Minggu, 22 Maret 2009

"Torang Su Pu" Pilihan

BANYAK stereotip dikenakan pada masyarakat Papua. Salah satunya, etnis asli Papua dicitrakan memiliki mentalitas improvisatory, kecenderungan ingin selalu mencoba dan tidak akan bertahan lama. Selain itu, suatu sikap yang tidak tekun dalam berupaya dan cepat beralih lagi kepada isu lain apabila mereka merasa gagal.

Realitas sosial ini memberikan peluang terbuka bagi parpol baru untuk masuk di Provinsi Papua.

Stereotip tentang mentalitas suku bangsa Papua itu banyak diungkapkan para antropolog, salah satunya Jan Honore Maria Cornelis Boelaars. Hal ini juga dibenarkan oleh pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Cenderawasih (Uncen), Beatus Tambaip.

Papua terbuka untuk semua parpol. Tak satu parpol pun yang kini berani mengklaim dirinya sebagai kekuatan tunggal sebab masyarakat sudah punya pilihan. Sosok lebih penting daripada parpol.

Penduduk Papua yang mayoritas beretnis asli Papua terbuka terhadap perubahan. Keterbukaan di bidang politik, misalnya, dimulai sejak keikutsertaannya dalam proses demokrasi Pemilu 1971. Pemilu ala Indonesia, bukanlah budaya mereka. Namun, dengan didasari kesadaran sebagai warga negara untuk ikut berpartisipasi, masyarakat Papua pun terlibat.

Adaptasi dengan perubahan membutuhkan proses panjang. Setidaknya masyarakat Papua membutuhkan dua kali pemilu untuk mencapai suatu titik kesadaran akan pentingnya terlibat dalam proses pemilu. Dari peran aktif masyarakat Papua dalam pemilu dapat dikatakan sebagai wilayah yang menjanjikan.

Menurut dekan FISIP Uncen, Naffi Sanggenafa, kecerdasan masyarakat di Papua untuk memilih makin kentara. Mereka tidak lagi memedulikan partai sebab apa pun partainya, kalau tokoh yang ada di sana memang banyak memberikan kontribusi kemajuan dan keadilan daerah, mereka tidak segan-segan untuk memilihnya.

Pandangan itu dapat dilihat pula oleh Kamaluddin (24), seorang sopir di Nabire yang mengaku sudah mempunyai pilihan partai. Baginya, tidak peduli berasal dari partai apa. Namun, kalau calon legislatif itu secara langsung memberikan dampak positif bagi ekonominya, dia akan memilihnya. ”Sa su pu pilihan,” katanya. (Saya sudah punya pilihan).

Naffi Sanggenafa menekankan betapa pentingnya parpol untuk berkarya nyata di masyarakat. ”Berkaryalah secara nyata lebih dahulu sebelum mengharapkan dukungan masyarakat sebab banyak pelajaran yang sudah dipetik masyarakat dari pemilu sebelumnya. Banyak yang janji, tetapi pada akhirnya justru melupakan konstituen,” ujarnya.

Inilah peluang dari parpol baru untuk masuk. Masuknya parpol baru di tanah Papua ini karena melihat sifat dasar masyarakatnya yang terbuka terhadap perubahan tersebut.

Akan tetapi, parpol baru tentu akan mendapatkan perlawanan yang berat dari Partai Golkar dan PDI-P, terutama di daerah-daerah yang pemilihnya sangat loyal. Sebut saja Kabupaten Supiori, Biak Numfor, Sarmi, Jayapura, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Paniai, dan Kota Jayapura. Di wilayah ini dominasi Partai Golkar belum tergoyahkan. Di wilayah ini bermukim kelompok adat Seireri, Mamta, Me Pago, dan Ha Anim.

Sama halnya dengan Golkar, PDI-P juga memiliki daerah yang menjadi basis pemilihnya yang tidak pernah luntur. Di Kabupaten Asmat yang bermukim kelompok adat Ha Anim ini menjadi satu-satunya kabupaten yang menjadi basis massa PDI-P.

Independensi pemilih ini sebagai bentuk sifat demokratis para tokoh agama dan adat. Memang, pemimpin informal seperti tokoh agama dan adat masih sangat penting dan mempunyai pengaruh cukup besar.

”Kalau soal kultur, masyarakat etnis Papua akan tunduk kepada tokoh adat,” kata Naffi. Namun, pemilu kan bukan bagian dari kultur Papua. Jadi, masyarakat sudah punya pilihan. Torang su pu pilihan.

(ARITASIUS SUGIYA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar