Peta Jawa TimurOLEH IGNATIUS KRISTANTO
DALAM soal memilih partai politik, masyarakat Jawa Timur tergolong loyal. Tidak mudah tergerus oleh waktu maupun perubahan sosial politik yang terjadi. Namun, pilihannya tidak merujuk pada satu ideologi partai, melainkan dua, yakni nasionalis dan Islam tradisional. Keduanya terpilah dalam penguasaan wilayah yang berbeda, satu menang di barat, yang kedua menang di wilayah timur.
Jadwal sehari dua kandidat gubernur dalam masa kampanye pemilihan kepala daerah Jawa Timur beberapa waktu lalu bisa menjadi gambaran bagaimana peta politik lokal di sana. Pada hari yang sama, Kamis, 23 Oktober 2008, Khofifah Indar Parawansa mengunjungi makam Bung Karno di Blitar, sementara lawannya, Saifullah Yusuf, mengunjungi beberapa pondok pesantren di Pasuruan.
Apa yang mereka lakukan tentu saja dalam rangka meraih dukungan. Bentuk pencarian dukungan yang berbeda. Khofifah mencari dukungan massa nasionalis yang basisnya di daerah Mataraman, wilayah yang terletak di Jatim sebelah barat. Sebaliknya, di wilayah yang berbeda, Saifullah ingin meraih dukungan dari massa Nahdlatul Ulama (NU) yang basisnya di pondok pesantren, yang merupakan basis massa Islam tradisional.
Tradisi politik kedua kandidat itu bukan merupakan hal yang istimewa. Itu merupakan hal yang umum. Bahkan, ini menjadi semacam ”rumus baku” bagi calon kandidat bila ingin menang, wajib melakukan tradisi seperti itu.
Cuplikan berita yang muncul di surat kabar ini tentu saja sudah bisa menggambarkan dua ”wajah” politik di Jatim yang masih bertahan hingga kini. Di satu sisi ”berwajah” nasionalis, di sisi lain ”berwajah” Islam tradisional. Kedua ”wajah” ideologi pemilih tersebut tetap dipegang teguh hingga kini. Meskipun telah setengah abad berlalu dengan perubahan sosial politik yang ada, pilihan politik itu tidak lekang, tetap loyal.
Jika merunut ke belakang, pada Pemilu 1955, dua ”wajah” tersebut sudah muncul waktu itu. Namun, partai yang dipilih adalah Partai NU dan Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Pemilahannya pun tegas, PNI menguasai wilayah barat, sedangkan NU menguasai wilayah timur, wilayah Pandalungan dan Madura.
Apabila dipilah secara keseluruhan, waktu itu NU berhasil meraih dukungan 34 persen suara. Menjadi partai paling unggul. Adapun PNI berada di urutan kedua, menguasai 23 persen suara.
Ketika rezim berubah dan Orde Baru berkuasa, dua ”wajah” politik di Jatim berusaha diubah menjadi satu ”wajah” dengan menggunakan mesin politik Golkar. Akibatnya, dalam kurun Pemilu 1971 hingga 1997, partai pemerintah ini menguasai seluruh pemilu waktu itu. Perolehan suaranya pun fantastis, selalu di atas 50 persen. PNI dan NU yang masing-masing berfusi ke PDI dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hanya memperoleh sisanya. Jatim memang berhasil diubah menjadi satu ”warna”.
Dua ”wajah” politik Jatim mulai kembali lagi setelah Orba tumbang. Ketika Pemilu 1999 digelar, muncullah beraneka warna parpol baru, termasuk dari kalangan nahdliyin, di antaranya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang diketuai Megawati Soekarnoputri pun ikut bersaing. Hasilnya memunculkan wajah politik seperti pada era 1955, PKB menang di wilayah timur, sedangkan PDI-P menguasai wilayah barat.
Dua ”wajah” politik yang terpilah tegas antara sisi barat dan timur ini pun tetap berlaku lima tahun kemudian pada Pemilu 2004. Meskipun suara PDI-P mulai surut, dengan kemunculan Partai Demokrat yang berkembang di wilayah barat juga, partai ”kepala banteng” ini tetap eksis di wilayah tersebut. Sementara pilihan politik masyarakat di wilayah timur tetap, yakni PKB.
Pemilih loyal
Karakter pemilih Jatim yang terbelah dua itu dipengaruhi oleh sejarah politik dan kultur yang berbeda. Kultur politik yang berkembang di wilayah Mataraman lebih dipengaruhi oleh budaya Jawa yang berkembang di sana.
Menurut budayawan dari Universitas Jember, Ayu Sutarto, masyarakat di wilayah Mataraman sejak tahun 1955 hingga 2004 selalu ”loyal” pada partai-partai yang mengusung ideologi nasionalis.
”Mereka (orang Mataraman) tidak suka yang mencolok-colok. Misalnya Islam yang terlalu Islam itu tidak suka karena dianggap tidak nasionalis. Jadi, partai-partai yang berlabel nasionalis akan laku di sini,” ujar Ayu.
Lain halnya dengan pemilih Islam tradisional. Mereka tidak jauh dari akar sosial budayanya yang merujuk pada warga NU dengan lingkungan pesantren sebagai basisnya. Selain itu, kiai merupakan figur sentral yang menjadi anutan bukan hanya persoalan agama, tetapi juga masalah sosial ekonomi, bahkan politik para santri. Pengaruh kiai begitu kuat sehingga pilihan politik warga NU pun tak lepas dari pengaruh kiainya.
Kini dua ”wajah” politik warga Jatim akan memasuki Pemilu 2009. Peta politik partai telah berubah. PKB yang sebelumnya solid kini mengalami persoalan internal yang dapat memengaruhi perolehan suaranya. Namun, parpol yang lahir dari warga NU bukan hanya PKB. Dua ”wajah” politik tetap akan eksis, hanya berubah partai.
(Ignatius Kristanto/Litbang Kompas)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar