungan suara PPP terus saja bermunculan karena dukungan suara riilnya justru berkurang.

PPP dan partai politik lainnya hidup dalam dinamika politik kebangsaan yang terus berubah. Dan perubahan yang dianggap sebagai sunatullah ini membutuhkan perubahan cara menanggapi jika ingin bertahan dalam arus perubahan. Namun, bagi partai sebesar PPP, langkah diambil tidak cukup untuk sekadar bertahan, karena itu artinya sama saja dengan kemunduran.

Dua pemilu masa reformasi seharusnya menjadi pelajaran sangat berharga bagi PPP. Apalagi, sejak lama PPP selalu mewacanakan taghyiir atau perubahan agar bisa bertahan sebagai partai yang tetap punya pengaruh di kalangan Muslim Indonesia.

Tidak heran jika pengurus PPP dengan tegas tetap menyatakan dirinya sebagai partai yang berasas Islam karena, memang, identitas keislaman inilah yang menjadi keunggulan PPP, meskipun mendapat tantangan dari partai Islam lain.

Kritik internal agar PPP kembali ke maqom keislaman yang asli terus saja bermunculan. Apalagi, tidak sedikit juga kalangan internal PPP yang menilai PPP sudah tidak berbeda dengan partai lain. Perbedaannya hanya terletak pada asas partai saja.

Ketua PPP Endi AJ Soefihara pernah mengungkapkan agar PPP bisa menjalankan keislamannya dengan lebih membumi. Sebuah keislaman yang berselera Nusantara karena dengan prinsip rahmatan lil alamin, Islam bisa bergaul erat dengan nilai luhur yang sudah hidup di masyarakat.

Namun, implementasi keislaman yang berselera Nusantara tampaknya belum sepenuhnya terwujud.

Ketua Fraksi PPP Lukman Hakim Saefuddin mengatakan, PPP memang dibentuk melalui fusi empat kekuatan partai berasas Islam. Fusi inilah sesungguhnya yang menjadikan PPP sebagai miniatur umat Islam Indonesia. Inilah yang membedakan PPP dari partai Islam lain, ataupun partai yang berbasiskan pada massa Islam.

”PKB, dan terakhir ada PKNU, merupakan partai Islam yang lebih homogen dengan warga nahdliyin. Begitu juga dengan PAN dan PMB yang berbasis massa Muhammadiyah, dan PBB yang punya basis massa Masyumi, serta PKS yang didukung kalangan usroh atau gerakan tarbiah. Mereka semua didukung umat Islam yang homogen,” ujarnya.

Keberagaman itulah yang menjadi perbedaan yang menonjol bagi PPP dibandingkan dengan partai Islam lainnya. Tidak heran jika secara faktual, sesungguhnya PPP-lah yang bisa menjadi rumah besar bagi politik umat Islam Indonesia.

Menjelang Pemilu 2009, tidak sedikit pihak yang juga meramalkan kehancuran PPP. Bahkan, sejumlah survei nasional yang dilakukan berbagai lembaga survei juga menempatkan PPP di urutan rendah.

Lukman Hakim Saefuddin dan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali tetap optimistis PPP mempunyai massa yang setia. (Imam Prihadiyoko)

Resep Uji Coba ala Bumi Serumpun Sebalai

Oleh Indah Surya Wardhani

WAJAH kekinian karakter masyarakat Provinsi Bangka Belitung adalah warisan lintasan masa lalu di kepulauan ini. Arus panjang budaya perdagangan dan pertambangan timah selama beratus tahun memahat sebuah masyarakat multikultur yang terbuka lagi pragmatis.

Provinsi muda bekas bagian Provinsi Sumatera Selatan ini adalah melting pot berisi masyarakat dengan beragam suku, agama, dan ideologi. Namun, seperti semboyan ”Serumpun Sebalai”, seluruh entitas budaya meyakini bahwa mereka merupakan satu akar yang hidup dalam satu rumah.

Ada 1,1 juta jiwa yang berdomisili di provinsi ini, terutama di Pulau Bangka dan Belitung. Tiga entitas suku secara dominan membentuk stereotip masyarakat. Melayu Bangka dan Melayu Belitung merupakan entitas suku terbesar dengan jumlah populasi sekitar 69 persen. Entitas ketiga adalah Tionghoa dengan populasi 11 persen. Selain itu, entitas lain yang menambah keragaman warna adalah Jawa 6 persen dan Bugis-Makassar 3 persen. Karakter multikultural ini dipaparkan pula oleh budayawan Bangka, Suhaimi Sulaiman.

Menurut dia, sejak abad ke-17 Kepulauan Babel ramai dikunjungi dan didiami komunitas dari berbagai daerah, terutama dari Johor Malaka, Minangkabau, Palembang, dan Tiongkok.

Menariknya, pertukaran budaya hanya menyisakan sedikit ikatan primordialisme dan ideologi. Keterbukaan, sikap egaliter, dan pragmatisme menjadi watak masyarakat Babel. Karakter itu pun memengaruhi preferensi politik. Meski berpenduduk mayoritas Melayu Muslim, pilihan tidak melulu tertuju pada parpol beraliran Islam. Ideologi lainnya memperoleh tempat, sebut saja marhaenisme, sosialisme, atau yang melekat pada agama Katolik.

Kondisi seperti itu pula yang tecermin dalam kontestasi politik pemilu. Pada tahun 1955, Partai Nasional Indonesia merupakan partai dominan dengan 41 persen suara disusul Masyumi 19 persen dan Partai Buruh 8 persen. Hasil pemilu ini mencuri perhatian. Sebab, kemenangan kaum marhaen PNI di Babel mampu menandingi pengaruh Masyumi yang mendominasi Provinsi Sumsel dengan 43 persen. Kepulauan Babel pada masa itu masih menjadi bagian Sumsel. Selain itu, keberhasilan Partai Buruh meraih posisi ketiga pun mengejutkan, mengingat perolehan partai ini tidak signifikan secara nasional.

Geliat politik lokal

Ajang kontestasi politik selanjutnya juga bertutur bagaimana persaingan antar-partai bercorak nasionalis dan partai bernuansa keislaman. Uniknya, kekuatan masing-masing partai cenderung mengelompok dalam satu satuan wilayah geografis. Partai-partai nasionalis, misalnya, lebih banyak bertumpu di Pulau Bangka. Sosok nasionalis yang juga proklamator Indonesia, Ir Soekarno, yang sempat ”terbuang” di Kecamatan Mentok, Bangka Barat, bisa jadi faktor pemompa kukuhnya partai nasionalis di wilayah ini. Sebaliknya, Belitung menjadi kantong partai-partai bercorak keislaman. Oleh karena itu, dalam satu kesatuan administratif wilayah Bangka Belitung, persaingan tampak sedemikian dinamis, satu sama lain saling menggantikan hingga Pemilu 2004.

Pertarungan perebutan pengaruh bermula saat memasuki periode 1970-an, di mana pengaruh kaum marhaen melemah. Saat itu Golkar yang muncul menjadi kuda hitam mulai menancapkan pengaruhnya. Di sisi lain, kekuatan partai Islam juga merosot pascapembubaran Masyumi tahun 1960. Tak pelak, Golkar melenggang menang hingga dua pertiga persen suara pada Pemilu 1971.

Pada Pemilu 1977, giliran partai bercorak keislaman unjuk gigi. Setelah pemerintah menetapkan fusi partai politik pada tahun 1975, kekuatan partai Islam (Parmusi, NU, PSII, dan Perti) bergabung dalam PPP. Ternyata pengaruhnya cukup besar dengan suara 37 persen mengejar Golkar yang mengantongi 46 persen. Bahkan di Belitung, PPP menggusur Golkar dengan 37 persen. Sementara kekuatan partai politik aliran nasionalis, Marhaen, Kristen, dan Katolik yang bergabung menjadi PDI hanya mendulang 17 persen.

Pengaruh PPP dan PDI sama- sama meredup pasca-Pemilu 1977. Seiring menguatnya pemerintahan Orde Baru, suara Golkar meningkat pesat membabat suara PPP dan PDI. Gairah politik kembali hidup pascaruntuhnya pemerintahan Orde Baru tahun 1998 terutama di tingkat lokal. Pada Pemilu 1999, giliran PDI-P ”memerahkan” dengan 35 persen suara. Dukungan kepada Partai Golkar 23 persen, PPP 11 persen, dan PBB 11 persen.

Meski suara PDI-P mendominasi di Babel, partai nasionalis ini tunduk pada PBB di Kabupaten Belitung. Terpuruknya partai pemenang di Belitung ini pernah terjadi pada tahun 1977 ketika PPP unggul atas Partai Golkar yang memenangi pemilu di Babel.

Politik lokal makin menggelora tahun 2004 yang merupakan pemilu pertama di Babel yang berbentuk provinsi. Buktinya, PBB menjadi partai pemenang dengan 21 persen, disusul PDI-P 19 persen, dan Golkar 18 persen. Padahal, secara nasional suara PBB tidak terlalu signifikan, hanya 2,6 persen atau di peringkat kedelapan.

Dari tujuh wilayah, PBB hanya menang di dua kabupaten, di Belitung dan Belitung Timur. Namun, kemenangan itu bernas hingga mendongkrak posisi PBB di provinsi. Sementara PDI-P menang di tiga wilayah, yakni Bangka, Bangka Barat, dan Bangka Tengah. Adapun Golkar menang di dua wilayah, yakni Bangka Selatan dan Kota Pangkal Pinang.

Koalisi ala pilkada

Putaran politik lokal bergerak makin acak pada ajang pemilihan kepala daerah. Perebutan kekuasaan di tingkat lokal tersebut menunjukkan rapuhnya ikatan ideologi parpol yang dipertontonkan pada pemilu tahun 1955-2004.

Dalam arena pilkada, figur terlihat lebih efektif menggiring dukungan ketimbang mesin politik partai. Tak pelak, koalisi parpol tak lebih dari perhitungan pragmatis.

Menanggapi hal itu, sosiolog dari Universitas Bangka Belitung (UBB), Prof Bustami Rahman, yang juga Rektor UBB, berpendapat, dominasi figur dan parpol yang silih berganti tak lain cermin berubahnya arah dukungan masyarakat. ”Setiap pemilihan pada dasarnya masyarakat coba- coba. Memilih mana yang bisa membuat sejahtera. Daripada memilih tokoh baru, lebih baik memilih yang sudah dikenal. Sangat pragmatis. Tidak ada yang bisa menjamin ke mana dukungan masyarakat,” katanya.

Pilkada sepanjang tahun 2005- 2008 menunjukkan gejala itu. Dari delapan kali penyelenggaraan pilkada, hanya tiga pilkada yang pemenangnya sukses diusung partai tunggal. Dua di antaranya parpol dominan, yakni PBB dan Golkar. Sementara satu lainnya adalah PKS yang tergolong pendatang baru di wilayah Babel.

PBB sukses memenangkan incumbent Bupati Darmansyah Husein dan Sahani Saleh di Kabupaten Belitung, 24 Juni 2008, dengan 36 persen. Wilayah ini memang kantong suara PBB yang loyal sejak tahun 1999.

Sebelumnya, Golkar mengusung caretaker Bupati Justiar Noer dan Jamro H Jalil di Bangka Selatan, 18 Juni 2005. Di daerah basis massa Golkar sejak tahun 2004 ini, pasangan Justiar-Jamro meraih 41,5 persen. Bersamaan dengan itu, PKS sukses mengusung Parhan Ali-H Zuhri Syahzali di Bangka Barat yang merupakan basis massa PDI-P pada tahun 2004. Pasangan ini meraih 34,4 persen.

Adapun fenomena lima pilkada lainnya diwarnai persekutuan parpol yang tak ajek. Pada pemilihan gubernur, 22 Februari 2007, misalnya, PBB sebagai pemenang Pemilu 2004 rupanya tidak percaya diri mengusung tunggal Eko Maulana Ali-Syamsuddin Basari sehingga harus menggandeng PKS, PAN, dan Partai Demokrat. Pasangan ini sukses mengalahkan empat pasangan lainnya 35 persen.

Namun, kongsi empat parpol pecah menjadi tiga kubu pada Pilkada Kota Pangkal Pinang, 24 Juni 2008. Di kota basis massa Golkar pada tahun 2004 ini, justru koalisi Partai Demokrat dan PPP yang berjaya mengusung incumbent Wali Kota Zulkarnain Karim dan Malikul Amjad. Pasangan ini menggusur empat pesaing dengan dominasi 55 persen suara.

Beda lagi dengan pilkada di Belitung Timur, 18 Juni 2005. Ibarat David menjungkalkan Goliath, koalisi parpol ”gurem” PIB-PNBK sukses memenangkan Basuki Tjahaja Purnama-H Khaerul Efendi. Hal ini menafikan dominasi PBB di kabupaten ini yang telah bercokol sejak tahun 1999. Basuki yang berlatar belakang Tionghoa Buddha ternyata mendulang dukungan 37 persen masyarakat yang notabene mayoritas Melayu Muslim.

Secara umum, aliansi parpol memang tanpa keajekan. Namun, terdapat benang merah. Figur pasangan calon hampir seluruhnya adalah elite lokal: incumbent atau caretaker bupati atau anggota DPRD. Masih teramat jarang munculnya wajah-wajah baru kalangan non-elite yang mencoba mewarnai politik Babel. Melihat kondisi semacam itu, cukup sulit membaca ke mana arah dukungan masyarakat Babel pada pemilu anggota legislatif mendatang.

Bagi partai politik, PBB, misalnya, tentu berbagai upaya coba dilakukan untuk mempertahankan penguasaannya di provinsi ini, terutama di Belitung, sebagaimana yang terjadi pada Pemilu 2004. Begitu pun bagi PDI-P dan Golkar. Penguasaan Provinsi Babel menjadi target guna mengulang kejayaan mereka pada masa lampau. Bagi partai-partai politik lain, lemahnya ikatan-ikatan ideologis dan menguatnya pragmatisme menjadi peluang dalam upaya memperluas penetrasi mereka. Oleh karena itu, dalam Pemilu 2009, mungkin akan ada seribu janji parpol dan capres yang akan ditebar pada masa kampanye. Namun, tampaknya orang Babel punya pilihannya sendiri. Inilah pragmatisme ala Babel. Nye katanye! (Indah Surya Wardhani/ Litbang Kompas)

Lumbung Nasionalis yang Cair

Oleh Yohanes Krisnawan

KEMENANGAN PDI-P dan Partai Golkar dalam Pemilu 1999 dan 2004 menggambarkan kuatnya Bengkulu sebagai basis partai nasionalis. Dalam sejarah pemilu, hanya pada Pemilu 1955 partai-partai Islam menonjol di wilayah Bengkulu. Kala itu Bengkulu masih masuk Provinsi Sumatera Bagian Selatan. Tetapi, benarkah kemenangan PDI-P dan Partai Golkar di tanah tempat pembuangan Bung Karno tersebut karena faktor platform ideologi?

Masyarakat Bengkulu adalah masyarakat multietnis. Selain suku Rejang, Mukomuko, Lembak, dan Pekal yang banyak bermukim di wilayah tengah dan utara, juga ada suku Serawai, Kaur, Pasemah, Suban, di wilayah selatan, serta Enggano di Pulau Enggano. Adapun Melayu Bengkulu banyak berdiam di Kota Bengkulu dan daerah pesisir. Selain suku asli, juga ada suku pendatang yang memang telah lama tinggal di Bengkulu, seperti Jawa, Sunda, Minang, Madura, dan Batak.

Meskipun mayoritas beragama Islam, tetapi secara historis, masyarakat Bengkulu pernah dipengaruhi nilai-nilai kepercayaan lain, baik animisme, Buddha, maupun Hindu. Sebagai daerah yang subur, sejak dahulu wilayah ini menjadi daya tarik kerajaan- kerajaan besar Nusantara, sebelum kolonialisme Inggris dan Eropa hadir. Mulai dari Kerajaan Majapahit, Pagaruyung, Banten, Bugis, Indrapura, Madura, dan Mataram memiliki pengaruh dan menciptakan berbagai kelompok etnis yang terdiri dari banyak marga, dengan sistem bahasa, seni tradisi, kegiatan ritual keagamaan, dan kekerabatan yang unik.

Secara demografis, berdasarkan Sensus Penduduk 2000, jumlah warga yang berasal dari suku Rejang, Serawai, dan Jawa merupakan tiga kelompok etnis terbesar, tetapi tidak ada yang dominan. Tetapi, secara geografis suku Rejang dominan di wilayah utara Bengkulu, sementara Serawai di wilayah Selatan. Suku Jawa dan beberapa suku bangsa lainnya banyak tinggal di wilayah utara. Sebagian datang melalui program transmigrasi sejak zaman Hindia-Belanda.

Potret pilkada

Berdasarkan hasil pilkada yang berlangsung di Bengkulu dari tahun 2005 hingga 2008, tak ada satu pasangan calon kepala daerah yang menang tanpa didukung koalisi antarparpol. Tidak peduli apakah koalisi itu memiliki platform ideologi yang sama atau berbeda.

Menurut sosiolog Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, dalam tulisannya di Jurnal Ilmu Pemerintahan (2008), koalisi antarparpol yang sepakat mengusung kandidat kepala daerah dalam kenyataannya banyak yang didasarkan atas perhitungan pragmatis jangka-pendek. Suatu kerja sama politik yang saling menguntungkan satu sama lain; untung untuk pasangan calon, juga untuk parpol yang berkoalisi.

Fenomena pilkada ini juga terjadi di daerah-daerah lain sehingga hasil pilkada di Bengkulu memperkuat anggapan bahwa ketokohan seseorang sebagai calon kepala daerah di suatu daerah lebih punya daya jual ketimbang citra parpol pengusungnya. Tentu saja keberadaan parpol pendukung dibutuhkan sebagai penggerak mesin politik.

Dari sepuluh kali pemilihan kepala daerah, baik bupati, wali kota, maupun gubernur, secara umum dimenangi melalui strategi ”koalisi partai”, yang tidak semua berdasarkan pada kesamaan platform ideologi. Misalnya, Koalisi PDI-P dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memenangi pilkada di Kabupaten Mukomuko. Kemudian koalisi Partai Golkar, PKS, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) menang di Kabupaten Bengkulu Utara.

Fakta lain yang menarik, meskipun pada Pemilu 1999 dan 2004 PDI-P dan Partai Golkar menang, tetapi ”jagonya” dalam pilkada belum tentu terpilih. Di Kabupaten Rejang Lebong, pasangan Suherman dan Iqbal Bastari, yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Bintang Reformasi (PBR) terpilih menjadi bupati. Demikian pula di Kabupaten Lebong, pasangan Dalhadi Umar dan Nasirwantoha yang diusung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) juga menang dalam pemilihan. Bahkan, di tingkat provinsi, pasangan Agusrin Maryono dan HM Syamlani mengalahkan pasangan yang diusung Partai Golkar atau PDI-P.

Kabupaten Bengkulu Selatan menjadi satu-satunya wilayah di mana partai berlambang kepala banteng dengan moncong putih selalu menang. Pada Pemilu 1999 dan 2004, PDI-P memperoleh suara terbanyak mengalahkan Partai Golkar. Namun, dalam Pilkada Bengkulu Selatan putaran kedua (6 Desember 2008), koalisi PDI-P, PPP, PKPI, dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang mengusung pasangan Dirwan Mahmud dan Hartawan berhasil memenangi pilkada.

Hasil pilkada menunjukkan, ”nuansa nasionalis” Bengkulu ternyata belum menjamin Partai Golkar dan PDI-P mampu menaklukkan pilkada. Wilayah ini sangat cair dalam pilihan politiknya. (Yohanes Krisnawan Litbang Kompas)

Pertarungan dalam Kekerabatan

Oleh Aryo Wisanggeni G dan Nasrullah Nara

SEKRETARIS Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini membeberkan sejumlah alasan, kenapa dia menyebut Sulawesi Selatan (Sulsel) I sebagai daerah pemilihan (dapil) neraka, termasuk banyaknya kerabat Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo yang ikut bertarung memperebutkan delapan kursi di DPR, Senayan, Jakarta.

Pernyataan Anis bukan tak berdasar. Di dapil ini memang berjejer anggota keluarga besar Limpo. Sebutlah itu Dewie Yasin Limpo, adik Gubernur yang menjadi calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Hati Nurani Rakyat (Nanura), Indira Chunda Thita Syahrul, putri Gubernur yang menjadi caleg dari Partai Amanat Nasional (PAN), dan Susilo MT Harahap, saudara ipar Gubernur yang menjadi caleg dari Partai Golkar.

”Tantangan itu saja berat. Belum lagi calon incumbent (yang masih menjabat), seperti Abdul Hadi Djamal dari PAN,” kata Anis. Pada Pemilu 2004 Abdul Hadi melenggang ke Senayan dengan meraih 15,5 persen bilangan pembagi pemilih (BPP).

Selain itu, Partai Golkar juga memajukan kembali Anwar Arifin, meskipun berada di nomor urut sembilan. Pada pemilu lalu Anwar menjadi anggota DPR dengan raihan 30,9 persen BPP. BPP Dapil Sulsel I pada Pemilu 2004 adalah 250.624 suara.

Tokoh lokal

Selain itu, istri Bupati Sinjai yang menjadi caleg Partai Republika Nusantara, Felicitas Tallu Lembang R Asapa, pun turun meramaikan perebutan kursi di Dapil Sulsel I. Namun, PKS tidak gentar bertarung. Di Dapil Sulsel I itu PKS justru berambisi mendulang tiga kursi Senayan.

”Pemilihan Gubernur Sulsel dan pemilihan Wali Kota Makassar belum lama ini jelas menunjukkan partisipasi pemilih di Dapil Sulsel I rendah, hanya sekitar 54 persen. Kami menyimpulkan, pemilih Dapil Sulsel I beralih dari pemilih feodalis menjadi pemilih realistis. Dengan kampanye dialogis, kami optimistis 46 persen pemilih yang selama ini tidak ikut memilih akan memberikan suaranya kepada PKS,” kata Anis.

PKS berusaha mencuri simpati pemilih rasional sehingga ancang-ancang PKS merebut tiga kursi Senayan tentu tidak bisa dipandang enteng. Partai lain mesti waspada.

Tentu saja, target yang jauh di atas perolehan kursi PKS pada 2004 itu, total dua kursi dari dua dapil di Sulsel, membuat persaingan semakin ketat. Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Sulsel, Amir Madjid, mengakui beratnya rivalitas di Dapil Sulsel I.

”Dibandingkan Dapil Sulsel II dan Dapil Sulsel III, persaingan di Dapil Sulsel I memang lebih berat. Hal itu karena banyak nama berpengaruh di sana. Jangankan rivalitas dengan caleg partai lain, rivalitas di antara caleg dari partai yang sama pun semakin kuat,” kata Amir lagi.

Ada dua caleg PDI-P yang menambah panasnya persaingan di dapil ini. Mereka adalah Mawang BS Palaguna dan Yunus Baso. Mawang adalah putra Gubernur Sulsel periode 1993-1998 H Zainal Basrie Palaguna. Palaguna adalah mantan gubernur yang melegenda dan masih berpengaruh di Sulsel.

Yunus adalah politikus tulen PDI-P yang berakar ke bawah, dan kini menjadi anggota DPRD Sulsel. ”Dua orang itu yang kami harapkan mampu meraih sebanyak mungkin suara bagi PDI-P,” kata Amir. Realistis dengan panasnya pertarungan Dapil Sulsel I, PDI-P menargetkan satu kursi dari dapil ini, seperti raihan pada pemilu lalu.

Ketua DPD Partai Golkar Sulsel, Ilham Arief Siradjuddin, yang menargetkan empat kursi Senayan dari Dapil Sulsel I justru tidak khawatir bersaing di dapil ini. ”Memang di sini banyak nama terkenal. Tetapi, kami optimistis bisa meraih empat kursi dari Dapil Sulsel I karena caleg kami, Ambas Syam, cukup gesit bersaing. Caleg perempuan kami, Oelfah A Syahrullah Harmanto, Notrida Mandica Nur, dan Heryani juga akan bisa meraih suara pemilih Dapil Sulsel I,” kata Wali Kota terpilih Makassar itu.

Baginya, tantangan terberat Partai Golkar justru mempertahankan dominasinya atas daerah yang masuk Dapil Sulsel II, yang meliputi Kota Parepare, Kabupaten Sinjai, Bone, Maros, Bulukumba, Pangkajene Kepulauan, Barru, Soppeng, dan Wajo. ”Daerah itu selama ini adalah pendukung Partai Golkar. Namun, sekarang ada banyak kompetitor yang menempatkan caleg berpengaruh di dapil itu,” katanya lagi.

Namun, caleg Partai Golkar Dapil I Sulsel, Natsir Mansyur, tak pernah gentar melihat ketatnya persaingan di daerah turatea ini. Selama 25 tahun malang melintang sebagai pengusaha daerah hingga menembus skala nasional dan global, ia yakin menguasai masalah perekonomian Sulsel dan kelak melenggang ke Senayan. ”Pemilih tak lagi semata terpaku pada partai, tetapi sosok siapa yang bertarung,” katanya.

Dapil II juga seru

Selain Sulsel I, perebutan sembilan kursi DPR di Dapil Sulsel II, yang diperebutkan 158 caleg, juga diperkirakan ketat. Sejumlah partai yang disebut Ilham sebagai saingan berat, antara lain PAN, PKS, dan Partai Demokrat. Di Dapil Sulsel II, PAN menempatkan Andi Yuliani Paris. PKS menaruh Tamsil Linrung, dan Partai Demokrat mencalonkan Mohammad Jafar Hafsah.

”Jafar Hafsah memiliki basis kuat di Dapil Sulsel II karena ia orang dari sana. Andi Yuliani adalah politikus yang dikenal, begitu pula Tamsil Linrung. Kami menempatkan Malkan Amin dan Syamsul Bachri S yang berpengaruh di sana, dan menargetkan empat kursi dari Dapil Sulsel II. Setiap partai memang memiliki kekuatan masing-masing di Dapil Sulsel II,” kata Ilham.

Perkiraan Ilham, Dapil Sulsel II bakal panas ada benarnya. PDI-P hanya mematok satu kursi, tetapi Anis Matta menyatakan bahwa PKS akan merebut tiga kursi dari dapil yang selama ini menjadi ladang suara bagi Partai Golkar tersebut.

Runtuhnya Benteng Penguasaan Partai

Oleh Bestian Nainggolan

BAGI partai politik, Sumatera bukanlah benteng yang tak mungkin tertaklukkan. Perubahan penguasaan politik wilayah selama ini kerap terjadi. Hal yang sama amat berpotensi terjadi pada Pemilu 2009.

Tiada yang kekal di Sumatera. Heterogenitas kultur dan wilayah membentuk wajah politik Sumatera yang jauh dari kesan monoton.

Di sebagian besar wilayahnya, perubahan demi perubahan penguasaan politik kerap berlangsung. Terdapat memang wilayah yang tampak statis. Sebagian kabupaten di Jambi, Riau, misalnya, memiliki tradisi penguasaan pada satu kekuatan politik partai. Namun, fakta demikian amat terbatas, tidak menjadi gambaran keseluruhan Sumatera.

Di beberapa wilayah lain, lambat laun penguasaan oleh satu kelompok kekuatan politik semacam ini mulai terancam. Bahkan, sebagian lainnya mulai tergerus oleh kekuatan politik lain yang mengintai.

Sekilas, menelusuri politik Sumatera yang terbagi menjadi 10 provinsi ini akan terpaku pada satu fenomena persaingan ideologis partai-partai politik. Perebutan pengaruh politik yang lebih bersifat ideologis, yaitu antara partai-partai berhaluan nasionalis dan partai bernuansa Islam, memang masih tampak kental terasa di sebagian besar wilayah, seperti Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumbar, Sumut, maupun Bangka Belitung.

Apalagi, jika merunut sejarah panjang kontestasi nasional pemilu di wilayah ini yang memang mewariskan persaingan sengit antarkekuatan ideologi. Hanya, menariknya, pada saat yang bersamaan terjadi pula persaingan sangat ketat di antara sesama partai-partai bercorak nasionalis serta di antara sesama partai Islam.

Tidak hanya itu, berbagai variasi lain terjadi di kawasan yang menyumbang seperlima (34,4 juta pemilih) dari total pemilih di Indonesia ini.

Medan perebutan suara yang merujuk pada persaingan yang bersifat non-ideologi partai juga mencolok terlihat.

Aspek geografis, misalnya, juga menjadi faktor yang kerap menjadi pemicu kian hangatnya perburuan suara. Tidak mengherankan jika pemisahan antara pengaruh kekuatan politik lokal dan nasional sebagaimana yang tampak di beberapa wilayah NAD serta sesama kekuatan lokal yang memisahkan pengaruh kekuatan politik pesisir dan pedalaman. Hal ini terjadi di Sumbar, wilayah kota, dan desa di hampir keseluruhan ibu kota provinsi di Sumatera.

Pada pemandangan lain, tidak terhindarkan pula pembentukan kantong-kantong kekuatan politik yang didasarkan pada kesamaan-kesamaan etnisitas dan agama sebagaimana yang terbentuk di Sumut sehingga menjadi faktor pembentuk corak politik yang melekat.

Di tengah tarikan ideologi, pembagi wilayah, dan kedekatan emosional yang melekat tidak terhindarkan pula munculnya perilaku politik yang cenderung rasional, atau cenderung pragmatis.

Memilih partai ataupun upaya menguasai politik wilayah didasarkan pada pertimbangan pragmatis, seperti halnya seberapa manfaat instan yang diperoleh sebagai konsekuensi atas pilihannya. Demikian pula seberapa besar pengorbanan materi yang dilakukan untuk mengusai suara para pemilih.

Fenomena semacam ini tampak dalam sejumlah ajang pilkada yang secara khusus memilih sosok kandidat yang diusulkan partai politik. Kondisi-kondisi semacam ini bagaimanapun telah menjadi ciri Sumatera, yang tampaknya menjadi suatu potret keniscayaan politik.

Dalam ancaman

Jika berbagai faktor, baik emosional maupun rasional, bertemu dan saling berkelindan dalam muara Pemilu 2009, persoalannya kini, seperti apa wajah persaingan politik yang akan berlangsung di Sumatera? Dalam ulasan lebih khusus, seberapa kokoh benteng kekuatan yang dibangun partai politik di wilayah penguasaannya tetap dipertahankan?

Memadukan dan memetakan sejumlah kontestasi politik nasional dan lokal (pilkada) di 138 kabupaten dan kota menyimpulkan betapa rawan dan rapuhnya kekuatan partai politik.

Setidaknya terdapat tiga kategori pengelompokan wilayah yang memungkinkan terjadi atau tidaknya perubahan politik.

Pertama, pengelompokan wilayah yang tergolong solid. Paling tidak terdapat 15 kabupaten dan kota dalam kategori ini, baik dalam ajang Pemilu 2004 maupun ajang pilkada 2005-2008, dikuasai oleh satu kekuatan partai.

Di wilayah ini, partai berhasil membangun benteng pertahanan yang kokoh. Sulit tampaknya mendobrak keseluruhan bangunan yang juga telah terkawal dengan rapat di setiap penjuru.

Kedua, wilayah kabupaten dan kota yang tergolong agak rapuh dan rawan. Tidak kurang sebanyak 39 wilayah dalam kelompok ini.

Benar jika partai politik masih menguasai dan berpotensi menguasai wilayah dalam kelompok demikian. Namun, menjadi rawan mengingat dalam ajang kontestasi lokal partai itu harus bersusah payah menjalin suatu koalisi bersama partai lain untuk menguasai politik lokal wilayah.

Oleh karena kekuatan yang terbangun tidak utuh, potensi kerapuhan dalam pemenangan Pemilu 2009 terbuka.

Ketiga, kabupaten dan kota di Sumatera yang tergolong cair dan berpotensi tak terkuasai dalam pemilu mendatang. Pasalnya, penguasaan partai-partai politik di wilayah ini hanya terjadi pada Pemilu 2004.

Dalam pemilihan kepala pemerintahan daerah mereka gagal total dalam penguasaan. Kondisi demikian merupakan bagian terbesar, terjadi di 84 kabupaten dan kota di Sumatera. Bisa dibayangkan betapa dinamisnya perburuan suara yang akan terjadi di kabupaten dan kota semacam ini.

Menguak peluang

Menariknya, kerawanan dan kerapuhan dialami oleh setiap partai. Baik partai-partai bercorak nasionalis maupun bernuansa Islam berpotensi kehilangan daerah penguasaannya.

Partai Golkar bisa jadi yang paling rawan. Sebagai pemenang pemilu meraih sekitar 23 persen suara dan menguasai 98 kabupaten dan kota di Sumatera, hanya 13 wilayah yang masuk kategori solid. PDI-P juga demikian, dari 15 kabupaten dan kota yang dikuasai tidak ada satu pun kokoh dikuasai secara tunggal. Partai-partai bercorak Islam yang dalam Pemilu 2004 meraih suara cukup signifikan di Sumatera, seperti PKS, PAN, PPP, dan PBB juga didera persoalan yang mirip, potensi hilangnya wilayah-wilayah penguasaan.

Namun, begitu besarnya wilayah-wilayah tergolong rawan dan rapuh tidak selamanya mengindikasikan lonceng kematian.

Kondisi demikian memberikan arti lain bahwa di Sumatera masih terbuka lebar peluang bagi parpol dalam penguasaan wilayah baru. Bagi partai-partai bercorak nasionalis, sekalipun beberapa wilayah penguasaannya telah tergerus, fakta juga menunjukkan upaya penguasaan wilayah lain berhasil dilakukan.

PDI-P, misalnya, sekalipun terlihat rapuh di beberapa wilayah, tetapi—sebagaimana yang terjadi Lampung—mampu merebut berbagai ajang pilkada.

Oleh karena itu, kesan berlangsungnya persaingan antarsesama partai dengan corak yang sama masih kentara di sebagian besar wilayah. Persoalannya, siapakah menjadi pengumpul suara terbanyak kali ini? Belum jelas benar, tetapi konfigurasi baru penguasaan politik amat berpotensi terbentuk. (Litbang Kompas)

Lebih Panas di Internal

Oleh Sindy Fathan M

BOLEH jadi pertarungan antarcalon anggota legislatif di Daerah Pemilihan Jawa Timur I menjadi pertarungan paling ”mematikan” di Pulau Jawa.

Dengan jumlah pemilih sebanyak 3.353.804 orang, berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT) putaran pertama Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur (Pilkada Jatim), Dapil Jatim I menjadi daerah dengan jumlah pemilih terbanyak di Indonesia.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memastikan langkah caleg di Dapil Jatim I kian sulit. Caleg tidak hanya bersaing dengan caleg dari partai politik lain, tetapi juga harus merebut suara dari caleg dalam satu partai. Mereka harus menjaring suara dari pemilih sebanyak-banyaknya.

Pada dapil inilah sejumlah parpol menempatkan tokoh nasionalnya. Sebut saja, mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi yang menjadi andalan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), atau Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang sengaja memindahkan Guruh Soekarnoputra sebagai caleg di dapil ini. Pada Pemilu 2004 Guruh meraih 67,3 persen bilangan pembagi pemilih (BPP) dari Dapil Jatim VII.

Beberapa partai berani mencoba peruntungan dengan memajukan calegnya yang hadir dari kalangan selebriti, seperti mantan peragawati Ratih Sanggarwati dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan mantan Puteri Indonesia, Pungki Sukmawati, dari Partai Bintang Reformasi (PBR).

Di dapil ini pula sejumlah caleg yang lama malang melintang di DPR kembali bertarung. Partai Golkar, misalnya, memajukan Priyo Budi Santoso, yang pada Pemilu 2004 meraih 27,9 persen BPP di Dapil Jatim VII. Partai Demokrat menurunkan kembali Marcus Silanno, yang kini masih menjadi anggota DPR. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menempatkan tiga caleg kawakannya, Muhaimin Iskandar, Imam Nahrawi, dan Ario Wijanarko. Ketiganya kini masih menjadi anggota DPR. Bahkan, Muhaimin adalah Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB.

Pada Pemilu 2009 di Dapil Jatim I terdapat 195 caleg yang bertarung memperebutkan 10 kursi. Jumlah kursi itu sama dengan yang diperebutkan pada Pemilu 2004. Akankah PKB dan PDI-P bisa meraih tiga kursi, seperti pada pemilu lalu?

Soliditas partai

Keadaan sekarang tampaknya tak lagi sama. Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi, mengatakan, konflik internal PKB antara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Muhaimin bisa menjadi bumerang bagi partai yang memiliki basis terbesar di Jatim itu.

”Pertarungan caleg internal partai di Jatim I tak kalah serunya dengan yang di eksternal (partai). Masalah di dalam PKB bisa-bisa memecah-belah soliditas partai,” kata Airlangga. Apabila terbukti tak solid, perpecahan massa justru menjadi bidikan utama partai lain yang mengekor di belakangnya.

Menurut Airlangga, besar kemungkinan konflik internal PKB justru mendongkrak perolehan suara dari PDI-P dan partai berbasis warga Nahdlatul Ulama yang lain, seperti Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Tak tertutup kemungkinan pula, massa yang terbelah ”lari” mencari partai papan tengah, seperti Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ini semakin diperkuat dengan terpilihnya kepala daerah Jatim, Soekarwo-Saifullah Yusuf, yang diusung partai papan tengah tersebut.

Primordialisme

Caleg PKB, Ario Wijanarko, menepis tudingan ketidaksolidan PKB. Menurutnya, tak pernah ada perpecahan dalam partainya. ”Cak Imin (Muhaimin) dan Mas Imam (Imam Nahrawi) tak pernah dipandang sebagai pesaing. Justru kita atur zona (peraihan suara) masing-masing. PKB tetap satu dan tidak ada masalah,” tegasnya. Ia optimistis partainya bisa meraih lima kursi di dapil ini.

Ario mengaku lebih mengandalkan keterikatan emosional sebagai putra daerah yang lebih mengenal karakteristik wilayah Surabaya-Sidoarjo. ”Masyarakat urban (di dapil I) tidak lagi sibuk mencari figur yang lebih populer, tetapi mencari yang benar-benar bisa mewakili daerahnya,” tuturnya lagi.

Persaingan caleg di internal PDI-P, kata Airlangga, harus diperhatikan pula. Kehadiran tokoh nasional tak menjamin perolehan suara partai itu tinggi.

Mengail Suara di Lubuk Etnisitas

Oleh BIMA BASKARA

IDENTITAS etnik merupakan warna yang melekat dalam kehidupan politik masyarakat Kalimantan Barat. Keberadaan sejumlah etnik, khususnya Melayu, Dayak, dan Tionghoa, memberikan dampak pada peta kekuatan partai politik di sini. Akankah dalam Pemilu 2009 politik identitas memainkan peranan penting di wilayah Borneo bagian barat ini?

Provinsi Kalimantan Barat bisa dibilang menjadi salah satu dari wilayah di Indonesia dengan kehidupan politik yang dinamis. Polarisasi politik yang terlihat marak setelah masa reformasi tak kalah dinamis dibandingkan dengan pemilu pertama tahun 1955. Pertarungan antarparpol yang terjadi di provinsi ini bisa dikatakan unik.

Saat Orde Baru berkuasa, Golongan Karya (Golkar) selalu berhasil menjadi pemenang pemilu. Dominasi Golkar di Kalbar mulai terlihat sejak Pemilu 1971, sebelum 11 partai politik kontestan pemilu berfusi. Golkar meraih 66,6 persen suara.

Dalam Pemilu 1977, persentase perolehan suara Golkar juga tak berubah, di kisaran 66 persen, meskipun partai-partai yang lain dilebur ke dalam dua partai besar, yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Pada masa Reformasi, di Pemilu 1999, partai berlambang pohon beringin itu tetap menjadi pemenang di Kalbar. Meskipun turun drastis dari 70 persen menjadi hanya 29,4 persen suara, tetapi dominasi partai berlambang pohon beringin itu masih cukup kuat. Yang menarik, anjloknya perolehan suara Partai Golkar tidak diimbangi dengan kenaikan drastis perolehan suara partai pesaing terdekatnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Berada di posisi kedua setelah Partai Golkar, PDI-P hanya meraih 23 persen suara pemilih, nyaris tak beda jauh dengan perolehan pada zaman Orde Baru (Pemilu 1992) yang 22 persen.

Sementara itu, Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), partai baru yang lekat dengan nuansa etnik Tionghoa, mendapat suara lumayan, yakni 6,99 persen. Partai yang mengangkat isu hak-hak kaum minoritas serta perbaikan ekonomi ini menarik simpati warga etnik Tionghoa yang jumlahnya mencapai 10 persen dari jumlah penduduk Kalbar.

Kondisi yang mirip terjadi pada Pemilu 2004. Pendatang baru, yakni Partai Demokrat, mendapatkan suara yang lumayan, yakni 6,12 persen. Perolehan suara partai tersebut berada di urutan ketiga setelah Partai Golkar dan PDI-P, dan hanya sedikit berada di bawah PPP yang meraih 8,38 persen suara.

Dalam sejarah pemilu, Kalbar juga pernah menampilkan gambaran kuatnya partai lokal. Pada Pemilu 1955, Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) mendapat dukungan kuat dengan mendulang 33 persen suara. Kendati demikian, posisi partai nasional bernuansa Islam ini ditempel ketat oleh Partai Persatuan Daya (PPD), sebuah partai lokal yang secara mengejutkan mendapatkan 31,5 persen suara dan berhasil menempatkan satu wakilnya di DPR pusat.

Politik identitas

Kemampuan sebagian parpol ”merebut” suara pemilih di Kalimantan Barat sedikit banyak disebabkan oleh kemampuannya membangun kedekatan etnisitas. Partai PBI, misalnya, bisa dikatakan berhasil merebut suara masyarakat Tionghoa pada Pemilu 1999.

”Ketika itu kami betul-betul memilih partai berdasarkan kedekatan etnik. Partai PBI saat itu memang didirikan, antara lain, untuk kaum kami, yang tertindas secara politis,” ujar Andreas Acui Simanjaya, tokoh Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT).

Upaya membangun kedekatan etnis juga dilakukan Partai Golkar pada masa Orde Baru. Di Kalbar, partai tersebut dibangun pemerintah dengan merangkul elite-elite Dayak.

Menurut Thadeus Yus, Ketua Umum Dewan Adat Dayak Provinsi Kalbar, waktu itu pendekatan yang dilakukan Golkar sangat efektif meraih suara masyarakat Dayak. ”Ketika itu, masih ada kepatuhan dari sebagian besar masyarakat Dayak terhadap elite-elite kami,” tuturnya.

Namun, Yus juga menjelaskan bahwa saat Orde Baru pun PDI meraih simpati di kalangan masyarakat Dayak. Ini tak lepas dari kontribusi partai lokal sebelumnya, PPD, yang bersama PNI kemudian melebur ke dalam PDI.

Pemilu 2009

Bagaimana dengan Pemilu 2009? Partai Golkar dan PDI-P masih berpeluang besar menjadi salah satu parpol yang akan meraih suara terbanyak, meski sangat mungkin persentasenya akan semakin kecil. Pendapat itu dikemukakan Gusti Suryansyah, Ketua Asosiasi Ilmu Politik Kalbar. ”Saya perkirakan, untuk Kalimantan Barat situasinya akan lebih kurang sama, tapi perolehan suaranya yang akan lebih cair,” ujarnya.

Di balik kuatnya identitas etnik di kalangan masyarakat Kalbar, kini tumbuh rasionalitas di dalamnya. Hal itu diungkapkan Acui dan Yus. ”Pengalaman membuktikan, pada Pemilu 2004, kami sudah mulai melakukan perubahan arah pandang. Kami tidak lagi memilih partai berdasar etnik, tapi berdasarkan kebutuhan,” kata Acui. Perubahan arah pandang itu menjadi salah satu faktor yang memengaruhi perolehan suara Partai Demokrat pada Pemilu 2004 yang menempati posisi empat.

Dalam pertarungan antarpartai di level nasional tampaknya masyarakat Dayak akan makin cair dalam hal keterikatan ideologis maupun etnik terhadap partai tertentu. ”Ke depan, Partai Golkar atau PDI-P bisa menang lebih karena punya infrastruktur yang baik, bukan karena dukungan masyarakat Dayak,” ujar Yus.

Namun, rasionalitas itu masih mungkin mempertautkan identitas. Jika sebuah parpol, besar atau kecil, mampu membahasakan kebutuhan eksistensi dari tiap-tiap etnik di Kalbar, bukan tidak mungkin akan meraih cukup simpati. (Bima Baskara Litbang Kompas)

Merah dan Kuning, Hulu dan Hilir

Oleh M. Puteri Rosalina

DAERAH aliran sungai di Kalimantan Tengah bukan lagi sekadar wilayah daratan penampung air hujan. Wilayah daratan yang dipisahkan secara topografis oleh punggung bukit itu menjadi suatu identitas bagi masyarakat Kalimantan Tengah: identitas wilayah administrasi, politik, dan etnis Dayak. Dalam peta politik 2009, wilayah ini bisa memainkan peranan penting.

Hampir semua wilayah kabupaten di Kalimantan Tengah menggunakan wilayah DAS sebagai wilayah administrasi. Misalnya, DAS Barito yang menjadi Kabupaten Barito Utara, Barito Timur, dan Barito Selatan. Kemudian, DAS Kapuas, Katingan, dan Seruyan yang menjadi tiga wilayah kabupaten dengan nama yang sama.

Daerah aliran sungai juga menjadi faktor penting untuk melihat identitas politik masyarakat. Ketua Jurusan Ilmu Sosial dan Politik Universitas Palangkaraya Sidik R Usop menjelaskan, pilihan politik masyarakat Kalimantan Tengah didasarkan pada kesukuan (Dayak), DAS, dan hubungan kekeluargaan yang kuat. Hal ini dapat dibuktikan pada beberapa pesta demokrasi di Kalteng. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Golkar saling berebut simpati di wilayah hulu dan hilir DAS.

Penyebutan nama DAS juga digunakan sebagai identitas diri suku Dayak. Tjilik Riwut dalam buku Maneser Panatan Tatu Hiang, Menyelami Kekayaan Leluhur menyebutkan, masyarakat Dayak menggunakan nama daerah aliran sungai besar di mana mereka bertempat tinggal untuk menyebut identitas diri dan tempat asal.

Misalnya, etnis Dayak Ngaju yang sering juga disebut Dayak Kapuas atau Kahayan. Mereka mayoritas bermukim di DAS Kapuas dan Kahayan. Sesuai dengan artinya, Dayak Ot Danum (hulu sungai), bermukim di bagian hulu DAS Kahayan dan Katingan.

Dayak merupakan etnis terbesar di Kalteng. Sensus Penduduk 2000 mencatat, sekitar 41 persen penduduk di Kalteng didominasi Dayak Ngaju, Sampit, Bakumpai, Katingan, dan Maayan. Selain itu, sekitar 24 persen penduduknya adalah etnis Banjar, 18 persen etnis Jawa, dan sisanya Batak, Madura, Minang, dan Tionghoa.

Dayak sebagai penduduk asli Kalteng lebih memilih tinggal di wilayah pedalaman. Jarang masyarakat Dayak yang bermukim di wilayah pesisir. Menurut Ch F H Dumont dalam buku Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan (Tjilik Riwuk, 1993), ini disebabkan keberadaan orang Dayak yang telah mendiami seluruh bagian pulau Kalimantan (pesisir dan pedalaman) itu terdesak oleh kehadiran orang Melayu.

Pendapat ini sesuai dengan hasil Sensus Penduduk 2000. Mayoritas penduduk wilayah pedalaman, seperti di Kabupaten Barito Selatan, Barito Utara, Lamandau, Seruyan, Katingan, Pulang Pisau, Gunung Mas, Barito Timur, Murung Raya, dan Kota Palangkaraya, didominasi oleh warga suku Dayak.

Kumpiadi Widen, antropolog Universitas Palangkaraya, menyebutkan, Dayak Ot Danum tinggal di wilayah hulu Kabupaten Seruyan, Katingan, dan Gunung Mas, sedangkan masyarakat Dayak Bakumpai menempati wilayah Murung Raya, Barito Utara, dan Barito Selatan.

Kabupaten Lamandau di hulu Sungai Lamandau didiami oleh mayoritas Dayak Tamuan. Dayak Maayan lebih banyak bermukim di Kabupaten Barito Timur. Dayak Ngaju, etnis Dayak terbesar di Kalteng, tinggal menyebar di wilayah hulu Kabupaten Katingan, Pulang Pisau, Kapuas, dan Kota Palangkaraya.

Keberadaan etnis Banjar di Kalteng juga patut diperhitungkan. Migrasi etnis Banjar ke Kotawaringin terjadi saat putra mahkota Raja Manuhum, raja Kerajaan Banjar, mendirikan Kerajaan Kotawaringin di Desa Pandau (wilayah hulu Kotawaringin Barat).

Sejak itu, etnis Banjar yang tinggal di wilayah Kalimantan Selatan mulai menempati Kerajaan Kotawaringin. Lambat laun, tidak hanya wilayah Kotawaringin Barat yang menjadi tujuan migrasi masyarakat Banjar, wilayah hilir Seruyan, Kotawaringin Timur, Pulang Pisau, Kapuas, dan Sukamara juga menjadi tempat bermukim suku Banjar.

Etnis terbesar ketiga adalah Jawa. Migrasi masyarakat Jawa ke Kalteng dimulai saat pemerintah mencanangkan program transmigrasi. Wilayah-wilayah transmigrasi tersebut ada di Kabupaten Kotawaringin Barat, Pulang Pisau, Kapuas, dan Kota Palangkaraya.

Biasanya daerah permukiman transmigrasi berada di wilayah tengah DAS, tetapi tidak terlalu jauh dari wilayah pesisir (hilir) dan bukan merupakan wilayah pedalaman (hulu). Pada akhirnya, migrasi suku Jawa bukan saja karena program transmigrasi, tetapi karena terbukanya lapangan pekerjaan di Kalteng, seperti sektor perdagangan, pemerintahan, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.

Kekuatan partai politik

Perbedaan karakteristik etnis di wilayah hulu dan hilir DAS melahirkan wilayah heterogen dan homogen. Wilayah homogen di hulu DAS cenderung menjadi tempat bermukim etnis Dayak. Adapun bagian hilir DAS cenderung menjadi wilayah heterogen, sebagai tempat tinggal bermukim etnis pendatang, seperti Banjar, Jawa, dan Madura.

Agaknya karakteristik inilah yang dipakai partai politik untuk menancapkan kekuasaan di bumi ”Isen Mulang” tersebut.

Golongan Karya (Golkar), partai yang telah mengakar di Kalteng, menguasai lima kali pemilu (1971 sampai 1992). Zaman Orde Baru, peran Golkar dan pemerintah pusat sangat kuat. Kepemimpinan di setiap instansi pemerintahan lokal pun tak lepas dari ”drop-dropan” Jawa.

Baru pada tahun 1999, kekuatan Golkar bisa digeser oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Partai berlambang banteng ini mulai menggoyang Golkar di wilayah hilir DAS, seperti Kabupaten Kotawaringin Timur, Kapuas, dan Kota Palangkaraya.

Selain itu, PDI-P juga berhasil merebut wilayah hulu beretnis homogen di Kabupaten Barito Utara. Meskipun begitu, kemenangan PDI-P di empat wilayah tersebut bukan kemenangan telak. Golkar masih berusaha membayanginya.

Kemenangan PDI-P tidak bertahan lama. Dalam Pemilu 2004, total perolehan suara Partai Golkar (25,6 persen) di Kalteng mengungguli perolehan suara PDI-P (21,8 persen). PDI-P hanya bisa mempertahankan kemenangan di Kota Palangkaraya.

Kemenangan PDI-P justru terkonsentrasi di wilayah-wilayah pemekaran, seperti di Kabupaten Seruyan, Katingan, Gunung Mas, dan Murung Raya. Wilayah-wilayah yang dulu menjadi bagian Kabupaten Kotawaringin Timur, Barito Utara, dan Kapuas tersebut merupakan wilayah homogen yang dihuni oleh etnis Dayak.

Pemilihan kepala daerah secara langsung sejak tahun 2005 membawa perubahan besar pada politik peta Kalteng. Pilkada membuka kemungkinan bagi partai-partai lain untuk berkembang. Dimulai pada Pilkada Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat, 23 Juni 2005. Kedua wilayah heterogen tersebut membawa angin segar bagi partai-partai lain selain Golkar dan PDI-P.

Pilkada Kotawaringin Timur dimenangi oleh pasangan calon bupati yang diusung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN), sementara di Kotawaringin Barat, hasil pilkada menunjukkan pasangan calon bupati yang diusung oleh Partai Demokrat mengungguli dua pasangan calon lainnya yang diusung oleh Partai Golkar dan PDI-P.

Jika partai-partai menengah dan kecil berjaya di wilayah heteregon, PDI-P dan Partai Golkar masih bertahan di wilayah-wilayah homogen. Dalam pilkada di Kabupaten Lamandau, Seruyan, Pulang Pisau, Kapuas, Murung Raya, Barito Utara, dan Barito Timur, Partai Golkar dan PDI-P masih unggul. Tetapi, dua partai tersebut harus berkoalisi dengan partai-partai lainnya.

Seperti di Murung Raya. Pilkada di kabupaten yang mayoritas dihuni oleh etnis Dayak Bakumpai tersebut dimenangi oleh pasangan bupati yang diusung oleh PDI-P, PPP, Partai Golkar, PAN, PKB, PBR, dan Partai Damai Sejahtera (PDS).

Fenomena itu menjadi menarik karena Partai Golkar atau PDI-P masih unggul di wilayah solid: Kabupaten Sukamara, Katingan, Gunung Mas, dan Barito Selatan. Semua wilayah tersebut merupakan wilayah homogen yang mayoritas dihuni oleh satu etnis tertentu. Hal itu semakin mempertegas pembagian kekuatan Partai Golkar dan PDI-P. Partai Golkar lebih menguasai wilayah hilir, sebaliknya wilayah hulu menjadi basis suara PDI-P.

Apakah fenomena tersebut sebagai kebetulan? Kumpiady menyebutkan, etnis Dayak lebih nasionalis, tidak fanatik pada agama ataupun partai. Mereka cenderung mengutamakan heterogenitas dalam politik dan pemerintahan, serta lebih melihat pada kemampuan dan profesionalisme seorang tokoh.

Ini menjawab pertanyaan mengapa di Kabupaten Gunung Mas yang penduduknya mayoritas beragama Kristen tidak memilih calon bertahan Julius Judae Anom yang beragama Kristen. Sebaliknya, pilkada dua putaran itu dimenangi oleh Hambit Binti yang memakai identitas Islam. Agaknya, rekam jejak dan kemampuan calon yang pernah menjadi Wakil Bupati Gunung Mas 2003-2008 tersebut menjadi penentu kemenangannya.

Hal serupa juga terjadi dalam Pilkada Kota Palangkaraya. Meskipun pada Pemilu 2004 perolehan suara terbanyak diraih PDI-P, pemilihan wali kota tersebut menorehkan cerita lain. Pasangan calon wali kota Muhammad Riban Satia-Maryono yang diusung oleh PPP, PKS, PAN, PBB, dan PBR unggul 31 persen suara. Dinamika politik memang cukup menonjol di ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah tersebut.

Tidak hanya di ibu kota, bahkan wajah Kalteng seakan berubah setelah pilkada gubernur dimenangi oleh calon dari PDI-P. Pasangan Agustin Teras Narang- Achmad Diran hampir menyapu bersih suara di seluruh wilayah dengan kemenangan di 13 dari 14 kabupaten/kota. Wajah Kalteng yang pada pemilu lalu didominasi warna kuning pun berubah menjadi merah saat pemilihan gubernur berlangsung.

Meskipun begitu, pemilihan kepala daerah secara langsung juga telah membuka ”pintu gerbang” bagi partai-partai selain Golkar dan PDI-P untuk menancapkan kekuatan di sejumlah kabupaten/kota di Kalteng. Akankah Pemilu 2009 memunculkan warna pelangi di bagian tengah Pulau Borneo itu? Kita lihat nanti. (Litbang Kompas)

Tiga Tungku di Borneo Barat

BERBICARA mengenai politik di Kalimantan Barat nyaris selalu terkait dengan tiga suku bangsa besar, Melayu, Dayak, dan Tionghoa. Bahkan, ada singkatan kata yang dikenal di sebagian masyarakat Kalbar, yakni ”sambas”. Sebutan itu bukan mengacu pada nama salah satu kabupaten di provinsi ini, melainkan merupakan gabungan dari kata ”sam” yang dalam terminologi bahasa Tionghoa berarti tiga dan ”bas” yang artinya bangsa. Istilah ini tak lain merujuk pada tiga etnik tersebut di atas.

”Intinya, etnik-etnik itu adalah tiga tungku dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Barat,” ujar Ketua Asosiasi Ilmu Politik Kalimantan Barat Gusti Suryansyah.

Kelompok etnik Melayu, yang merunut sejarahnya berasal dari Malaysia dan Sumatera Timur, umumnya mendiami kawasan perairan Kalimantan Barat. Menurut sensus penduduk yang terakhir dilakukan Badan Pusat Statistik, tahun 2000 proporsi penduduk Melayu Sambas dan Melayu Pontianak mencapai 19 persen.

Untuk membedakan kalangan mereka biasanya didasarkan pada daerah tempat tinggal. Misalnya, Melayu yang tinggal di Kabupaten Landak disebut Melayu Landak. Mata pencarian utama suku bangsa ini adalah petani dan nelayan meski sekarang tidak sedikit juga yang menjadi pegawai negeri, swasta, atau pedagang.

Kelompok etnik Dayak umumnya mendiami daerah pedalaman Kalimantan Barat dan terbagi dalam banyak subetnik. Dalam buku Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat terbitan Institut Dayakologi (2008) disebutkan bahwa suku Dayak terbagi hingga sebanyak 151 subetnik. Proporsi penduduk dari tiga subetnik dominan dari suku bangsa Dayak di Kalbar, yakni Kendayan, Darat, dan Pesaguan, mencapai 20 persen.

Sementara itu, etnik Tionghoa juga terbagi dalam sejumlah subetnik. Namun, paling tidak ada dua etnik besar yang mendiami Kalbar, yaitu Hakka (Khek) dan Tewciu atau Hoklo. Orang Hakka banyak berada di pedalaman, bekerja sebagai penambang emas di Montoredo (wilayah Kabupaten Landak), dan sebagian lainnya bertani. Sementara orang Tewcu biasanya bekerja sebagai pedagang dan banyak mendiami kawasan perkotaan di Kalbar, misalnya di Kota Pontianak dan Kabupaten Pontianak. Proporsi penduduk etnik Tionghoa di Kalbar mencapai 9,4 persen.

Pembagian tiga etnik besar tersebut masih hidup sampai sekarang. Paling tidak pengaruh kewilayahan budaya ini terbukti berpengaruh pada pertarungan politik di Kalbar ketika berlangsung ajang pemilihan kepala daerah.

Partai Golkar dan PDI-P, yang mendominasi perolehan suara dalam pemilu legislatif, tak selalu berhasil mengegolkan calon yang diusung dalam kancah pilkada. Tanpa berkoalisi, Partai Golkar hanya memenangkan calonnya di Kabupaten Kapuas Hulu, Ketapang, dan Sanggau. Sementara PDI-P hanya berhasil mengegolkan calonnya di Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Landak. Dalam pemilihan gubernur, pasangan calon dari PDI-P, Cornelis-Cristiandy Sanjaya, kombinasi Dayak dan Tionghoa, banyak mendapatkan dukungan dari Kabupaten Bengkayang, Landak, Sanggau, Sekadau, Sintang, Melawi, Kapuas Hulu, dan Kota Singkawang.

Dalam skala politik lokal, kesadaran dari tiap-tiap etnik untuk memunculkan eksistensinya masih kental. Itu sebabnya asal-usul seorang calon kepala daerah menjadi pertimbangan penting bagi pemilih. Di kalangan etnik Tionghoa juga muncul kesadaran eksistensi etnik. Di Kota Singkawang, yang sebagian besar penduduknya adalah Tionghoa, terpilih wali kota dari etnik itu.

Syarief Ibrahim Al Qadrie, sosiolog Universitas Tanjungpura, mengungkapkan bahwa di Kalbar etnis lebih dominan dalam memengaruhi peta kekuatan politik daripada agama. ”Di Kalimantan Barat, masyarakat cenderung melihat sosok dari sisi etnis ketimbang agama. Latar belakang agama seorang calon agaknya tidak terlalu menjadi pertimbangan pemilih,” ujarnya. (Bima Baskara)

Bubuhan, Benang Merah Urang Banjar

Oleh Nurul Fatchiati

SEGALA aspek kehidupan masyarakat Banjar berkelindan pada dua hal utama, agama dan kekerabatan. Apa pun konflik personal dan komunitas yang terjadi dalam etnis terbesar di Kalimantan Selatan tersebut dapat dirembuk lewat pendekatan bubuhan.

Di samping agama (Islam), urang (orang) Banjar dipertautkan pula melalui bubuhan. Merunut sejarah warga kampung Banjar, bubuhan awalnya menunjuk pada nama kelurahan atau lalawangan (wilayah setingkat kabupaten) tertentu.

Dalam perkembangannya, istilah yang berkembang pada zaman kesultanan itu tidak selalu mengacu pada nama wilayah. Saat ini bisa juga mengacu pada nama salah satu tokoh masyarakat setempat atau orang yang dihormati

Alfani Daud, pakar budaya Banjar, dalam bukunya Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar (1997) menuturkan bahwa bubuhan mulanya mengacu pada identifikasi seseorang sebagai warga atau anak kampung tertentu.

Seiring perjalanan waktu, istilah bubuhan merujuk pada salah satu identifikasi keberadaan seseorang dalam konteks sosio- kultural masyarakat Banjar. Secara sederhana, bubuhan dapat dipahami sebagai suatu wadah orang Banjar dalam satu ikatan kekerabatan.

Pada akhirnya, meskipun secara umum bubuhan bersandar pada garis keturunan, lokalitas, atau kesejarahan, wadah kekeluargaan itu makin berkembang. Sifatnya kini relatif lebih terbuka bagi siapa saja yang berhasil ”memetakan” posisi dirinya dalam suatu kelompok atau komunitas.

Dalam konteks politik kekuasaan di wilayah ini, bubuhan sangat berperan penting. Kepatuhan masyarakat Banjar terhadap patron tokoh agama atau ulama dan tokoh masyarakat dapat menjadi nilai tambah terhadap konsep bubuhan.

Apriansyah, dosen politik dari Universitas Lambung Mangkurat, Kota Banjarmasin, menyatakan, bubuhan menjadi sandaran untuk mencandrai eksistensi seseorang, melacak jejaring orang yang bersangkutan, dan akhirnya menetapkan orang tersebut kawan atau lawan dalam berpolitik.

Bubuhan yang menjadi sandaran ikatan kekerabatan masyarakat dan Islam tersemai dan terpelihara lewat budaya sungai. Islam membangun sikap kepatuhan masyarakat sebagai santri terhadap ulamanya sebagai patron dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam berpolitik. Sikap tersebut masih lestari, terutama pada ”santri duduk”.

”Calon yang merupakan ’santri duduk’ dari majelis salaf (pengajian) dan mempunyai kedekatan dengan ulamanya akan lebih mudah meraih pendukung ketimbang santri formal (sekolah agama formal),” kata Apriansyah.

Patron ulama, terutama yang berasal dari ”kaum tuha” (mengacu pada Nahdlatul Ulama), masih sangat dihormati dan dipatuhi sebagian masyarakat Banjar. Hal ini menjawab realitas bahwa hampir semua bupati dan wali kota, termasuk gubernur, yang terpilih melalui pemilihan kepala daerah langsung selalu melalui jalur partai berhaluan Islam, khususnya yang kental bernuansa NU, seperti PPP dan PKB.

Islam vs Nasionalis

Afiliasi keagamaan agaknya tetap menjadi pijakan utama masyakarat Kalsel dalam menetapkan pilihan politiknya. Hal tersebut tecermin dalam hasil pemilihan umum legislatif di bumi Lambung Mangkurat ini. Pada Pemilu 1955, partai politik bernuansa Islam mendominasi lebih dari 82 persen perolehan suara, tersalur pada Partai Nahdlatul Ulama (49,5 persen) dan Masjumi. Parpol berhaluan nasionalis, yaitu PNI, hanya bisa memetik sekitar enam persen suara.

Semasa Orde Baru, Kota Baru adalah lumbung suara Partai Golkar di Kalsel. Perolehan suara parpol tersebut di bumi ”Sa-ijaan” (semufakat, satu hati, dan seia sekata; moto Kota Baru) tak pernah kurang dari 80 persen. Namun, meski secara umum masih memenangi Pemilu 1999 dan 2004 di Kalsel, Partai Golkar tak lagi eksis di ”Banua Lima” yang meliputi Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan, dan Tabalong.

Kegairahan memilih parpol bernuansa Islam bangkit kembali selepas hegemoni Partai Golongan Karya yang mendominasi kemenangan pemilu di Kalsel pada tahun 1971-1997. Hal itu tampak dari penurunan suara beringin secara signifikan di beberapa kabupaten yang menjadi basis dukungan parpol itu.

Seperti halnya suara Partai Golkar di Kota Baru. Sejak pemilu multiparpol berlaku kembali pada tahun 1999, perolehan beringin menyusut drastis, hanya mampu meraih kurang dari 36 persen suara. Adapun PPP, yang sebelum era reformasi selalu menempati posisi runner up dalam setiap pemilu, semakin menunjukkan kekuatan politiknya.

Gelombang pembalikan semakin kuat pada pemilu selanjutnya. Pada Pemilu 2004, mayoritas konstituen di lima kabupaten di wilayah ini kembali memilih parpol Islam. Partai Persatuan Pembangunan mengantongi suara cukup banyak di wilayah yang mayoritas dimukimi orang Banjar Pahuluan. Padahal, sepanjang Orde Baru, selain Kota Baru, ”Banua Lima” adalah basis Partai Golkar.

Sejumlah parpol lain bernuansa Islam yang menjadi peserta pemilu pascareformasi juga berbagi suara di 11 kabupaten dan dua kota di Kalsel. Beberapa di antaranya, seperti PKB, PKS, dan PAN, berhasil meraih simpati ratusan ribu konstituen hanya dalam dua kali pemilu. Hal tersebut tak lepas dari pengaruh ”napas keislaman” yang diusung parpol- parpol tersebut.

Walaupun cukup berjaya di Kalsel, tidak semua kabupaten dan kota terpapar haluan politik parpol bernapaskan Islam. Beberapa wilayah yang menjadi pusat keberadaan orang Banjar Kuala, seperti Kabupaten Banjar, Kota Banjarbaru, dan Kota Banjarmasin, menjadi lahan potensial bagi parpol berhaluan nasionalis. Dari pemilu ke pemilu, jumlah pemilih PDI-P di daerah-daerah tersebut cenderung meningkat.

Bahkan, pada Pemilu 1999, PDI-P mengungguli Partai Golkar di wilayah urban. Beberapa wilayah, seperti Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Tanah Laut, juga berpotensi disemai partai berhaluan nasionalis. Wilayah tersebut memang merupakan wilayah transmigran dengan komposisi penduduk heterogen, yaitu pembauran antara etnis Banjar, Jawa, dan Bugis.

Pemersatu politik

Tak dimungkiri, bubuhan cukup memengaruhi opini konstituen di Kalsel. Apriansyah memaparkan, jika seorang caleg berhasil merangkai benang merah bubuhan dari orang-orang di sekitarnya—termasuk jejaring kekerabatan dari pihak istri atau suami, mertua, dan ipar—yang bersangkutan berpeluang memperkuat eksistensinya di mata konstituen. Ini disebabkan masyarakat Banjar menempatkan bubuhan sebagai bagian dari labelling seseorang dalam konteks sosial masyarakat.

Selain jaringan kekerabatan, kedekatan lokalitas, dan bobot kesejarahan keluarga, bubuhan juga terbangun dari kekuatan patron yang dimiliki calon kepala daerah atau caleg yang bersangkutan.

Dalam pemilihan gubernur Kalsel beberapa waktu lalu, misalnya, kedekatan gubernur terpilih Rudy Arifin dengan Tuan Guru Haji Muhammad Zaini Abdul Ghani—lebih dikenal sebagai Tuan Guju Ijai—tokoh ulama dari Kalsel, menjadi salah satu pemersatu beragam bubuhan dalam pilgub. Fenomena tersebut cukup membuktikan, tokoh yang menjadi patron masyarakat berperan banyak dalam menentukan dukungan bubuhan terhadap calon atau parpol tertentu.

Sepeninggal Tuan Guru Ijai, ditengarai belum ada tokoh ulama atau tokoh masyarakat yang dipandang mampu mempersatukan bubuhan-bubuhan di Kalsel. Jika sampai Pemilu 2009 berlangsung tak muncul tokoh kharismatik baru, bisa diperkirakan afiliasi politik masyarakat Kalsel akan terpencar pada bubuhan- bubuhan yang caleg-calegnya mampu menggalang pengaruh cukup luas, baik melalui parpol Islam maupun parpol berhaluan nasionalis. (NURUL FATCHIATI/ LITBANG KOMPAS)