Kamis, 19 Februari 2009

Dalam Tarikan Islam dan Nasionalis

Oleh Bambang Setiawan

Pemerian kekuatan politik di Aceh tak lepas dari tarik ulur antara penetrasi partai-partai bernuansa Islam dengan partai-partai berhaluan nasionalis. Meskipun cenderung turun, secara keseluruhan kekuatan partai berbasis massa Islam masih dominan dengan meraih 55,75 persen suara di wilayah Aceh pada Pemilu 2004. Dalam pemilu sebelumnya, suara yang diraih mencapai 63,9 persen.

Kejayaan partai-partai Islam di wilayah "Serambi Mekkah" sebetulnya sudah diraih pada pemilu pertama, 1955, ketika Aceh masih menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Pemilihan kekuatan politik sudah cukup kentara, setidaknya dilihat dari perwujudan kekuatan partai di tiga wilayah yang berbeda: utara-timur, tengah, dan barat-selatan.

Gabungan suara yang diperoleh partai-partai Islam, seperti Masyumi, NU, PSII, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan PPTI, diseluruh wilayah Aceh mencapai 90,46 persen. Partai terbesar adalah Masyumi yang berhasil menggalang 75,57 persen pemilih. Suara terbesar untuk partai ini diperoleh dari wilayah utara dan timur (Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh timur). Sementara itu, di Aceh Barat dan Aceh Selatan, Masyumi harus berbagi dengan sesama partai Islam Lainnya, Perti dengan selisih tipis.

Di luar itu, Aceh Tengah memiliki corak yang sedikit berbeda dengan wilayah lainnya. Walau Masyumi unggul dengan 67,54 persen suara, tetapi di daerah ini eksistensi Partai Kristen Indonesia (Parkindo) terlihat lebih menonjol dibanding di wilayah Aceh lainnya. Parkindo mendapatkan 10,88 persen suara di wlayah ini. Keberadaan partai nasionalis, terutama PNI, juga cukup terasa meski hanya mendapatkan porsi 7,93 persen.

Karakter pemilih yang berbeda, menurut Teuku Dadek, pemerhati politik dan budaya Aceh, didasari oleh kultur politik dan etnis yang memang cenderung berlainan. Wilayah utara dan timur yang menjadi basis dari Partai Masyumi mayoritas adalah etnik Aceh yang menggunakan bahasa Aceh. Aceh Tengah yang didominasi oleh suku Gayo-Alas pada dasarnya merupakan kesatuan kultural yang memiliki sejarah, bahasa, dan kepentingan berbeda. Selain barakar pada keterikatan masyarakat dengan Kerajaan Linge yang memerintah pada abad XIII-XV, dalam perkembangan Aceh selanjutnya terjadi ketimpangan dalam distribusi kekuasaan. "Wilayah Aceh bagian tengah merasa terpinggirkan dari kekuasaan politik yang didominasi oleh elite dari Aceh bagian utara dan timur sehingga tidak heran kalau kemudian wacana untuk membentuk provinsi sendiri sempat mencuat," ungkap Dadek.

Sementara itu, bagian barat dan selatan yang sebagian mendukung Perti pada Pemilu 1955, pada dasarnya adalah kelompok masyarakat yang banyak dipengaruhi oleh kultur Minang. Sebagian dari masyarakat di wilayah ini menggunakan bahasa Aneuk Jamee, hasil akulturasi bahasa Aceh dan Minang. Partai Islam Perti yang mendapat dukungan mereka di wilayah ini, didirkan di Bukittinggi sebagai organisasi pendidikan bagi Muslim tradisional Minangkabau.

Penetrasi Orde Baru

Penetrasi kekuasaan Orde Baru lewat Golongan Karya dalam pemilu kedua yang digelar tahun 1971 langsung menyedot suara untuk partai-partai Islam hingga tinggal separuhnya (48,89 persen). Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Tengah, dan Banda Aceh pun berubah menjadi basis Golkar. Sebaliknya, meskipun pemilih di wilayah utara dan timur tetap mempertahankan kecenderungan mencoblos partai-partai Islam, tetapi tanpa kehadiran Masyumi (yang dibubarkan oleh pemerintah pada tahun 1960) basis massa Islam cenderung tersebar di Parmusi, Perti, NU, dan PSII. Di Pidie, Golkar menghadapi perlawanan paling berat dari partai-partai tersebut sehingga hanya bisa mengumpulkan 28,49 persen suara. Kekuatan Golkar juga kurang dominan di Aceh Utara dan Aceh Besar. Namun, periode setelah itu, penetrasi Golkar kian masif sehingga dalam pemilu terakhir di zaman Orde Baru (1977) Golkar menguasai semua wilayah Aceh.

Masa reformasi

Dalam pemilu demokratis tahun 1999, partai-partai bernuansa Islam kembali merebut sebagian wilayah yang dikuasai Golkar. Golkar dipaksa rela berbagi kemenangan dengan PPP dan PAN. Bahkan, PPP mampu memenangi empat kabupaten. Ketokohan putra kelahiran Aceh, Ismail Hasan Metareum, yang memimpin PPP (1994-1999), diperkirakan membuat partai ini memiliki eksistensi yang cukup kuat di Aceh. Adapun partai baru yang berbasis massa kalangan Muhammadiyah, PAN, berkibar di Kota Banda Aceh dan Pidie.

Kekuatan Golkar kembali naik dalam Pemilu 2004 dengan menguasai 10 dari 21 kabupaten/kota, terutama di wilayah-wilayah yang berdekatan dengan Sumatera Utara. Partai nasionalis lainnya, PDI-P, yang dalam pemilu sebelumnya mampu menang di Kabupaten Aceh Timur, tergerus dan menjadi partai yang tidak memiliki pengaruh signifikan.

Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mampu meraih dukungan terbesar di Kota Banda Aceh dan menggeser dengan suara dua kali lipat dari perolehan suara pemenang sebelumnya, PAN. (LITBANG KOMPAS)

1 komentar:

  1. Kalo memang benar partai-partai Islam ini mengusung ISLAM kenapa tidak bersatu saja. Bukankah yang kalian perjuangkan itu sama? Atau jangan-jangan kalian hanya mau kekuasaan? Wah....

    BalasHapus