Minggu, 22 Maret 2009

Dominasi Pedalaman, Perlawanan Urban

OLEH IGNATIUS KRISTANTO

KOMPAS.com - Jawa kini tengah berubah. Proses pilihan politik penduduknya terhadap dua arus ideologi besar yang dianut partai-partai politik, yakni Islam dan nasionalis sekuler, kini mulai berimbang.

Menjelang pemilihan umum digelar, perhatian sebagian besar partai pasti tak pernah berpaling dari Jawa. Dengan jumlah pemilih mencapai 100 juta lebih, wilayah ini menjadi ajang rebutan suara parpol karena akan menentukan posisi di parlemen nantinya. Apabila parpol bisa memenangkan suara keseluruhan di Jawa, separuh lebih kursi di legislatif akan dapat diraihnya. Jadi, jumlah perolehan suara di Jawa dapat menentukan perolehan suara nasional.

Akan tetapi, kemenangan mutlak di Jawa hampir tidak mungkin terjadi. Sejarah telah membuktikan, belum pernah ada sebuah parpol yang meraih suara lebih dari 50 persen di wilayah ini, terkecuali di era Orde Baru yang pemilu-pemilunya mendapat tekanan penguasa. Ini menunjukkan bahwa Jawa merupakan wilayah yang sulit ditembus. Parpol harus menyediakan energi yang berlebih untuk memengaruhi pemilih di sini.

Selama ini, orientasi politik pemilih memang terbelah dalam dua ideologi dasar yang telah berkembang sejak lama, yakni ideologi Islam dan nasionalis sekuler. Ideologi Islam diwakili baik oleh partai-partai yang mengusung ideologi ini maupun yang berbasis massa Islam. Adapun ideologi nasionalis sekuler adalah partai-partai yang mengusung ideologi kebangsaan atau bercorak non-Islam.

Menurut Herbert Feith (1999), pola politik aliran memang masih mewarnai corak pemilih di Jawa. Pola ini jika ditelusuri jejaknya dari pemilu-pemilu sebelumnya, ada dinamika di sana. Pola perolehan suara yang diraih oleh partai-partai dari kedua ideologi tersebut ternyata berbeda antara pemilih di Jawa dan luar Jawa.

Ada kecenderungan partai-partai nasionalis sekuler sedang naik daun di Luar Jawa. Penduduk di kawasan ini mulai memilih partai-partai nasionalis sekuler. Perolehan suaranya naik terus. Jika pada Pemilu 1955, proporsi perolehan suaranya masih 46 persen, lima puluh tahun kemudian suaranya sudah mencapai 67 persen. Hal sebaliknya justru terjadi pada partai-partai Islam, suaranya terus menurun.

Pola sebaliknya justru terjadi di Jawa. Ada kecenderungan pemilih di Jawa kembali ke pola lama. Proporsi perolehan suara yang diraih gabungan partai-partai Islam hampir mendekati pola silam. Jika pada Pemilu 1955, kelompok partai-partai ini meraih 39 persen, lalu pada tahun 1999 menurun ke 28 persen, lima tahun kemudian perolehan suaranya naik kembali menjadi 33 persen.

Jika dilihat secara keseluruhan, pola di Jawa ini sama dengan pola perolehan suara secara nasional. Maka, dapat dikatakan bahwa suara Jawa memengaruhi nasional karena memang jumlah pemilihnya lebih banyak.

Tren ini menunjukkan bahwa pilihan politik pemilih di Jawa mulai berubah. Perubahan menuju keseimbangan politik mulai terjadi. Ini merupakan dampak dari perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi di sana.

Infrastruktur dan akses ekonomi di Jawa dalam tiga puluh tahun terakhir berkembang pesat. Saat ini, dari seluruh kegiatan ekonomi nasional, 60 persen berada di Jawa. Banyak kawasan industri dibangun di sini. Pendapatan ekonomi meningkat sehingga membuat kelas menengah pun bertambah. Dengan tingkat pendidikan yang lebih baik, pilihan politiknya pun lebih kritis, pragmatis.

Meskipun belum seluruh penduduk di Jawa mempunyai karakter seperti itu, bibit-bibit pemilih mulai tumbuh. Partai-partai yang kinerjanya buruk akan mendapat ”hukuman”, sebaliknya partai yang bekerja baik akan mendapat sanjungan.

Pesisir-pedalaman

Proses menuju keseimbangan politik yang terjadi di Jawa ternyata tidak merata di seluruh wilayah. Jika Jawa dipilah menjadi dua, wilayah pesisir utara dan wilayah pedalaman, maka akan terlihat sekali perbedaan kedua wilayah tersebut.

Wilayah pesisir utara lebih dinamis dibandingkan dengan pedalaman. Pola kenaikan perolehan suara yang mendukung partai-partai Islam terjadi di wilayah ini. Jadi, pola pesisir utara Jawa hampir mirip dengan pola seluruh Jawa.

Jika pada Pemilu 1999, suara partai-partai Islam mencapai 45 persen, lima tahun kemudian menjadi 46 persen. Sebaliknya, di wilayah pedalaman justru mengalami penurunan. Hasil ini menunjukkan bahwa perubahan pilihan politik yang terjadi di wilayah pesisir utara akan memengaruhi Jawa secara keseluruhan. Sementara di wilayah pedalaman lebih stabil.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pemilahan geografis berdasar pesisir utara-pedalaman ternyata masih terjadi. Akar sejarah dan perkembangan kultur yang terjadi di kedua wilayah memang berbeda. Wilayah pesisir utara lebih banyak bersentuhan dengan budaya luar ketimbang daerah pedalaman.

Wilayah pesisir utara mulai berkembang pesat setelah Islam masuk ke Jawa pada abad ke-15. Bahkan, kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, Cirebon, dan Banten pernah menjadi pusat kekuasaan di Jawa yang sebelumnya berpusat di pedalaman.

Pada era ini pula, bibit konflik pesisir dengan pedalaman pernah berkembang. Setelah, pusat kerajaan Islam Jawa berpindah ke pedalaman, raja-raja Mataram mulai menghancurkan kota-kota di pesisir. Terutama di era Sultan Agung.

Bahkan, pembedaan ini semakin mengeras ketika keraton mulai memunculkan kategori wilayah berdasarkan ”kastanya”. Wilayah pedalaman yang dekat pusat kerajaan Mataram Islam dikategorikan ”wilayah dalam”, sedangkan wilayah pesisir utara dimasukkan dalam wilayah mancanegara, negeri asing.

Wilayah ini terus berubah setelah kolonial Belanda mulai menguasai Jawa.

Perubahan semakin pesat ketika pemerintahan Orde Baru mulai berorientasi pada politik pembangunan. Pusat-pusat kawasan industri mulai dibangun di wilayah ini membuat pertumbuhan ekonomi melaju pesat. Lebih dari separuh kegiatan ekonomi Jawa ada di pesisir utara.

Wilayah pesisir utara Jawa akhirnya menjadi ”gula-gula” ekonomi. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir saja, pertumbuhan ekonominya (5,2 persen) lebih tinggi dibandingkan dengan pedalaman (4,7 persen). Inilah yang akhirnya memicu migrasi penduduk terus bertambah. Akibatnya, struktur penduduk pun berubah yang memengaruhi pula pilihan politiknya.

Jawa akan terus berubah hingga kini. Ibarat orang yang akan berjalan melangkah, dia kini sudah dapat memilih kaki mana yang akan digerakkan terdahulu. Demikian pula dalam pilihan politiknya, bisa ke partai ini, bisa juga ke partai itu. Itulah prinsip harmonisasi ala Jawa.

(IGNATIUS KRISTANTO, Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar