Kamis, 19 Februari 2009

Keberagaman Identitas dalam Kesatuan Kultur

PENGUASAAN pilihan politik di Kepulauan Riau tak terlepas dari kemampuan parpol menguasai basis massa di kawasan pedesaan. Hal ini terkait dengan kondisi geografis wilayah yang tersebar di 2.408 pulau dengan beragam karakter demografis.

Dari keseluruhan wilayah Provinsi Kepri, yang terdiri dari empat kabupaten dan dua wilayah kota, tercatat Kota Batam dan Kota Tanjung Pinang yang paling banyak memiliki daerah yang bisa dikategorikan wilayah perkotaan. Kategorisasi ”kota” ini diukur dari ketersediaan infrastruktur perkotaan, karakter demografis, dan perkembangan pembangunan sektor industri.

Hal ini sejalan dengan ”pola” kemenangan Partai Golkar di wilayah pedesaan. Jika memerikan hasil Pemilu 2004 di Kepri, tampak partai Golkar unggul di kawasan yang mayoritas penduduknya tinggal di pedesaan. Semakin banyak penduduk pedesaan di satu daerah, semakin besar pula perolehan suara Golkar di daerah itu.

Persentase perolehan suara Golkar paling banyak terdistribusi di Natuna (72,6 persen penduduknya tinggal di daerah pedesaan) dan di Lingga (65,9 persen penduduk tinggal di pedesaan). Di dua daerah itu Partai Golkar meraup masing-masing 25,39 persen dan 23,21 persen suara. Adapun di Karimun, Golkar unggul dengan 19,44 persen suara dan di Kabupaten Kepulauan Riau menang dengan 18,37 persen suara.

Kondisi berbeda tampak di Kota Tanjung Pinang, yang secara demografis termasuk kategori perkotaan, Golkar kalah oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang meraup 21,11 persen suara pemilih.

Demikian juga di Kota Batam, PAN lebih unggul dengan perolehan 15,49 persen suara. Di kota industri ini Partai Golkar hanya mampu menempati posisi keempat dengan 11,27 persen suara. Di bawah PAN adalah PKS (13,81 persen), PDI-P (13,07), dan PDS (11,81).

Hasil pemilu legislatif 2004 di provinsi ini memang tidak menunjukkan kesenjangan yang mencolok dalam distribusi perolehan suara empat partai terpopuler. Pada Pemilu 2004 Partai Golkar menang dengan 15,90 persen suara, disusul PDI-P (14,39), PAN (11,47 persen), dan PKS (10,87 persen).

Hal ini berbeda dengan ”saudara”-nya Provinsi Riau (daratan), di mana perolehan suara Partai Golkar dalam pemilu legislatif 2004 memiliki rentang yang cukup jauh dibandingkan parpol-parpol lainnya.

Keberagaman penduduk

Kepulauan Riau adalah wilayah yang heterogen dari sisi etnisitas. Meskipun secara demografis didominasi etnis Melayu, tetapi perkembangan industri di sebagian wilayah (Batam) menjadikan sebagian wilayah Kepri banyak ”diserbu” pendatang pencari kerja.

Hal itu tampak dari proporsi penduduk berdasarkan etnis yang menunjukkan jumlah penduduk suku Melayu-Riau, sebagai suku asli, tidak terpaut signifikan dengan jumlah penduduk dari suku-suku pendatang.

Penduduk dari suku asli Melayu-Riau hanya berkisar 31,18 persen, sementara masyarakat asal Jawa yang tersebar di sejumlah kabupaten sebanyak 22,24 persen dari total populasi. Lebih dari separuh jumlah orang Jawa di Kepulauan Riau menetap di Kota Batam. Selain orang Jawa, jumlah signifikan penduduk dari suku lain adalah masyarakat suku asal Minang dan etnis Tionghoa.

Melihat keberagaman di Kepri ibarat memetakan wilayah itu secara geografis, terpecah menjadi ribuan pulau dan masing-masing memiliki kekhasannya sendiri.

Sita Rohana, Peneliti Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Kepulauan Riau, menganalogikan masyarakat Kepri sebagai ”pulau-pulau yang tercairkan oleh laut”.

Masyarakat Kepri, khususnya orang asli yakni suku Melayu, sangat terbuka terhadap pendatang. Bahkan, sejarah kesultanan wilayah ini terbentuk oleh sebuah perbauran suku Bugis dan Melayu.

Karakter terbuka seperti ini agaknya berpengaruh pada sifat pragmatis masyarakat di Kepri. Pilihan politik tidak didasarkan pada sebuah landasan ideologis yang cukup kuat. Partai-partai yang dinilai mampu menyentuh kebutuhan dan harapan masyarakat secara langsung yang akan berhasil, tetapi dengan catatan, sangat mungkin pilihan ini berubah sewaktu-waktu.

Kemenangan nasionalis

Secara keseluruhan, preferensi politik di wilayah Kepri cenderung didominasi oleh partai-partai berhaluan nasionalis. Kecenderungan ini tampak dari pengalaman dalam berbagai pemilu yang secara konsisten dimenangi oleh Partai Golkar dan PDI-P.

Kondisi tersebut berkebalikan dengan masa awal pascakemerdekaan. Pada pemilu pertama 1955 wilayah Kepri merupakan basis kekuatan Partai Islam. Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) berhasil merebut lebih dari separuh suara pemilih (52,90 persen) di Kepulauan Riau.

Namun, pada pemilu berikutnya—16 tahun kemudian (1971)— tidak ada partai berbasis Islam lainnya yang mampu menggantikan posisi Masyumi yang dibubarkan oleh Soekarno. Partai NU (Nahdlatul Ulama), yang cukup berwibawa saat itu, hanya mampu merebut 8,86 persen suara, sedangkan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) hanya mampu meraih 4,18 persen suara.

Kekuatan politik Orde Baru menguasai birokrasi membalikkan kawasan ini beralih menjadi basis kekuatan partai berhaluan nasionalis. Pada pemilu pertama periode Orde Baru, Partai Golkar langsung meraup 80,92 persen suara.

Pada pemilu-pemilu berikutnya Partai Golkar selalu berhasil merebut suara mayoritas pemilih di Kepulauan Riau. Selama enam kali penyelenggaraan pemilu pada era Orde Baru perolehan Golkar selalu tertinggi dengan raihan suara rata-rata di atas 75 persen. Kekuatan Partai berhaluan nasionalis ini bertahan secara konsisten di ”Bumi Segantang Lada” hingga penyelenggaraan pemilu terbaru tahun 2004 dan sejumlah pemilihan kepala daerah sejak tahun 2005.

Pascatumbangnya era Orde Baru, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berhasil merebut dominasi dengan perolehan 35,3 persen suara. Pencitraan Megawati yang diikonkan sebagai tokoh perlawanan dan korban represi Orde Baru yang bisa jadi mendongkrak perolehan suara partai berlambang banteng gemuk itu.

Kemenangan PDI-P di Kepri hanya bertahan satu periode. Pada Pemilu 2004, Partai Golkar kembali menang (walaupun tipis) atas PDI-P dengan perolehan suara masing-masing 15,90 persen dan 14,39 persen suara, sementara PAN, meskipun perolehan suaranya meningkat, berada di posisi ketiga dengan 10,58 persen suara.

Pilkada dan Pemilu 2009

Perkembangan demokrasi di tingkat lokal yang tecermin dari penyelenggaraan pilkada masih mendukung asumsi bahwa partai-partai berhaluan Islam tidak mampu merebut suara mayoritas publik di Provinsi Kepri.

Partai Golkar, misalnya, terlihat cukup percaya diri ketika secara tunggal mengusung pasangan calon bupati di Kabupaten Kepri dan Natuna. Di Kabupaten Kepri, Partai Golkar berhasil mengawal Ansar Ahmad dan Mastur Taher menduduki kursi bupati dan wakil bupati dengan perolehan 31,29 persen suara. Adapun di Natuna, Partai Golkar sukses memenangkan pasangan Daeng Rusnandi-Raja Aminullah dengan 34,69 persen suara.

Di dua pilkada lainnya, Golkar cukup berhasil mengusung pasangan calonnya meskipun harus melakukan koalisi dengan sejumlah partai lain. Kegagalan partai Golkar hanya terjadi di Kabupaten Lingga yang dimenangi oleh koalisi Partai Demokrat dan PIB.

Namun, partai Golkar dan PDI-P patut waspada sebab dalam dua pemilu terakhir perolehannya tidak konsisten di Kepulauan Riau, apalagi jumlah suara yang diperoleh Partai Golkar cenderung anjlok dibandingkan pemilu sebelumnya.

Begitu juga PDI-P, yang hanya bisa mempertahankan separuh suara pemilihnya pada Pemilu 2004 dibandingkan Pemilu 1999. Sebaliknya, partai-partai berbasis Islam, seperti PAN dan PKS, meskipun tidak unggul, tetapi perolehan suaranya cenderung stabil, bahkan meningkat.

Dalam persaingan politik yang semakin riuh, partai yang memiliki massa riil dan kuat di satu daerah akan lebih diuntungkan. Pemilu 2009 akan diramaikan oleh lebih banyak parpol ketimbang Pemilu 2004. Popularitas dan kekuatan partai-partai nasionalis memelihara konstituen akan diuji kemampuannya bertahan di bumi segantang lada tiga bulan ke depan. (Suwardiman/ Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar