Kamis, 19 Februari 2009

Merah dan Kuning, Hulu dan Hilir

Oleh M. Puteri Rosalina

DAERAH aliran sungai di Kalimantan Tengah bukan lagi sekadar wilayah daratan penampung air hujan. Wilayah daratan yang dipisahkan secara topografis oleh punggung bukit itu menjadi suatu identitas bagi masyarakat Kalimantan Tengah: identitas wilayah administrasi, politik, dan etnis Dayak. Dalam peta politik 2009, wilayah ini bisa memainkan peranan penting.

Hampir semua wilayah kabupaten di Kalimantan Tengah menggunakan wilayah DAS sebagai wilayah administrasi. Misalnya, DAS Barito yang menjadi Kabupaten Barito Utara, Barito Timur, dan Barito Selatan. Kemudian, DAS Kapuas, Katingan, dan Seruyan yang menjadi tiga wilayah kabupaten dengan nama yang sama.

Daerah aliran sungai juga menjadi faktor penting untuk melihat identitas politik masyarakat. Ketua Jurusan Ilmu Sosial dan Politik Universitas Palangkaraya Sidik R Usop menjelaskan, pilihan politik masyarakat Kalimantan Tengah didasarkan pada kesukuan (Dayak), DAS, dan hubungan kekeluargaan yang kuat. Hal ini dapat dibuktikan pada beberapa pesta demokrasi di Kalteng. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Golkar saling berebut simpati di wilayah hulu dan hilir DAS.

Penyebutan nama DAS juga digunakan sebagai identitas diri suku Dayak. Tjilik Riwut dalam buku Maneser Panatan Tatu Hiang, Menyelami Kekayaan Leluhur menyebutkan, masyarakat Dayak menggunakan nama daerah aliran sungai besar di mana mereka bertempat tinggal untuk menyebut identitas diri dan tempat asal.

Misalnya, etnis Dayak Ngaju yang sering juga disebut Dayak Kapuas atau Kahayan. Mereka mayoritas bermukim di DAS Kapuas dan Kahayan. Sesuai dengan artinya, Dayak Ot Danum (hulu sungai), bermukim di bagian hulu DAS Kahayan dan Katingan.

Dayak merupakan etnis terbesar di Kalteng. Sensus Penduduk 2000 mencatat, sekitar 41 persen penduduk di Kalteng didominasi Dayak Ngaju, Sampit, Bakumpai, Katingan, dan Maayan. Selain itu, sekitar 24 persen penduduknya adalah etnis Banjar, 18 persen etnis Jawa, dan sisanya Batak, Madura, Minang, dan Tionghoa.

Dayak sebagai penduduk asli Kalteng lebih memilih tinggal di wilayah pedalaman. Jarang masyarakat Dayak yang bermukim di wilayah pesisir. Menurut Ch F H Dumont dalam buku Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan (Tjilik Riwuk, 1993), ini disebabkan keberadaan orang Dayak yang telah mendiami seluruh bagian pulau Kalimantan (pesisir dan pedalaman) itu terdesak oleh kehadiran orang Melayu.

Pendapat ini sesuai dengan hasil Sensus Penduduk 2000. Mayoritas penduduk wilayah pedalaman, seperti di Kabupaten Barito Selatan, Barito Utara, Lamandau, Seruyan, Katingan, Pulang Pisau, Gunung Mas, Barito Timur, Murung Raya, dan Kota Palangkaraya, didominasi oleh warga suku Dayak.

Kumpiadi Widen, antropolog Universitas Palangkaraya, menyebutkan, Dayak Ot Danum tinggal di wilayah hulu Kabupaten Seruyan, Katingan, dan Gunung Mas, sedangkan masyarakat Dayak Bakumpai menempati wilayah Murung Raya, Barito Utara, dan Barito Selatan.

Kabupaten Lamandau di hulu Sungai Lamandau didiami oleh mayoritas Dayak Tamuan. Dayak Maayan lebih banyak bermukim di Kabupaten Barito Timur. Dayak Ngaju, etnis Dayak terbesar di Kalteng, tinggal menyebar di wilayah hulu Kabupaten Katingan, Pulang Pisau, Kapuas, dan Kota Palangkaraya.

Keberadaan etnis Banjar di Kalteng juga patut diperhitungkan. Migrasi etnis Banjar ke Kotawaringin terjadi saat putra mahkota Raja Manuhum, raja Kerajaan Banjar, mendirikan Kerajaan Kotawaringin di Desa Pandau (wilayah hulu Kotawaringin Barat).

Sejak itu, etnis Banjar yang tinggal di wilayah Kalimantan Selatan mulai menempati Kerajaan Kotawaringin. Lambat laun, tidak hanya wilayah Kotawaringin Barat yang menjadi tujuan migrasi masyarakat Banjar, wilayah hilir Seruyan, Kotawaringin Timur, Pulang Pisau, Kapuas, dan Sukamara juga menjadi tempat bermukim suku Banjar.

Etnis terbesar ketiga adalah Jawa. Migrasi masyarakat Jawa ke Kalteng dimulai saat pemerintah mencanangkan program transmigrasi. Wilayah-wilayah transmigrasi tersebut ada di Kabupaten Kotawaringin Barat, Pulang Pisau, Kapuas, dan Kota Palangkaraya.

Biasanya daerah permukiman transmigrasi berada di wilayah tengah DAS, tetapi tidak terlalu jauh dari wilayah pesisir (hilir) dan bukan merupakan wilayah pedalaman (hulu). Pada akhirnya, migrasi suku Jawa bukan saja karena program transmigrasi, tetapi karena terbukanya lapangan pekerjaan di Kalteng, seperti sektor perdagangan, pemerintahan, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.

Kekuatan partai politik

Perbedaan karakteristik etnis di wilayah hulu dan hilir DAS melahirkan wilayah heterogen dan homogen. Wilayah homogen di hulu DAS cenderung menjadi tempat bermukim etnis Dayak. Adapun bagian hilir DAS cenderung menjadi wilayah heterogen, sebagai tempat tinggal bermukim etnis pendatang, seperti Banjar, Jawa, dan Madura.

Agaknya karakteristik inilah yang dipakai partai politik untuk menancapkan kekuasaan di bumi ”Isen Mulang” tersebut.

Golongan Karya (Golkar), partai yang telah mengakar di Kalteng, menguasai lima kali pemilu (1971 sampai 1992). Zaman Orde Baru, peran Golkar dan pemerintah pusat sangat kuat. Kepemimpinan di setiap instansi pemerintahan lokal pun tak lepas dari ”drop-dropan” Jawa.

Baru pada tahun 1999, kekuatan Golkar bisa digeser oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Partai berlambang banteng ini mulai menggoyang Golkar di wilayah hilir DAS, seperti Kabupaten Kotawaringin Timur, Kapuas, dan Kota Palangkaraya.

Selain itu, PDI-P juga berhasil merebut wilayah hulu beretnis homogen di Kabupaten Barito Utara. Meskipun begitu, kemenangan PDI-P di empat wilayah tersebut bukan kemenangan telak. Golkar masih berusaha membayanginya.

Kemenangan PDI-P tidak bertahan lama. Dalam Pemilu 2004, total perolehan suara Partai Golkar (25,6 persen) di Kalteng mengungguli perolehan suara PDI-P (21,8 persen). PDI-P hanya bisa mempertahankan kemenangan di Kota Palangkaraya.

Kemenangan PDI-P justru terkonsentrasi di wilayah-wilayah pemekaran, seperti di Kabupaten Seruyan, Katingan, Gunung Mas, dan Murung Raya. Wilayah-wilayah yang dulu menjadi bagian Kabupaten Kotawaringin Timur, Barito Utara, dan Kapuas tersebut merupakan wilayah homogen yang dihuni oleh etnis Dayak.

Pemilihan kepala daerah secara langsung sejak tahun 2005 membawa perubahan besar pada politik peta Kalteng. Pilkada membuka kemungkinan bagi partai-partai lain untuk berkembang. Dimulai pada Pilkada Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat, 23 Juni 2005. Kedua wilayah heterogen tersebut membawa angin segar bagi partai-partai lain selain Golkar dan PDI-P.

Pilkada Kotawaringin Timur dimenangi oleh pasangan calon bupati yang diusung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN), sementara di Kotawaringin Barat, hasil pilkada menunjukkan pasangan calon bupati yang diusung oleh Partai Demokrat mengungguli dua pasangan calon lainnya yang diusung oleh Partai Golkar dan PDI-P.

Jika partai-partai menengah dan kecil berjaya di wilayah heteregon, PDI-P dan Partai Golkar masih bertahan di wilayah-wilayah homogen. Dalam pilkada di Kabupaten Lamandau, Seruyan, Pulang Pisau, Kapuas, Murung Raya, Barito Utara, dan Barito Timur, Partai Golkar dan PDI-P masih unggul. Tetapi, dua partai tersebut harus berkoalisi dengan partai-partai lainnya.

Seperti di Murung Raya. Pilkada di kabupaten yang mayoritas dihuni oleh etnis Dayak Bakumpai tersebut dimenangi oleh pasangan bupati yang diusung oleh PDI-P, PPP, Partai Golkar, PAN, PKB, PBR, dan Partai Damai Sejahtera (PDS).

Fenomena itu menjadi menarik karena Partai Golkar atau PDI-P masih unggul di wilayah solid: Kabupaten Sukamara, Katingan, Gunung Mas, dan Barito Selatan. Semua wilayah tersebut merupakan wilayah homogen yang mayoritas dihuni oleh satu etnis tertentu. Hal itu semakin mempertegas pembagian kekuatan Partai Golkar dan PDI-P. Partai Golkar lebih menguasai wilayah hilir, sebaliknya wilayah hulu menjadi basis suara PDI-P.

Apakah fenomena tersebut sebagai kebetulan? Kumpiady menyebutkan, etnis Dayak lebih nasionalis, tidak fanatik pada agama ataupun partai. Mereka cenderung mengutamakan heterogenitas dalam politik dan pemerintahan, serta lebih melihat pada kemampuan dan profesionalisme seorang tokoh.

Ini menjawab pertanyaan mengapa di Kabupaten Gunung Mas yang penduduknya mayoritas beragama Kristen tidak memilih calon bertahan Julius Judae Anom yang beragama Kristen. Sebaliknya, pilkada dua putaran itu dimenangi oleh Hambit Binti yang memakai identitas Islam. Agaknya, rekam jejak dan kemampuan calon yang pernah menjadi Wakil Bupati Gunung Mas 2003-2008 tersebut menjadi penentu kemenangannya.

Hal serupa juga terjadi dalam Pilkada Kota Palangkaraya. Meskipun pada Pemilu 2004 perolehan suara terbanyak diraih PDI-P, pemilihan wali kota tersebut menorehkan cerita lain. Pasangan calon wali kota Muhammad Riban Satia-Maryono yang diusung oleh PPP, PKS, PAN, PBB, dan PBR unggul 31 persen suara. Dinamika politik memang cukup menonjol di ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah tersebut.

Tidak hanya di ibu kota, bahkan wajah Kalteng seakan berubah setelah pilkada gubernur dimenangi oleh calon dari PDI-P. Pasangan Agustin Teras Narang- Achmad Diran hampir menyapu bersih suara di seluruh wilayah dengan kemenangan di 13 dari 14 kabupaten/kota. Wajah Kalteng yang pada pemilu lalu didominasi warna kuning pun berubah menjadi merah saat pemilihan gubernur berlangsung.

Meskipun begitu, pemilihan kepala daerah secara langsung juga telah membuka ”pintu gerbang” bagi partai-partai selain Golkar dan PDI-P untuk menancapkan kekuatan di sejumlah kabupaten/kota di Kalteng. Akankah Pemilu 2009 memunculkan warna pelangi di bagian tengah Pulau Borneo itu? Kita lihat nanti. (Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar