Minggu, 22 Maret 2009

Nostalgia dan Kohesi Agama

TERBENTUKNYA dukungan yang kuat terhadap PDI-P di NTT pada pemilu di awal Reformasi bisa dilihat dari dua sisi.

Pertama adalah keterkaitannya dengan agama. Fusi partai tahun 1973 membuat Katolik dan Protestan bersatu di bawah Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Sisi kedua adalah memori kolektif yang masih melekat terhadap organisasi politik itu, yang hadir jauh sebelum nama PDI disebut dalam fusi partai 1973. Dalam kaitan ini, PDI-P merupakan sebuah nostalgia yang melekat dengan sejarah organisasi politik yang tumbuh di masa awal pergerakan di daerah ini.

Bagi NTT, PDI adalah jelmaan dari pergerakan sosial politik yang diawali oleh Timorsch Verbond yang didirikan pada 1922 di Makassar. Ini adalah organisasi politik pertama yang mengikat orang-orang Timor ke dalam satu tujuan politik bersama. Meski mulanya lebih merupakan perkumpulan sosial, pada akhirnya kental dengan orientasi politik sehingga Belanda merasa perlu mendukung berkembangnya organisasi tandingan, Perserikatan Timor.

Walau berusaha dilumpuhkan, Timorsch Verbond tetap memainkan peranan penting di kemudian hari. Hubungan organisasi ini bahkan diperluas. Interaksi dengan organisasi Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang dipelopori oleh Soekarno dilakukan dengan mengundang perwakilannya ke dalam kongres kedua di Kupang pada tahun 1932.

Intensitas kepartaian yang meningkat menjelang akhir masa kekuasaan Belanda di Indonesia membuat beberapa tokoh Timorsch Verbond lalu mendirikan Partai Perserikatan Kebangsaan (PKT) pada tahun 1937. Tuntutan ”Indonesia Berparlemen” dan upaya menempatkan keanggotaan partai di Volksraad adalah beberapa dari aksi partai yang diketuai IH Doko, seorang guru bahasa, ini.

Pada masa pendudukan Jepang, PKT nyaris tak bergerak. Baru menjelang kemerdekaan tahun 1945, IH Doko dan kawan-kawannya menghidupkan kembali PKT, tetapi dengan nama baru. Namanya menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Segera setelah terbentuk, PDI lalu memperluas cabang-cabangnya di hampir seluruh wilayah NTT. Selanjutnya, peran PDI dalam perpolitikan wilayah ini menjadi dominan.

Sayangnya, partai ini kemudian menghilang dalam perjalanan waktu. Bahkan, pada tahun 1955, PDI tidak ikut dalam pemilu. Nama PDI baru terdengar lagi manakala pemerintahan baru di bawah panji-panji Orde Baru melakukan fusi partai. Namun, kali ini nama tersebut dipakai untuk sebuah partai berskala nasional yang menggabungkan partai-partai berhaluan nasionalis (PNI, Murba, dan IPKI) dengan Parkindo dan Katolik. Kelak, PDI inilah yang melahirkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Jika dalam Pemilu 1999 kehadiran PDI-P membuktikan kuatnya cerminan dua sisi, historis agama dan romantisme pergerakan, maka Pemilu 2004 menjadi sebuah anomali yang lebih banyak disebabkan pudarnya citra kepemimpinan di tubuh PDI-P. Perpecahan partai dan turunnya pamor kepemimpinan Megawati Soekarnoputri tidak hanya dirasakan dalam hitungan nasional, tetapi juga berimbas pada kekecewaan masyarakat lokal NTT. Reaksi spontan pemilih yang menjatuhkan aspirasinya kepada Partai Golkar membuat penetrasi kekuatan PDI-P di sini seolah lumpuh. Dalam pemilu tersebut, PDI-P hanya mampu menang di dua kabupaten (Manggarai Barat dan Sumba Barat). Daerah lainnya mutlak dikuasai oleh Partai Golkar.

Apakah Pemilu 2009 akan menjadi momen bagi PDI-P untuk kembali mendapat dukungan, tentu sangat bergantung pada bagaimana partai mampu memadukan memori kolektif dengan kohesi agama di wilayah ini. Sejauh itu masih relevan.

(BAMBANG SETIAWAN)

1 komentar:

  1. Mohegan Sun Concert Tickets - Las Vegas m88 m88 matchpoint matchpoint 4903Sega Genesis USB Hub - StillCasino

    BalasHapus