Jumat, 30 Januari 2009

Etika Politik Iklan Politisi

Oleh Mochamad Toha *

Simak iklan ini: ''Saya, Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDI Perjuangan, menginstruksikan kepada segenap jajaran pengurus DPD, DPC, PAC, dan ranting beserta seluruh kader, anggota, dan simpatisan PDI Perjuangan se-Jawa Timur untuk membela dan mempertahankan kemenangan Kaji dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur tanggal 4 November 2008, sesuai hasil quick count dan hitung manual Tim Kaji. Lawan dan hadapi, segala bentuk aksi kecurangan dan pendholiman.''

Pantaskah instruksi terbuka mantan dan calon presiden yang dapat membakar emosi, membangkitkan amarah, serta menyulut benturan antarmassa itu diucapkan tokoh dan politisi sekaliber Megawati?

Iklan politik yang mengajak ''lawan dan hadapi'' perilaku curang dan zalim dalam pilgub Jatim putaran II bisa memicu konflik horizontal di Jatim.

Jika ditelan mentah-mentah tanpa pertimbangan, instruksi itu dapat berakibat fatal dan merugikan banyak pihak, terutama pendukung Karsa. Mereka bisa menjadi sasaran amarah pendukung Kaji. Apakah itu yang dikehendaki politisi di sekitar Megawati?

Megawati yang notabene seorang ibu tak mungkin tega melihat ''anak-anak'' bangsa ini bertikai sampai berdarah-darah hanya karena berebut jabatan sebagai gubernur dan wakil gubernur. Mungkin memang seperti itulah kualitas politisi kita. Tidak punya etika politik dalam beriklan!

Bicaranya ngawur dan provokatif tanpa menghitung dampak yang bisa terjadi. Pesan yang disampaikan cenderung menyerang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah gerah ketika Ketua Umum DPP Partai Hanura Wiranto merilis ''iklan miskin'' di media televisi.

Dalam iklan awal 2008 itu, Wiranto melakukan ''serangan terbuka'' terhadap Presiden SBY. Angka kemiskinan di Indonesia yang diungkap Wiranto dengan acuan Bank Dunia sebesar 495 persen. Sedangkan SBY memakai data Biro Pusat Statistik (BPS) sebesar 16,5 persen.

Lebih Simpatik

Iklan Wiranto tersebut berbeda dari iklan Prabowo Subianto. Pesan iklan ketua umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) itu lebih simpatik. Mengajak rakyat untuk mengonsumsi produk pertanian kita. Juga, mengungkap betapa kayanya alam Indonesia. Menggugah semangat kemandirian.

Wajar jika iklan Prabowo tersebut bisa mendongkrak popularitas dan elektabilitasnya sebagai salah satu capres yang naik terus, sebagaimana ditunjukkan Lembaga Survey Nasional (LSN). Hasil jajak pendapat LSN pada 20-27 September 2008 memosisikan Prabowo di tiga besar, setelah SBY dan Megawati.

Sayang, pesan peningkatan taraf hidup petani yang disampaikan Prabowo tersebut telah direndahkan Megawati dengan kampanye ''sembako murah'' yang ditayangkan di televisi. Iklan sembako murah tersebut bisa menjadi blunder bagi PDIP dan Megawati.

Lihat saja reaksi Ketua Umum DPP Partai Golkar M. Jusuf Kalla (JK) yang menilai iklan sembako murah itu sebagai sesuatu yang ''berbahaya'' karena merugikan 40 juta petani kita. JK pun meminta agar rakyat tak memilih partai sembako murah.

Bagaimana iklan Golkar? Jika disimak, munculnya iklan JK ''juru damai'' di televisi itu sejatinya merupakan bentuk reaksi atas iklan Partai Demokrat (PD) yang mengakui tiga kali penurunan harga BBM sebagai ''sukses'' Presiden SBY. Iklan BBM turun tiga kali itu pula yang direaksi keras oleh PDIP.

Terlepas dari hitungan ekonomis penyebab turunnya harga BBM, semestinya PD tidak serta-merta mengklaim kebijakan tersebut sebagai sukses SBY semata. Itulah yang menyebabkan Golkar ''tersinggung''. Sebab, penurunan harga BBM itu merupakan keputusan pemerintah, bukan SBY pribadi!

Di situ ada menteri ''partai koalisi'' seperti Golkar, PPP, PAN, PBB, dan PD sendiri. Dari situ sangat tampak, partai kurang cerdik dalam mengemas isi pesan. Mungkin iklan ''Hidup Adalah Perbuatan'' Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir (SB) dan Prabowo lebih ''beretika politik''.

Momen Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional dipakai SB supaya lebih dikenal masyarakat. SB rela merogoh koceknya sebesar Rp 300 miliar. Saat bertemu wartawan di Surabaya, SB mengakui, menjadi capres atau cawapres harus populer. Untuk itu, memang butuh dana yang tidak sedikit.

Temuan Nielsen Media Research Indonesia pada 2008 mencatat, sekitar Rp 2,2 triliun dana telah dibelanjakan untuk kepentingan kampanye partai dan publikasi capaian kinerja pemerintah. Besaran belanja iklan politik dan pemerintah ini meningkat tajam sekitar 66 persen dibanding 2007 (Rp 1,32 triliun).

Data yang dirilis Business Development Nielsen Media Reserarch Maika Randini di Jakarta pada 20 Januari 2009 itu menyebutkan, sebagian besar alokasinya tersedot untuk media cetak, yaitu Rp 1,31 triliun. Nilai tersebut melampaui jumlah belanja iklan politik dan pemerintahan di televisi (Rp 862 miliar).

Sisanya, Rp 86 miliar, dibelanjakan di majalah. Riset itu juga menulis, banyak koran lokal yang menikmati dana iklan politik dan pemerintahan dari belanja iklan calon kepala daerah. Belanja iklan tersebut naik 181 persen dari Rp 64 miliar (2007) menjadi Rp 180 miliar (2008).

PD rata-rata mengeluarkan dana Rp 15,5 miliar/bulan. Disusul, Gerindra (Rp 8 miliar), Golkar (Rp 5 miliar), PKS (Rp 2 miliar), dan PDIP (Rp 1,5 miliar). Sebanyak 93 media cetak, 19 stasiun televisi, dan 151 majalah serta tabloid telah menikmati duit belanja iklan politik partai dan pemerintah.

Belanja iklan politik tersebut akan semakin intensif bersamaan dengan berjalannya ''Tahun Politik 2009'' dengan dua agenda pemilu (legislatif dan presiden). Pertarungan iklan politik bisa semakin sengit. Hanya, yang perlu dijaga, iklan tersebut harus punya etika politik dan materinya lebih cerdas.

Jangan menampilkan iklan bernada provokasi dan memojokkan. Sebab, pesan seperti itu bisa membuat rakyat antipati pada partai dan tokohnya. Rakyat kini tak bisa dikibuli dengan pesan dan janji politik. Rakyat sudah bosan dengan ''konflik politik'' yang tidak pernah selesai!*

*. Mochamad Toha, wartawan Majalah FORUM Keadilan
sumber :
[ Sabtu, 31 Januari 2009 ] jawapos.com

Senin, 26 Januari 2009

Pengacara PKS sogok Polda

Wibawa PKS Sebagai Partai Bersih Tercoreng
Laurencius Simanjuntak - detikPemilu

Jakarta - Tindakan pengacara Presiden PKS Tifatul Sembiring, M Anwar Junaedi yang menyogok Polda Metro Jaya dinilai mencoreng partai dakwah tersebut. Skandal itu pun dinilai memukul kewibawaan partai yang berslogan bersih, peduli dan profesional ini.

"Itu memukul dan mencoreng wibawa PKS secara besar. Hal memalukan itu lebih baik tidak dilakukan lagi," kata pengamat politik Universitas Airlangga Daniel Sparingga saat dihubungi detikcom, Sabtu (24/1/2009).

Menurut Deniel, PKS sebaiknya mengambil langkah-langkah cepat dan tepat agar slogan bersih, peduli dan profesional yang dikumandangkannya lebih punya makna.


"Yaitu dengan cara mengawasi secara ketat kader-kadernya terutama ketika melakukan transaksi-transaksi kekuasaan," ujar dosen ini.

Daniel menilai langkah cepat yang diambil PKS dengan memecat Anwar Junaedi adalah langkah yang tepat untuk menjaga kewibawaan partai. "Walaupun tercoreng skandal itu, tindakan memecat pengacara itu secara cepat akan memulihkan wibawa mereka," imbuhnya.

Daniel menjelaskan, skandal suap terkait perkara hukum adalah hal yang umum di negeri ini. "Ketika politik dan hukum bergesekan hasilnya kerap berupa uang. Ini hal yang agak umum di negeri ini, dan PKS tidak terbebaskan dari ini," kata Daniel.

Kasus ini bermula saat Anwar mengaku membayar uang sebesar Rp 10 juta untuk diberikan kepada seseorang yang mengaku sebagai Kahumas polda Metro Jaya. Konon, uang tersebut untuk melicinkan agar Polda Metro mengeluarkan SP3 terhadap kasus yang dialami Tifatul terkait kasus demo Palestina.

Anwar, yang tak
lain adalah kakak kandung caleg dari PKS Adang Daradjatun telah membayar uang Rp 10 juta. Namun ketika dia datang ke Polda Metro untuk mengambil SP3, malah bantahan dari Polda yang didapat.