Minggu, 22 Maret 2009

Ulama dan Birokrat Pegang Kuasa

BESTARI
Peta Nusa Tenggara BaratOleh Ratna Sri Widyastuti

TARIKH akhir 1997 menjadi masa kelabu Nusa Tenggara Barat. Betapa tidak, 21 Oktober 1997, ulama karismatis mereka, Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, wafat. Tiga warisan besar ia tinggalkan: ribuan ulama, puluhan ribu santri, dan sekitar seribu kelembagaan Nahdlatul Wathan yang tersebar di seluruh Indonesia.

Cuplikan kabar duka di Nusa Tenggara Barat (NTB) ini menjadi salah satu bagian dari penggalan kisah perjalanan dakwah dan politik Tuan Guru Zainuddin, yang dipaparkan H Masnun (2007) dalam bukunya mengenai Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam di NTB. Menjadi penting kisah ini dimunculkan, mengingat ketokohan Tuan Guru Zainuddin bersama jaringan ribuan ulama dan santri Nahdlatul Wathan yang dipimpinnya amat mewarnai perjalanan politik NTB semasa ia hidup hingga kini.

Semacam ini pula yang tampaknya menjadi penanda betapa sosok ataupun ketokohan seseorang, baik kaum ulama, para birokrat pemerintahan, maupun kaum bangsawan, menjadi modal terkuat dalam berbagai ajang kontestasi politik di wilayah berpenduduk sekitar empat juta jiwa ini. Partai tak lebih sebagai kendaraan politik, yang amat bergantung pada figur yang diusung. Oleh karena itu, sekalipun Pemilu 2009 mendatang turut mengakomodasikan pilihan berdasarkan tokoh, tampaknya bukan persoalan asing bagi masyarakat di NTB. Bahkan, pemilu kali ini seakan merupakan penegasan kembali kisah kontestasi politik masa lampau yang kental dengan keberadaan para ulama dan birokrat yang ditokohkan sekaligus juga menjadi referensi politik masyarakat.

Ulama Lombok

Pengaruh para ulama dalam kontestasi politik amat nyata saat Pemilu 1955 digelar. Awalnya, keberadaan pesantren dan organisasi Islam semacam Nahdlatul Wathan merupakan lambang perlawanan terhadap penguasa masa lalu yang dirasakan amat menekan eksistensi suku Sasak, suku terbesar di Lombok. Lombok sendiri merupakan salah satu pulau, bagian dari NTB selain Pulau Sumbawa. Meski Pulau Sumbawa lebih luas, penduduk yang mendiami Pulau Lombok dua kali lipat lebih banyak dari Sumbawa. Di sinilah ulama hadir, sebagaimana halnya Tuan Guru Zainuddin, sebagai patron perlindungan. Tak ayal, para pemuka agama yang telah menjadi referensi tindakan sehari-hari masyarakat di kemudian hari bertambah perannya menjadi referensi politik.

Pada mulanya, Tuan Guru Zainuddin tidak berafiliasi kepada salah satu kekuatan politik mana pun. Namun, era 1952 ia lekat dengan Masyumi. Sebuah kesadaran yang ia tawarkan bahwa berpolitik bukan hanya wilayah kaum sekuler, tetapi suatu bentuk perjuangan dalam menegakkan moralitas Islam. Masyumi menjadi rujukannya. Ia menilai parpol ini secara konsisten memperjuangkan aspirasi umat dan masyarakat Indonesia secara umum. Masuknya para ulama dalam gelanggang politik dengan sendirinya memudahkan kemenangan. Inilah kunci kesuksesan. Ketika pimpinan ulama dekat dengan salah satu parpol, seluruh anggota organisasi dari pusat hingga tingkat ranting pun mengikuti pilihan politik sang pemimpin. Pada Pemilu 1955, Masyumi mampu meraup separuh bagian suara di NTB. Di samping Masyumi, NU dan parpol Islam lainnya ”menghijaukan” hampir tiga perempat bagian NTB. Tuan Guru Zainuddin pun menjadi anggota Konstituante perwakilan Masyumi.

Pada pemilu selanjutnya, Pemilu 1971, merupakan awal depolitisasi terhadap parpol. Uniknya, pada era yang sama, Zainuddin sang pemimpin Nahdlatul Wathan juga berpindah ke Golkar. Ia bahkan menduduki kursi Dewan Penasihat Golkar di tingkat pusat. Saat Sekber Golkar berdiri, Zainuddin mengeluarkan fatwa politik: ”bagi warga Nahdlatul Wathan yang tidak pindah dari organisasi dan selain Golkar—dan selanjutnya masuk Golkar—dinyatakan telah keluar dari Nahdlatul Wathan” (Masnun, 2007). Dukungan ulama amat manjur. Pada Pemilu 1971 ini, Golkar merebut 70 persen suara di NTB. Begitupun beberapa pemilu berikutnya, kemenangan Golkar semakin tak tertandingi, meraup hingga 80 persen suara.

Kenyataan juga menunjukkan hubungan Zainuddin dan Golkar tidak kekal. Selama dua periode dalam kepengurusan Golkar, ia mulai merasakan ketidakcocokan dengan langkah-langkah politik partai itu. Tahun 1986, ia menyatakan kembali ke khitah, meninggalkan politik dan mengajak warga Nahdlatul Wathan mengikuti jejaknya. Golkar sendiri tetap berkuasa di NTB. Gerakan Reformasi 1998 yang menumbangkan Orde Baru memang menurunkan suara Golkar, tetapi partai ini tetap menjadi pemenang pada Pemilu 1999, meraih 42 persen suara. Baru pada Pemilu 2004, perolehan Partai Golkar turun drastis, hanya 24 persen suara.

Menarik diamati, keterpurukan Partai Golkar sekaligus juga kebangkitan kembali partai-partai bercorak keislaman. Secara keseluruhan, di NTB perolehan parpol bercorak keislaman mengungguli parpol bercorak nasionalis. Dari sisi urutan pemenangan, PBB, PPP, PBR mengintai penguasaan Partai Golkar, berturut-turut menempati urutan setelah Partai Golkar. Persaingan juga terjadi pada deret tengah peraihan suara antara PAN, PKS, dan PKB. Langkah PBB dari waktu ke waktu di pulau ini layak mendapatkan perhatian. Selain menduduki peringkat kedua di Pemilu 2004, PBB berhasil menjadi pemenang di Lombok. Bahkan, ia unggul dalam Pilkada Gubernur NTB saat berkoalisi dengan PKS. Calon yang diusung oleh kedua partai ini tepat, yaitu tokoh masyarakat yang mampu merebut hati pemilih. Pemuka agama sekaligus cucu dari pendiri Nahdlatul Wathan, Tuan Guru Bajang Kiai Haji Zainul Majdi, bersama H Badrul Munir berhasil menduduki kursi gubernur-wakil gubernur berkat dukungan para pemilih tradisional.

Munculnya turunan Tuan Guru Zainuddin menjadi pimpinan NTB seakan menguatkan pengaruh yang ia wariskan kepada masyarakat NTB. Begitupun ulama-ulama tenar lainnya di Lombok, yang hingga kini tetap memiliki pengaruh kuat bagi masyarakat. Dalam situasi semacam ini, pilihan politik bukanlah putusan individu yang dihasilkan dari suatu pergumulan yang bersifat rasional.

Birokrat Sumbawa

Apa yang terjadi di Pulau Sumbawa berbeda dengan di Pulau Lombok. Darmansyah, dosen Universitas Muhammadiyah NTB, memaparkan perbedaan tersebut. ”Jika tokoh yang merebut hati warga Lombok biasanya tokoh agama, penduduk Sumbawa lebih menoleh kepada tokoh-tokoh birokrat.” Ia juga menuturkan, perbedaan ini lebih dikarenakan sejarah panjang masa lalu yang berbeda antara Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Sumbawa mayoritas penduduknya adalah Suku Samawa yang berdomisili di sebelah barat Sumbawa dan suku Mbojo yang mendiami Dompu dan Bima, kedua suku tersebut tidak pernah mengalami ”direct rule” dari penjajah seperti halnya suku Sasak di Lombok. Penakluk Sumbawa lebih memanfaatkan kaum bangsawan, para sultan, di daerah ini sebagai perpanjangan tangan. Di samping itu, urusan keagamaan dilekatkan dengan birokrasi pemerintahan di masa itu dengan menyediakan satu jabatan khusus untuk bidang keagamaan dalam susunan kepemerintahan.

Situasi semacam itu menunjukkan bahwa sejak masa lalu peran elite formal sangat kuat dalam kehidupan sehari-hari dan jarang tokoh nonformal muncul menjadi panutan. Masyarakat di pulau ini cenderung patuh kepada tokoh birokrat yang ada, yang umumnya diduduki kaum bangsawan. Aspek lain juga menguatkan hal semacam ini. Pandangan masyarakat terhadap jenis pekerjaan yang diidamkan, misalnya, merujuk pada status pegawai negeri sipil dan karyawan tambang sebagai status sosial yang bergengsi. Dalam ajang kontestasi lokal pilkada pun menunjukkan perbedaan sifat dan latar belakang ketokohan. Calon-calon yang muncul dalam beberapa pilkada di wilayah ini menunjukkan sebagian besar memiliki latar belakang PNS, anggota dewan legislatif, ataupun pensiunan yang mencalonkan diri.

Dengan konfigurasi semacam ini, Sumbawa akan mudah tertebak. Partai yang menguasai sosok lokal dengan kekuatan jaringan yang dimilikinya akan menguasai wilayah. Partai Golkar, sekalipun mengalami kemerosotan dalam beberapa pemilu terakhir, di Sumbawa tetap mencatatkan prestasi. Dengan berbekal hasil Pemilu 2004 dan pilkada bupati dan wali kota, partai berlambang beringin ini pun mampu membangun kekuatan yang tergolong solid di Kabupaten Bima. Dalam skala yang lebih luas, Provinsi NTB, menunjukkan kekuatan partai ini dalam penguasaan Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Tengah. Terhadap kemenangannya ini, lagi-lagi strategi penguasaan tokoh lokal dan status sosial yang disandangnya menjadi kunci kemenangan.


(Ratna Sri Widyastuti/ LITBANG KOMPAS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar