Minggu, 22 Maret 2009

Dualisme Ketegangan dan Harmoni

UMUMNYA, masyarakat Maluku percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari satu suku bangsa dan budaya yang sama, yakni dari Maluku Tengah. Penduduk Maluku Tengah sendiri dipercaya berasal dari Pulau Seram. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa mayoritas etnis Maluku sekarang ini adalah ras Melanesia Pasifik. Dalam berbagai literatur juga diceritakan bahwa setelah beranak pinak, mereka menyebar ke seluruh wilayah Maluku, termasuk ke Kepulauan Lease (Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut) serta Pulau Ambon.

Sedari dulu, nenek moyang orang Maluku diyakini telah memiliki sistem pranata sosial budaya, politik, dan ekonomi yang sudah cukup baik. Itulah yang kemudian mengkristal menjadi sebuah pranata sosial budaya pela, gandong, dan giwalima. Pela adalah sistem ikatan persaudaraan dua desa atau lebih yang didasarkan pada faktor di luar genealogis (keturunan). Sedangkan yang mempunyai hubungan faktor genealogis karena leluhurnya berasal dari keturunan yang sama disebut gandong. Gandong sendiri berarti adik. Siwalima berarti sembilan dan lima yang menggambarkan dua kelompok besar masyarakat Maluku. Patasiwa adalah satu kesatuan sosial budaya masyarakat desa dengan sembilan kelompok, sedangkan patalima dengan lima kelompok.

Pranata sosial itu diciptakan lantaran dalam kehidupan sehari-hari, antagonisme kehidupan antara komunitas yang disebut kelompok sembilan (siwa) dan yang lima (lima) yang sebenarnya adalah bersaudara memang kerap terjadi. Keduanya berkembang dalam persaingan dan ketegangan. Penyebabnya, misalnya, gara-gara masalah penguasaan tanah yang kurang jelas garis batasnya. Namun, dengan ”kehidupan ke-pela-an” dan semangat kebersamaan siwalima, hubungan sosial yang sering menegang itu dapat dikendalikan menjadi rukun.

Sejak dulu masyarakat Maluku pun dipercaya telah memiliki kesatuan-kesatuan politik yang tercermin dari terbentuknya sejumlah ”Republik Pedesaan” yang dipimpin oleh seorang yang disebut Ulu Latu atau Upu Aman (Hena). ”Republik Pedesaan” itu dibentuk atas dasar ikatan teritorial, genealogis, dan religi. Ini berarti rakyatnya memiliki wilayah hidup tertentu, terikat dalam suatu ikatan kekerabatan menurut keturunan tertentu dan mendukung satu kepercayaan (adat) yang sama. Mereka pun membentuk persekutuan lebih luas yang disebut negeri. Setiap negeri yang terdiri atas sejumlah ”Republik Pedesaan” itu merupakan satu kesatuan adat.

Di sini adat dipakai sebagai aturan dan hukum untuk mengatur pola tingkah laku masyarakatnya. Masyarakat diikat oleh kepercayaan yang sama, leluhur komunal yang sama, juga tanah dan gunung yang sama. Pemimpin negeri dianggap sebagai ayah (ama) atau ibu (ina) yang melindungi penduduknya (anak negeri). Konsep kosmologi seperti itu membuat solidaritas pada negerinya sangat tinggi. Keterikatan anak-anak negeri kepada kepercayaan mereka yang simbolik dengan ”Upu Lanite”, ”Ina Ume”, ”Tete Nene Moyang”, dan ”Gunung Tanah” dapat memberi kekuatan. Ancaman bagi sebuah negeri merupakan ancaman bagi semua anak negeri.

Jadi, sebenarnya sebelum masuknya pengaruh peradaban, terutama Arab (Islam) dan Eropa (Kristen), Maluku telah memiliki latar belakang sosial budaya ekonomi dan politik yang mapan. Masyarakat Maluku pun sejak dulu sudah memiliki sikap egaliter, terbuka, dan tata krama yang luhur. Sikap keterbukaan, misalnya, ditunjukkan dengan penerimaan mereka terhadap para pendatang dengan tangan terbuka.

Dalam perilaku politik pun masyarakat Maluku tidak terlepas dari faktor budaya dan etnisitas. Menurut antropolog dari Universitas Pattimura, Mus Huliselan, masyarakat Maluku memiliki sistem kekerabatan yang sangat erat. Kultur hidup tradisional masyarakat Maluku masih menjunjung tinggi adat tradisional dalam ikatan genealogis dan teritorial. Wilayah-wilayah kultural semacam itu biasanya memiliki seorang ketua adat yang senantiasa diikuti semua langkahnya, termasuk dalam segi politik.

Selain faktor ideologis berupa keterikatan pada parpol tertentu, setidaknya ada tiga faktor yang akan menentukan preferensi masyarakat dalam pemilu nanti, yaitu faktor teritorial, genealogis, dan religi. Dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menentukan pemenang dari kandidat dengan perolehan suara terbanyak, ia memperkirakan parpol yang memiliki figur-figur caleg yang bisa diterima dan dekat dengan masyarakat, baik secara teritorial, agama, adat, maupun genealogis, akan sangat menentukan perolehan suara parpol pada pemilu nanti. (ANTONIUS PURWANTO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar