Minggu, 22 Maret 2009

Sublimasi Pergulatan Politik Lokal

BESTARI
Wilayah Indonesia Bagian TimurOLEH BAMBANG SETIAWAN

BAGI masyarakat Indonesia bagian timur, politik kepartaian merupakan persoalan yang berbeda dengan politik kepemimpinan. Politik kepartaian lebih berkaitan dengan bagaimana mengatasi perbedaan, sedangkan politik kepemimpinan lebih berkaitan dengan bagaimana representasi politik atas dasar kesamaan primordial. Dengan demikian, yang terjadi dan hadir kemudian adalah dua level politik: persamaan politik di level atas dan perbedaan di level bawah.

Faktor geografis menjadi sebuah fakta paling keras yang turut membentuk struktur dasar politik di wilayah Indonesia bagian timur. Karakteristik kewilayahan yang banyak dipisahkan oleh lautan membuat kesatuan-kesatuan politik terfokus pada lokalitas yang sempit.

Karakteristik geografi dan topografi di bagian timur yang berbeda dengan bagian barat Indonesia membuat ahli biologi dari Inggris, Alfred Russel Wallace, membuat garis batas yang tegas. Dalam bukunya The Malay Archipelago (1969), ia menarik garis mulai dari Selat Makassar (antara Kalimantan dan Sulawesi) terus menembus Selat Lombok (antara Bali dan Lombok). Masuk ke dalam wilayah timur dari garis Wallace ini adalah kelompok kepulauan yang meliputi Lombok, Sumbawa, Flores, Timor, Ternate, Maluku, Sulawesi, dan Irian.

Perbedaan karakteristik antara barat dan timur Indonesia ini juga bisa ditandai dari karakteristik kepulauannya. Wilayah barat yang umumnya terdiri atas pulau-pulau besar dinamai sebagai wilayah Sunda Besar atau Sunda Dangkalan karena memiliki kedalaman laut rata-rata kurang dari 100 meter. Adapun wilayah timur yang dicirikan oleh gugusan kepulauan kecil-kecil dikenal sebagai wilayah Sunda Kecil. Kelompok Sunda Besar meliputi Kalimantan, Sumatera, dan Jawa, sedangkan Kelompok Sunda Kecil meliputi Pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Solor, Alor, Sumba, Timor, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Di sebelah timur wilayah Sunda Kecil ini terdapat pula gugusan pulau yang disebut Kepulauan Maluku yang diapit oleh pulau Sulawesi dan Papua (I Gde Parimartha, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915, 2002).

Perbedaan geologis ini diduga menjadi elemen yang membawa pengaruh pada kekuatan politik di masing-masing wilayah. Di wilayah-wilayah Sunda Besar yang memiliki daratan luas biasanya terbentuk kerajaan-kerajaan besar yang wilayah kekuasaannya luas, seperti Majapahit di Jawa, Sriwijaya di Sumatera, Kutai di Kalimantan, dan Gowa di Sulawesi. Sementara di wilayah Sunda Kecil nyaris tak terbentuk kerajaan dengan pengaruh yang luas. Kecuali Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku, di Indonesia timur sulit ditemukan kerajaan yang wilayah kekuasaannya mencakup lebih dari satu provinsi di mana dia berada. Hal yang sama juga terjadi di wilayah Irian, tidak muncul kerajaan besar.

Wilayah Sunda Kecil, Maluku, dan Irian justru dicirikan oleh munculnya kerajaan-kerajaan kecil yang demikian banyak, tetapi bersifat lokalistik dan kesukuan. Kalau di Sunda Besar umumnya satu kerajaan bisa memiliki pengaruh di beberapa provinsi, di wilayah Indonesia Timur kekuasaan kerajaan sering kali terkonsentrasi di dalam batas-batas wilayah kesukuannya, yang tak jarang hanya meliputi wilayah seluas satu desa saja.

”Karena daerahnya banyak terpisah oleh laut sehingga tidak ada kesatuan politik yang kuat. Jadi, bersifat lokalistik... primordial. Banyak kerajaan dan kesultanan. Banyak aristokrasi lokal,” ungkap Burhan Djabir Magenda, guru besar Ilmu Politik Universitas Indonesia yang berasal dari Dompu, NTB.

Keterikatan individu kepada dimensi kesukuan menjadi dasar yang paling kental mewarnai politik lokal di wilayah timur ini. Padahal, di Kepulauan Nusa Tenggara saja sedikitnya terdapat 53 bahasa yang mencerminkan kelompok suku bangsa dan budaya yang berbeda, di Kepulauan Maluku terdapat 133 bahasa dan di Papua terdapat sedikitnya 269 kelompok etnis (Kathryn A Monk, dkk, 1997; JR Mansoben, 2007). Tamrin Amal Tomagola mengungkapkan bahwa dari 656 suku di seluruh Indonesia, hanya seperenam (109 suku) yang mendiami Indonesia Barat, sedangkan lima perenam (547 suku) masuk ke dalam wilayah Indonesia Timur. Karena itu dapat disimpulkan bahwa keragaman suku di Indonesia Timur lebih tinggi dari keragaman suku di Indonesia Barat (Tomagola, 2008).

Kesatuan politik yang bersifat etnisitas mengemuka dengan jelas dalam perebutan kekuasaan lokal. Merebut kepemimpinan sebagai sumber daya politik dimaknai sebagai perwujudan dari kekuatan etnik yang paling riil. Pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi ajang nasionalisme etnis, yang mempertautkan primordialitas: agama dan kesukuan.

Tiadanya dominasi kerajaan yang kuat di wilayah Indonesia bagian timur membuat kekuatan imperialisme dapat lebih leluasa menunjukkan pengaruhnya, baik dalam hal monopoli perdagangan, politik, maupun agama. Di wilayah timur, khususnya NTT dan Maluku, kekuatan imperialisme Portugis dan Belanda turut menentukan hegemoni Katolik dan Protestan yang kuat. Keterikatan ini membuat segregasi kewilayahan politik lebih diwarnai oleh dua kekuatan agama ini.

Agama dan kesukuan berjalin menjadikan primordialitas politik terasa kental. Di wilayah-wilayah di mana komposisi agama berimbang, pertarungan yang terjadi adalah perebutan kepemimpinan yang didukung oleh kelompok agama yang berbeda, seperti di Nusa Tenggara Timur. Sementara, di dalam suatu wilayah di mana terdapat pemeluk agama yang dominan, etnislah yang bermain. Pemilih terbelah dalam dukungan berdasarkan etnis atau subetnis kandidat yang bertarung, seperti yang terjadi di Maluku Utara dan pilkada-pilkada tingkat kabupaten pada umumnya di wilayah timur ini.

Sublimasi etnisitas

Berbeda dengan perebutan kekuasaan dalam kepemimpinan lokal yang bersifat primordial, pilihan orang terhadap partai umumnya lebih bersifat ideologis dan pragmatis. Pilihan kepada partai sekaligus merupakan upaya menempatkan pluralitas dalam konteks nasionalisme.

Diperlukan sebuah kekuatan pemersatu yang mampu menjembatani perbedaan etnik yang demikian banyak di wilayah Indonesia bagian timur. Maka, berbeda dengan wilayah lain, kemenangan Partai Golkar dan PDI-P di wilayah Indonesia bagian timur lebih mencerminkan usaha pengalihan atau sublimasi dari pergulatan antaretnis yang demikian kental.

”Kebanyakan Indonesia Timur itu partainya Golkar atau PDI-P karena keduanya melambangkan kemajemukan. Jadi, karena banyak suku, banyak agama, kemudian uniting-force nasionalisme menjadi kekuatan pemersatu. Sebab, orang tidak mau dianggap sebagai primordial. Walaupun dalam praktik kenyataannya primordial, dia tidak mau dianggap sebagai primordial. Dia ingin dilihat sebagai nasionalis,” ungkap Burhan Magenda.

Perwujudan kekuatan partai-partai nasionalis ditunjukkan dalam Pemilu 2004, di mana 79 persen pemilih di Indonesia bagian timur memberikan suaranya untuk partai-partai nasionalis. Terbesar diberikan kepada Partai Golkar dan PDI-P. Namun, selain itu, Demokrat, PKPI, PDK, PKPB, PNI Marhaenisme, PNBK, Pelopor dan partai-partai nasionalis lainnya juga mendapat tempat.

Meskipun di beberapa wilayah seperti di Nusa Tenggara Barat dan Maluku Utara warna partai-partai Islam juga cukup menonjol, kemenangan di level provinsi selalu diraih partai-partai nasionalis. Bahkan, pada Pemilu 1999, suara yang diberikan kepada dua partai, PDI-P dan Partai Golkar, sudah mencapai lebih dari 71 persen.

Apakah konfigurasi politik ini akan berubah dalam pemilu mendatang? Tampaknya gambaran ke arah perubahan sudah dibuka oleh pilkada. Pilkada membuat keterikatan yang lebih kuat antara individu dan elite politik, bukan partai politik. Sejumlah daerah yang dalam pemilu sebelumnya dimenangkan partai-partai nasionalis tak solid mendukung calon yang diusulkan partai nasionalis. Di NTB, misalnya, warna partai-partai bernuansa Islam lebih berkibar lewat pilkada, Partai Bulan Bintang selain banyak memperoleh kemenangan di pilkada level kabupaten kota, koalisi yang dibangunnya bersama PKS juga memenangkan pilkada tingkat gubernur di sana.

(BAMBANG SETIAWAN/ Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar