Minggu, 22 Maret 2009

Kekuatan Teritorial dan Genealogi Agama

OLEH ANTONIUS PURWANTO dan BAMBANG SETIAWAN

MALUKU menjadi wilayah pertautan yang kental antara tradisi, agama, dan politik. Segregasi area kebudayaan dan dominasi agama mencerminkan kekuatan politik yang berbeda. Wilayah di mana dominasi Kristen lebih kuat cenderung menjadi wilayah yang mendukung ideologi nasionalis persatuan dan wilayah dengan dominasi Islam kuat cenderung mendukung partai berideologi nasionalis pembangunan.

Wilayah kebudayaan masyarakat Maluku dapat dibagi menjadi tiga teritori atau area kebudayaan besar, yaitu wilayah utara (Pulau Ternate, Tidore, Halmahera, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya) yang pada saat ini secara administratif masuk ke dalam Provinsi Maluku Utara, wilayah tengah (Pulau Seram, Buru, Ambon, dan pulau-pulau Lease), serta wilayah tenggara (meliputi masyarakat di pulau-pulau tenggara, tenggara barat, dan Kepulauan Aru). Area tengah dan tenggara inilah yang saat ini menjadi wilayah administratif Provinsi Maluku.

Menurut antropolog dari Universitas Pattimura, Wellem R Sihasale, pada setiap culture area atau wilayah kebudayaan, terdiri dari berbagai subetnik dengan beragam budaya yang memiliki karakteristik tersendiri, tetapi hampir mirip atau sama satu dengan yang lain. Subetnik-subetnik masyarakat yang terbentuk dan mendiami suatu culture area membangun kehidupannya dalam suatu bentuk struktur dan pola pengelompokan masyarakat yang berbeda di antara wilayah kebudayaan masing-masing (Sihasale, 2005).

Perjalanan sejarah di ketiga wilayah kebudayaan itu membuat masing-masing wilayah memiliki corak keagamaan yang berbeda. Wilayah utara lebih mencerminkan kuatnya tradisi Islam di bawah pengaruh Kerajaan Ternate dan Tidore. Sebaliknya, wilayah tenggara memiliki pertautan yang kuat dengan tradisi Kristen yang dibawa Portugis dan Belanda. Sementara itu, area tengah merupakan wilayah di mana kedua tradisi keagamaan itu hadir dengan kekuatan yang hampir seimbang. Di wilayah ini jumlah pemeluk agama Islam sekitar 57 persen dan pemeluk agama Katolik dan Protestan berkisar 42 persen.

Tiga wilayah kebudayaan ini juga memberikan warna yang berbeda dalam pilihan politik masyarakat. Dalam tiga pemilu yang berjalan secara demokratis, tahun 1955, 1999, dan 2004, terlihat bahwa masing-masing wilayah memiliki corak kekuatan politik yang berbeda. Pada Pemilu 1955 bagian utara merupakan perwujudan dari kekuatan partai Islam, terutama Masyumi. Di wilayah ini kemenangan Masyumi mencapai 44,6 persen, jauh lebih unggul dibandingkan suara untuk Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik yang hanya mencapai 22,1 persen. Hal sebaliknya terjadi di bagian tenggara, suara untuk Parkindo dan Partai Katolik mencapai 60,8 persen, sedangkan Masyumi hanya meraih 20,9 persen. Sementara di wilayah perebutan pengaruh, bagian tengah (Maluku Tengah dan Kota Besar Ambon), perolehan suara partai Islam ataupun Kristen cenderung seimbang, masing-masing 43,7 persen dan 38,3 persen. Di wilayah ini Partai Syarikat Islam Indonesia cukup terasa dengan menyumbangkan 7 persen suara bagi kekuatan partai Islam.

Di mana wilayah yang cenderung memiliki stabilitas suara pemilih (stability voters) dan bagian mana yang cenderung berubah? Ternyata wilayah-wilayah di mana kekuatan pemilih Kristen dominan cenderung menjadi wilayah yang sulit berubah. Sebaliknya, wilayah-wilayah di mana pemilih Muslim dominan, cenderung lebih mudah berubah.

Pemilu demokratis yang kembali digelar setelah selama enam pemilu sebelumnya kekuatan politik Indonesia dicengkeram oleh rezim otoriter memperlihatkan pola yang mirip dengan situasi 1955. Hanya saja, wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Masyumi kemudian diambil alih oleh Golkar yang ciri ideologi nasionalisnya lebih bercorak developmentalis. Dengan demikian, terjadi perubahan ideologis kawasan politik, dari Islam menjadi nasionalisme pembangunan. Sebaliknya, wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh partai-partai Kristen cenderung mengikuti garis fusi partai, mendukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ataupun partai-partai dengan ciri ideologi nasionalisme persatuan (state-nationalism). PDI-P memiliki keterikatan yang kuat dengan partai-partai Kristen setelah Pemerintahan Soeharto memangkas jumlah partai dan memberlakukan kebijakan fusi menjadi tiga partai pada tahun 1973. Saat itu, Parkindo dan Partai Katolik dilebur ke dalam PDI.

Dalam Pemilu 2004 kecenderungan PDI-P mendapat dukungan dari wilayah-wilayah yang dimenanginya pada Pemilu 1999 juga masih terlihat. Kota Ambon, Maluku Tenggara, dan Kepulauan Aru memperlihatkan dukungan yang masih cukup solid pada partai ini. Meskipun suara di wilayah pemekaran dari Maluku Tenggara, yakni Maluku Tenggara Barat, berhasil dimenangi oleh Golkar, sebagian suara mengalir ke partai-partai yang memiliki akar genealogis PDI-P.

Perubahan konfigurasi

Perkembangan demokrasi di tingkat lokal yang tercermin dari penyelenggaraan pilkada mendukung asumsi bahwa figur terlihat lebih efektif menggiring dukungan ketimbang mesin politik partai. Namun, kemenangan kandidat yang didukung partai tertentu tetap berpotensi mengubah konfigurasi kekuatan politik partai.

Dari 10 kali pilkada sepanjang tahun 2005-2008, termasuk di tingkat provinsi, hanya satu pertarungan di Kabupaten Buru yang mampu dimenangi Partai Golkar tanpa koalisi. Empat kemenangan selebihnya, Partai Golkar harus berkoalisi dengan beberapa partai, baik yang bernuansa Islam maupun nasionalis. Misalnya, di Kabupaten Maluku Tengah, Partai Golkar berkoalisi dengan PBR, PKPB, PAN, PNUI, dan Patriot Pancasila untuk memenangi pasangan Abdullah Tuasikal-Imanuel Seipalla sebagai bupati dan wakil bupati. Adapun di Maluku Tenggara, Partai Golkar menggandeng enam partai lainnya untuk memenangi pasangan Andreas Rentanubun-Yunus Serang.

Sementara itu, PDI-P selain memenangi Pilkada Kota Ambon juga merebut kembali Maluku Tenggara Barat dengan kemenangan kandidatnya. Dalam Pemilihan Gubernur Maluku, PDI-P yang berkoalisi dengan enam parpol lainnya memenangi kursi gubernur dan mengalahkan calon gubernur dari Partai Golkar. Pasangan Karel Albert Ralahalu dan Said Assegaff yang diusung PDI-P bahkan menang di semua kabupaten/kota.

Yang menarik, pasangan calon bupati dan wakil bupati yang diusung oleh Partai Golkar dan PDI-P di Kabupaten Seram Bagian barat dan Seram Bagian timur justru kalah oleh pasangan calon yang diusung oleh partai-partai lainnya. Selain itu, Kabupaten Seram Bagian Barat dimenangi oleh pasangan yang diusung oleh PDS, PKPB, dan Partai Pelopor. Adapun di Seram Bagian Timur pasangan Abdullah Fanath-Siti Umuria Suruwaky yang didukung oleh PKPI, PKS, dan PKPB mengalahkan pasangan yang diusung oleh Partai Golkar dan PDI-P.

Menanggapi Pemilu 2009, pengamat politik dari Universitas Pattimura Ambon, Jusuf Madubun, berpendapat selain faktor ideologi partai, preferensi pemilih masyarakat Maluku dalam Pemilu 2009 juga akan ditentukan oleh figur-figur yang akan diusung oleh partai politik. Perolehan suara parpol dalam pemilu nanti akan sangat ditentukan oleh sejauh mana parpol tersebut menempatkan caleg yang cukup dikenal dan diterima oleh konstituen lokal. ”Tidak tertutup kemungkinan terjadi kejutan dalam konfigurasi politik di Maluku dalam pemilu tahun ini. Baik partai yang mengusung ideologi nasionalis maupun bernuansa agama akan bersaing ketat untuk mendapatkan simpati pemilih,” ungkap Madubun.

(ANTONIUS PURWANTO dan BAMBANG SETIAWAN/ Litbang Kompas)

Dualisme Ketegangan dan Harmoni

UMUMNYA, masyarakat Maluku percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari satu suku bangsa dan budaya yang sama, yakni dari Maluku Tengah. Penduduk Maluku Tengah sendiri dipercaya berasal dari Pulau Seram. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa mayoritas etnis Maluku sekarang ini adalah ras Melanesia Pasifik. Dalam berbagai literatur juga diceritakan bahwa setelah beranak pinak, mereka menyebar ke seluruh wilayah Maluku, termasuk ke Kepulauan Lease (Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut) serta Pulau Ambon.

Sedari dulu, nenek moyang orang Maluku diyakini telah memiliki sistem pranata sosial budaya, politik, dan ekonomi yang sudah cukup baik. Itulah yang kemudian mengkristal menjadi sebuah pranata sosial budaya pela, gandong, dan giwalima. Pela adalah sistem ikatan persaudaraan dua desa atau lebih yang didasarkan pada faktor di luar genealogis (keturunan). Sedangkan yang mempunyai hubungan faktor genealogis karena leluhurnya berasal dari keturunan yang sama disebut gandong. Gandong sendiri berarti adik. Siwalima berarti sembilan dan lima yang menggambarkan dua kelompok besar masyarakat Maluku. Patasiwa adalah satu kesatuan sosial budaya masyarakat desa dengan sembilan kelompok, sedangkan patalima dengan lima kelompok.

Pranata sosial itu diciptakan lantaran dalam kehidupan sehari-hari, antagonisme kehidupan antara komunitas yang disebut kelompok sembilan (siwa) dan yang lima (lima) yang sebenarnya adalah bersaudara memang kerap terjadi. Keduanya berkembang dalam persaingan dan ketegangan. Penyebabnya, misalnya, gara-gara masalah penguasaan tanah yang kurang jelas garis batasnya. Namun, dengan ”kehidupan ke-pela-an” dan semangat kebersamaan siwalima, hubungan sosial yang sering menegang itu dapat dikendalikan menjadi rukun.

Sejak dulu masyarakat Maluku pun dipercaya telah memiliki kesatuan-kesatuan politik yang tercermin dari terbentuknya sejumlah ”Republik Pedesaan” yang dipimpin oleh seorang yang disebut Ulu Latu atau Upu Aman (Hena). ”Republik Pedesaan” itu dibentuk atas dasar ikatan teritorial, genealogis, dan religi. Ini berarti rakyatnya memiliki wilayah hidup tertentu, terikat dalam suatu ikatan kekerabatan menurut keturunan tertentu dan mendukung satu kepercayaan (adat) yang sama. Mereka pun membentuk persekutuan lebih luas yang disebut negeri. Setiap negeri yang terdiri atas sejumlah ”Republik Pedesaan” itu merupakan satu kesatuan adat.

Di sini adat dipakai sebagai aturan dan hukum untuk mengatur pola tingkah laku masyarakatnya. Masyarakat diikat oleh kepercayaan yang sama, leluhur komunal yang sama, juga tanah dan gunung yang sama. Pemimpin negeri dianggap sebagai ayah (ama) atau ibu (ina) yang melindungi penduduknya (anak negeri). Konsep kosmologi seperti itu membuat solidaritas pada negerinya sangat tinggi. Keterikatan anak-anak negeri kepada kepercayaan mereka yang simbolik dengan ”Upu Lanite”, ”Ina Ume”, ”Tete Nene Moyang”, dan ”Gunung Tanah” dapat memberi kekuatan. Ancaman bagi sebuah negeri merupakan ancaman bagi semua anak negeri.

Jadi, sebenarnya sebelum masuknya pengaruh peradaban, terutama Arab (Islam) dan Eropa (Kristen), Maluku telah memiliki latar belakang sosial budaya ekonomi dan politik yang mapan. Masyarakat Maluku pun sejak dulu sudah memiliki sikap egaliter, terbuka, dan tata krama yang luhur. Sikap keterbukaan, misalnya, ditunjukkan dengan penerimaan mereka terhadap para pendatang dengan tangan terbuka.

Dalam perilaku politik pun masyarakat Maluku tidak terlepas dari faktor budaya dan etnisitas. Menurut antropolog dari Universitas Pattimura, Mus Huliselan, masyarakat Maluku memiliki sistem kekerabatan yang sangat erat. Kultur hidup tradisional masyarakat Maluku masih menjunjung tinggi adat tradisional dalam ikatan genealogis dan teritorial. Wilayah-wilayah kultural semacam itu biasanya memiliki seorang ketua adat yang senantiasa diikuti semua langkahnya, termasuk dalam segi politik.

Selain faktor ideologis berupa keterikatan pada parpol tertentu, setidaknya ada tiga faktor yang akan menentukan preferensi masyarakat dalam pemilu nanti, yaitu faktor teritorial, genealogis, dan religi. Dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menentukan pemenang dari kandidat dengan perolehan suara terbanyak, ia memperkirakan parpol yang memiliki figur-figur caleg yang bisa diterima dan dekat dengan masyarakat, baik secara teritorial, agama, adat, maupun genealogis, akan sangat menentukan perolehan suara parpol pada pemilu nanti. (ANTONIUS PURWANTO)

Pemekaran Melantakkan Partai-partai Besar

Oleh ARITASIUS SUGIYA

POLA penguasaan wilayah politik atas partai-partai besar di Papua mulai berubah semenjak pemekaran daerah gencar dilakukan. Semakin banyak daerah baru yang bermunculan, semakin berkuranglah kekuasaan parpol besar. Namun, sebaliknya, bagi partai-partai kecil, pemekaran justru merupakan berkah. Beberapa daerah yang baru dipecah berhasil dimenangi partai kecil.

Tradisi pemilihan umum di Provinsi Papua tergolong muda jika dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Jika warga provinsi lain sudah mengalami proses pemilu sejak 1955, penduduk Papua baru memulainya pada tahun 1971. Itu pun pemilu yang tergolong kurang demokratis karena di bawah tekanan rezim Orde Baru. Waktu itu, Golkar menguasai perolehan suara. Bahkan, pada Pemilu 1977 Golkar mampu mendulang 86,6 persen suara.

Oleh karena itu, tak mengherankan jika Golkar, yang menjadi alat politik penguasa, bisa mencengkeram kuat di tanah Papua hingga lama. Bahkan, pada Pemilu 1999 hingga 2004 yang tergolong demokratis pun, sisa-sisa cengkeraman Golkar masih terlihat. Pada dua pemilu terakhir tersebut, partai berlambang beringin ini masih meraih gelar pemeroleh suara terbanyak.

Keberhasilan Golkar ini tidak lepas dari proses kaderisasi dan jaringan struktural yang dibangunnya hingga pelosok daerah di Tanah Papua. Hal ini juga diyakini oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih (FISIP Uncen) Naffi Sanggenafa. Sampai pemilu terakhir, kekuatan Golkar belum tertandingi oleh parpol mana pun.

Namun, ketika kebijakan pemekaran mulai dilakukan dan mulai merebak pada tahun 2000-an kondisi mulai berubah. Penguasaan wilayah partai mulai berbelok. Tawaran baru dari partai-partai baru pun membuat pilihan politik warga Papua juga berubah.

Kekuatan parpol baru pelan-pelan menggerogoti kekuatan Partai Golkar. Sejak Pemilu 1999 dan 2004 disusul oleh pemilu-pemilu lokal untuk memilih kepala daerah yang baru menjadi babak penurunan genggaman Golkar.

Daerah-daerah yang sebelumnya menjadi wilayah basis lama-lama runtuh. Dari 12 kabupaten dan kota yang berhasil dimenanginya pada Pemilu 2004, hanya 1 daerah yang berhasil dipertahankan dalam pilkada tanpa harus berkoalisi dengan parpol lain. Hanya di Kabupaten Sarmi pasangan calon dari partai ini, Edward Fonataba dan Berthus Kyeu-yeu, yang berhasil menang dengan meraih 40 persen suara.

Apakah ini hanya terjadi pada Golkar? Tidak juga. Fenomena serupa juga dialami oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang juga tergolong partai nasional besar. Bahkan, penurunan perolehan suara partai ini lebih tragis. Jika pada Pemilu 1999 partai berlambang banteng ini masih mampu meraih 32,5 persen suara, pada Pemilu 2004 meraup 8 persen saja.

Bahkan, di tiga kabupaten yang dimenanginya, PDI-P gagal meraih kursi bupati dan wakil bupati dalam pemilihan kepala daerah. Calon-calon dari PDI-P di Pilkada Kabupaten Yapen Waropen, Waropen, dan Asmat dikalahkan oleh calon-calon yang didukung parpol-parpol kecil, seperti Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Pelopor, Partai Persatuan Daerah, atau Partai Demokrasi Kebangsaan.

Pemekaran wilayah

Salah satu faktor yang menyebabkan pamor partai-partai besar, seperti Partai Golkar dan PDI-P, meredup di Papua adalah pemekaran wilayah administrasi kabupaten. Pemilu 1999, misalnya, jumlah wilayah administrasi di Papua terdiri dari 9 kabupaten dan 1 kota. Perolehan suara Partai Golkar merosot tajam dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, dari 88,8 persen menjadi 37,3 persen. Selebihnya suara terdistribusi ke parpol lain, seperti PDI-P dan parpol yang berbasis keagamaan: Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) dan Partai Katolik Demokrat (PKD).

Selanjutnya pada Pemilu 2004, jumlah wilayah administrasi Papua berkembang menjadi 19 kabupaten dan 1 kota. Lagi-lagi, suara Partai Golkar mulai mengerucut dan menyisakan 24,7 persen suara. Selebihnya suara tersebar secara merata dalam rentang 5-10 persen kepada PDI-P, PDS, Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNIM), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Pada Pemilu 2009, jumlah wilayah administrasi di Papua menjadi 28 kabupaten dan 1 kota. Bagi parpol baru, hal ini merupakan sebuah berkah dan kesempatan emas untuk dapat meningkatkan perolehan suara secara signifikan, khususnya di tingkat kabupaten/kota.

Namun, di sisi lain, perolehan suara Partai Golkar dan PDI-P kemungkinan besar akan menurun.

Pengamat politik dan pemerintahan dari Uncen, Beatus Tambaip, menyebutkan alasannya. Selain karena faktor pemekaran wilayah yang memunculkan tokoh dan figur baru, Partai Golkar dan PDI-P mendahulukan calon anggota legislatif dari kader internal partai, baik yang masih duduk di kursi legislatif maupun pengurus teras partai. Padahal, saat ini pemilik mesin pendulang suara justru berada di luar Partai Golkar dan PDI-P.

Pemilu 2004, menurut Beatus Tambaip, menjadi bagian dari proses pembelajaran politik para calon wakil rakyat yang notabene memiliki basis massa kuat yang sebelumnya aktif di Partai Golkar dan PDI-P. Mereka ini mengundurkan diri atau membelot dan bergabung dengan partai-partai baru karena struktur dan garis kebijakan partai menyulitkan mereka untuk menentukan pilihan sesuai idealisme yang ingin diperjuangkan.

Sementara itu, Naffi Sanggenafa mengatakan, masuknya sejumlah tokoh ke dalam parpol baru karena melihat peluang untuk duduk sebagai legislator dan pemimpin daerah. Partai bercirikan agama tidak menjadi prinsip dasar untuk memilih. Sentimen agama sudah tidak mewarnai alasan memilih.

Kini tidak bisa dikatakan bahwa Papua ini wilayah Partai Golkar. Banyak orang mulai melihat bagaimana peta kekuatan partai dan janji ketika kampanye. Masyarakat sudah mulai menyadari. Orang awam hanya melihat realisasi janji kampanye.

Menurut Naffi, orang Papua kadang berseloroh, ”Jangan kamu bicara banyak, sa mau melihat kamu pu janji-janji!”

(ARITASIUS SUGIYA/Litbang Kompas)

"Torang Su Pu" Pilihan

BANYAK stereotip dikenakan pada masyarakat Papua. Salah satunya, etnis asli Papua dicitrakan memiliki mentalitas improvisatory, kecenderungan ingin selalu mencoba dan tidak akan bertahan lama. Selain itu, suatu sikap yang tidak tekun dalam berupaya dan cepat beralih lagi kepada isu lain apabila mereka merasa gagal.

Realitas sosial ini memberikan peluang terbuka bagi parpol baru untuk masuk di Provinsi Papua.

Stereotip tentang mentalitas suku bangsa Papua itu banyak diungkapkan para antropolog, salah satunya Jan Honore Maria Cornelis Boelaars. Hal ini juga dibenarkan oleh pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Cenderawasih (Uncen), Beatus Tambaip.

Papua terbuka untuk semua parpol. Tak satu parpol pun yang kini berani mengklaim dirinya sebagai kekuatan tunggal sebab masyarakat sudah punya pilihan. Sosok lebih penting daripada parpol.

Penduduk Papua yang mayoritas beretnis asli Papua terbuka terhadap perubahan. Keterbukaan di bidang politik, misalnya, dimulai sejak keikutsertaannya dalam proses demokrasi Pemilu 1971. Pemilu ala Indonesia, bukanlah budaya mereka. Namun, dengan didasari kesadaran sebagai warga negara untuk ikut berpartisipasi, masyarakat Papua pun terlibat.

Adaptasi dengan perubahan membutuhkan proses panjang. Setidaknya masyarakat Papua membutuhkan dua kali pemilu untuk mencapai suatu titik kesadaran akan pentingnya terlibat dalam proses pemilu. Dari peran aktif masyarakat Papua dalam pemilu dapat dikatakan sebagai wilayah yang menjanjikan.

Menurut dekan FISIP Uncen, Naffi Sanggenafa, kecerdasan masyarakat di Papua untuk memilih makin kentara. Mereka tidak lagi memedulikan partai sebab apa pun partainya, kalau tokoh yang ada di sana memang banyak memberikan kontribusi kemajuan dan keadilan daerah, mereka tidak segan-segan untuk memilihnya.

Pandangan itu dapat dilihat pula oleh Kamaluddin (24), seorang sopir di Nabire yang mengaku sudah mempunyai pilihan partai. Baginya, tidak peduli berasal dari partai apa. Namun, kalau calon legislatif itu secara langsung memberikan dampak positif bagi ekonominya, dia akan memilihnya. ”Sa su pu pilihan,” katanya. (Saya sudah punya pilihan).

Naffi Sanggenafa menekankan betapa pentingnya parpol untuk berkarya nyata di masyarakat. ”Berkaryalah secara nyata lebih dahulu sebelum mengharapkan dukungan masyarakat sebab banyak pelajaran yang sudah dipetik masyarakat dari pemilu sebelumnya. Banyak yang janji, tetapi pada akhirnya justru melupakan konstituen,” ujarnya.

Inilah peluang dari parpol baru untuk masuk. Masuknya parpol baru di tanah Papua ini karena melihat sifat dasar masyarakatnya yang terbuka terhadap perubahan tersebut.

Akan tetapi, parpol baru tentu akan mendapatkan perlawanan yang berat dari Partai Golkar dan PDI-P, terutama di daerah-daerah yang pemilihnya sangat loyal. Sebut saja Kabupaten Supiori, Biak Numfor, Sarmi, Jayapura, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Paniai, dan Kota Jayapura. Di wilayah ini dominasi Partai Golkar belum tergoyahkan. Di wilayah ini bermukim kelompok adat Seireri, Mamta, Me Pago, dan Ha Anim.

Sama halnya dengan Golkar, PDI-P juga memiliki daerah yang menjadi basis pemilihnya yang tidak pernah luntur. Di Kabupaten Asmat yang bermukim kelompok adat Ha Anim ini menjadi satu-satunya kabupaten yang menjadi basis massa PDI-P.

Independensi pemilih ini sebagai bentuk sifat demokratis para tokoh agama dan adat. Memang, pemimpin informal seperti tokoh agama dan adat masih sangat penting dan mempunyai pengaruh cukup besar.

”Kalau soal kultur, masyarakat etnis Papua akan tunduk kepada tokoh adat,” kata Naffi. Namun, pemilu kan bukan bagian dari kultur Papua. Jadi, masyarakat sudah punya pilihan. Torang su pu pilihan.

(ARITASIUS SUGIYA)

"Fala Raha" Dalam Kancah Demokrasi

OLEH KRISHNA P PANOLIH

MALUKU Utara merupakan sebuah kancah tarik-menarik antara kekuatan tradisional lama dan kekuatan baru administrasi pemerintahan modern. Kekuatan aristokrasi seclang mendapat ujian berat lewat prosedur demokrasi yang tecermin dalam pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan umum.

Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung di Maluku Utara yang digelar tahun 2007 lalu menjadi sebuah peristiwa dramatis, penuh dengan nuansa perebutan pengaruh antara aristokrasi tradisional yang bersifat lokal dan sistem demokrasi.

Keputusan KPU Maluku Utara, yang menggagalkan pencalonan Sultan Ternate Mudaffar Sjah dalam Pilkada Maluku Utara karena dinilai tidak mampu mengumpulkan dukungan suara yang dipersyaratkan, menjadi persoalan yang pelik bagi eksistensi aristokrasi lokal dan tokoh yang berpengaruh luas dalam kehidupan masyarakat Maluku Utara itu. Mudaffar-Rusdi hanya didukung sekitar 12 persen suara dari PPP dan lima partai lain. Padahal, calon harus didukung partai atau gabungan partai dengan minimal 15 persen suara atau kursi di DPRD. Kekurangan dukungan itu disebabkan dua pengusung lain, yaitu Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) serta Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), dinilai merupakan kubu sempalan yang tak direkomendasi pengurus pusat.

Penilaian KPU ini tidak bisa diterima oleh kubu pendukung Sultan. Konflik dan bentrokan fisik pendukung Sultan dengan aparat keamanan hingga pendudukan kantor KPU setempat menjadi titik rawan tahap awal pilkada.

Tampaknya konflik tidak hanya berhenti pada saat pencalonan saja. Konflik paling luas justru terjadi pascapencoblosan. Penghitungan suara Pilkada Maluku Utara menjadi momen yang paling rawan dari seluruh pilkada yang berlangsung di Indonesia, menguras energi dan menjadi konflik yang berkepanjangan.

Pilkada Gubernur Maluku Utara diikuti empat pasang, yaitu Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo, Thaib Armaiyn-Abdul Ghani Kasuba, Irvan Eddyson-Ati Achmad, dan Anthony Charles Sunarjo-Amin Drakel. Hasil penghitungan suara oleh KPU Maluku Utara menunjukkan Armaiyn-Kasuba menang tipis dari pasangan Gafur-Fabanyo, 37,35 persen berbanding 37,17 persen. Namun, keputusan ini kemudian dianulir oleh KPU pusat. Rapat Pleno KPU pusat justru memutuskan sebaliknya, kemenangan untuk Gafur-Fabanyo. Sejak itu konflik terbuka antara kedua pendukung terus mewarnai dunia perpolitikan Maluku Utara. Proses selanjutnya melibatkan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Menteri Dalam Negeri. Pada akhirnya diperlukan campur tangan pemerintah pusat untuk menyelesaikan. Lewat perdebatan yang panjang akhirnya Armaiyn-Kasuba diputuskan sebagai pemenang.

Sesungguhnya, Pilkada Maluku Utara adalah pemetaan riil dari kekuatan-kekuatan politik yang berkolaborasi dengan etnisitas. Thaib Armaiyn, yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, PBR, PBB, PKPB, dan PKB, sebelumnya adalah gubernur yang berasal dari Halmahera Selatan. la diperkirakan mendapat dukungan dari etnis Makian yang termasuk satu dari tiga etnis besar di Malut. Adapun calon wakilnya, Abdul Ghani Kasuba, mengandalkan dukungan dari etnis Tobelo dan Galela-dua etnis besar di Maluku Utara. Pasangan tersebut juga mendapat dukungan Sultan Ternate sehingga berpotensi mendulang suara dari masyarakat Ternate.

Sementara itu, Gafur-Fabanyo, yang diusung oleh Partai Golkar, mengandalkan dukungan massa tradisional dari daerah Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Mereka diduga mendapat dukungan dari etnis Tidore, Patani, Weda, dan Gane. Mereka juga mendapat dukungan dari tim suksesnya, Syamsir Andili, yang dikenal dekat dengan kalangan pendatang asal Gorontalo, Buton, Bugis, dan Jawa.

Pasangan ketiga, Anthony Charles Sunarjo-Amin Drakel yang didukung PDI-P mengandalkan dukungan etnis Sanana dan beberapa kantong masyarakat di Pulau Halmahera, khususnya yang tinggal di pelosok. Dan, pasangan terakhir, Irvan Eddyson-Ati Achmad yang didukung PDS, PNI Marhaenisme, Partai Merdeka, PIB, PKPI, PPDI, dan PPNUI lebih mengandalkan massa tradisional dari Galela dan Morotai.

Jika ditelusuri, kekuatan politik paling berpengaruh pada masa lalu adalah Kesultanan Ternate dan Tidore meskipun bukan hanya mereka yang pernah hadir membentuk warna politik di sini. "

"Fala Raha"

Lanskap politik di Maluku Utara tak bisa dilepaskan kaitannya dengan jazirah kekuasaan empat kerajaan yang membentuk konfigurasi kekuatan politik pada kemudian hari. Jazirah itu adalah wilayah kekuasaan empat kerajaan yang dikenal denganTala Raha atau Moloku Kie Raha, yaitu Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Istilah Maluku pada mulanya hanya digunakan untuk merujuk empat pusat kerajaan di Maluku Utara tersebut.

Ada sejumlah dugaan bahwa Kerajaan Jailolo merupakan yang tertua dibandingkan dengan kesultanan lainnya. Kerajaan ini ditengarai berkuasa di Halmahera sebelum wilayah ini kemudian dikuasai Kerajaan Ternate dan Tidore pada awal abad ke-17.

Sejak runtuhnya kekuasaan Jailolo, wilayah Kesultanan Ternate dan Tidore makin luas. Selain Pulau Ternate, wilayah kekuasaannya juga meliputi Halmahera Utara dan Selatan. Selain itu, kekuasaannya juga mencakup wilayah Kepulauan Sula, Kepulauan Banggai, serta daerah Tobungku di Sulawesi bagian timur.

Sementara itu, Tidore menguasai Halmahera Tengah, tetapi kekuasaannya juga menjangkau wilayah Laut Halmahera dan Laut Seram sampai ke pesisir Irian Jaya. Adapun Kesultanan Bacan berkuasa di Pulau Bacan dan pulau-pulau kecil di sekitarnya (RZ Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo, 1996).

Status provinsi yang melekat pada Maluku Utara bisa dibilang merupakan fenomena penting di kawasan seluas 140.366,32 kilometer persegi ini. Saat masih jadi bagian dari Provinsi Maluku, Maluku Utara berpredikat kabupaten, bersama (Kabupaten) Halmahera Tengah, dan Kota Administratif Ternate.

Keinginan untuk mandiri sebagai provinsi sudah dimulai sejak 1957, saat Pemerintah RI memulai upaya mengembalikan Irian Barat tahun 1956. Kemudian, pada 1963 sejumlah tokoh dari parpol, seperti Partindo, PSII, NU, Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo), mencoba lagi upaya itu, tetapi kandas. Begitu pun ketika sejumlah tokoh dari Delegasi Rakjat Maluku Utara mendesak hal tersebut kepada pemerintah pada akhir 1966.

Tokoh, penulis, dan pengusaha terkenal asal Maluku, Des Alwi, dalam buku Sejarah Maluku (2005) menyatakan, pada masa kekuasaan Presiden Soekarno (1950-1965), saat segala sesuatu berpusat pada Jakarta, Maluku adalah provinsi yang paling terpencil dan paling dilupakan dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.

Baru pada era pemerintahan Presiden BJ Habibie daerah ini resmi menjadi provinsi, tepatnya pada 12 Oktober 1999. Berikutnya Halmahera Utara, Halmahera Selatan, Kepulauan Sula, Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan bergabung pada 2003, serta terakhir Morotai (2008).

Maluku Utara merupakan cerminan sebuah provinsi dengan mayoritas (87 persen) penduduk beragama Islam dengan konsentrasi terbesar di Kota Ternate dan Halmahera Selatan. Pemeluk agama lainnya, yaitu Protestan, relatif terkonsentrasi di Halmahera Utara. Adapun pemeluk Katolik banyak mendiami Kepulauan Sula.

Perubahan konfigurasi

Maluku Utara merupakan basis Masyumi yang cukup kuat, sebagaimana tergambar dari hasil Pemilihan Umum 1955. Di sini Masyumi memperoleh 44,6 persen. Partai Islam selain Masyumi relatif tidak eksis di pemilu awal tersebut. PSII hanya meraih 0,5 persen suara.

Partai lain yang cukup sukses adalah Parkindo yang memperoleh 22 persen suara. Suara untuk partai-partai nasionalis relatif tersebar. Secara keseluruhan partai-partai nasionalis mampu mengumpulkan suara 32,6 persen, dengan dukungan terbesar berasal dari Partai Indonesia Raya (PIR) Hazairin (14,8 persen) dan PNI (13 persen).

Dalam Pemilu 1999 wilayah Maluku Utara dan Halmahera Tengah masih menjadi bagian dari Provinsi Maluku. Pemilu ini memperlihatkan keunggulan Partai Golkar di wilayah ini. Golkar menang di dua kabupaten itu dengan meraih dukungan 43,47 persen. Tempat kedua dipegang oleh PDI-P (17,38 persen) dan selanjutnya PPP (16,66 persen).

Pemetaan yang lebih jelas dapat dilihat pada Pemilu 2004, ketika wilayah ini sudah berdiri sendiri dengan memiliki delapan kabupaten/kota. Meskipun Golkar menjadi pemenang, suaranya telah jauh berkurang, menjadi hanya 23,53 persen. Wilayah-wilayah yang dikuasainya pun hanya di lima kabupaten/kota, yaitu Halmahera Barat, Halmahera Tengah, Kepulauan Sula, Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan.

Tempat kedua justru dipegang oleh PKS yang mampu meraih 10,57 persen dan memenangi Halmahera Selatan yang mayoritas memeluk agama Islam. Partai kecil yang di sini sangat diperhitungkan adalah Partai Damai Sejahtera (PDS) dan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK). PDS mampu memenangi suara di Halmahera Utara, tempat pemeluk agama Protestan kuat, dan PDK meraih kemenangan di Kota Ternate yang didominasi kekuatan Islam. Kemenangan PDK di sini tak lepas dari dukungan Sultan Mudaffar Sjah.

Konfigurasi politik di Maluku Utara masih sangat mungkin berubah. Salah satu sebabnya adalah pengaruh kemenangan dan kekalahan dalam pilkada. Sejauh ini hanya PKS yang konsisten memenangi pilkada di wilayah basis massanya. Sementara itu, meskipun menang di beberapa wilayah yang dikuasainya pada pemilu lalu, di Halmahera Barat, Halmahera Timur, dan Halmahera Tengah Golkar kalah dalam pilkada. Sebaliknya, meskipun tidak menang di satu pun daerah pada Pemilu 2004, PDI-P berhasil menancapkan kukunya dengan meraih kemenangan di tiga wilayah basis massa Golkar. Kekalahan Golkar menjadi kemenangan PDI-P. Tampaknya, wilayah Halmahera memang akan menjadi arena pertarungan yang ketat antara dua partai ini dalam Pemilu 2009. Namun, kekuatan Partai Demokrat dan PKS yang terus tumbuh tetap perlu diperhitungkan, selain partai-partai baru yang juga mencari peluang.

(LITBANG KOMPAS)

Politik Warna-warni di "Kepala Burung"

Oleh IGNATIUS KRISTANTO

IBARAT rumah, Papua Barat merupakan beranda dari Pulau Papua. Sisi ini umumnya untuk menerima tamu. Penghuninya pun lebih terbuka dan terbiasa menerima pengunjung dari beragam budaya dan politik. Itulah yang membuat ragam pilihan politik di wilayah ini lebih ”berwarna” daripada wilayah saudara tuanya, Provinsi Papua.

Tatkala konsep pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) mulai digelar pada tahun 2005, kabupaten dan kota di Papua Barat tak ketinggalan melakukan alih kekuasaan lokal secara demokratis. Waktu itu terdapat tujuh kabupaten dan kota yang menyelenggarakan pilkada pada tanggal 29 Agustus dan 6 Oktober. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Sorong Selatan, Raja Ampat, Fakfak, Teluk Bintuni Teluk Wondama, Kaimana, dan Manokwari.

Hajatan politik lokal tersebut tentu tidak dilewatkan oleh partai-partai besar, seperti Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Kedua partai itu ikut ”menanamkan” calonnya di masing-masing wilayah untuk bertarung dengan calon dari partai-partai yang tergolong partai kecil.

Hasil pilkada menunjukkan luluhnya kekuasaan politik partai-partai besar. Pada Pemilu 2004 wilayah ini didominasi Partai Golkar. Hanya di Kabupaten Fakfak, PPP berhasil mengungguli partai-partai nasionalis. Pada pertarungan pilkada, Partai Golkar hanya mampu menyabet satu kemenangan di wilayah Teluk Wondama, itu pun harus ditebus dengan koalisi bersama Partai Bulan Bintang. Calon Golkar saat itu, Albert Torei, berpasangan dengan Marice Pesunai Kaikatui.

Demikian pula perolehan PDI-P. Dari tujuh wilayah pilkada, PDI-P hanya meraih kemenangan di dua daerah. Di Kabupaten Teluk Bintuni, pasangan Alfons Manibui dan Akuba Kaitam memenangkan 43,6 persen suara, sedangkan di Kabupaten Manokwari oleh pasangan Dominggus Mandacan dan Dominggus Buiney.

Selain yang direbut Partai Golkar dan PDI-P, wilayah lain berhasil dikuasai oleh koalisi ”pelangi” dari partai-partai ”papan tengah”, seperti PAN, PPP, dan PBB. Di Kabupaten Sorong Selatan, koalisi Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) yang mengusung Otto Ihalauw dan Herman Tom Dedaida berhasil menang. Sementara di Kabupaten Kaimana, pasangan dari koalisi PSI, PBR, PAN, dan PPP memenangkan 36 persen suara.

Koalisi Partai Golkar-PKS tak ketinggalan menguasai wilayah pesisir barat dengan merajai kota dan kabupaten Sorong. Di kedua wilayah itu, meski tak mencapai separuh perolehan suara, koalisi tersebut berhasil menang.

Hasil tersebut menyiratkan, bukan hanya partai berhaluan nasionalis sekuler saja yang dapat menang di ajang kontestasi pilkada, tetapi juga partai-partai berideologi Islam. Partai-partai Islam, seperti PBB, PPP, dan PKS, pun mampu merebut simpati dan dukungan politik di Papua Barat. Dibandingkan dengan hasil pilkada di Provinsi Papua, corak kemenangan pilkada di Papua Barat memang lebih ”berwarna” dan beragam.

Heterogenitas pilihan

Sebenarnya, jika dirunut ke belakang, melihat pola kemenangan parpol dalam pemilu-pemilu sebelumnya, terutama di tahun 1999 dan 2004, kecenderungan ini sebenarnya sudah terlihat. Peta politik perolehan suara partai-partai pemenang memang tidak ada yang dominan.

Partai Golkar sebagai peraih suara terbanyak tidak mampu meraih separuh jumlah pemilih di seluruh wilayah yang saat ini menjadi Provinsi Papua Barat. Perolehan suara Partai Golkar dalam Pemilu 1999 hanya mencapai 42 persen, bahkan merosot menjadi 25 persen pada Pemilu 2004.

PDI-P turut merosot perolehan suaranya dalam kedua pemilu tersebut dari 33 persen menjadi 13 persen pada Pemilu 2004. Sisa suara lainnya direbut partai-partai papan tengah yang saat ini cukup berjaya di pertarungan pilkada.

Fenomena kemerosotan Golkar dan PDI-P serta kenaikan parpol papan tengah dalam dua pemilu legislatif terakhir tersebut bisa jadi mengindikasikan bahwa pilihan politik masyarakat Papua Barat terhadap partai politik semakin divergen, menyebar. ”Tapak-tapak” penyebaran ini semakin diperjelas dengan hasil pilkada yang kelihatan ”berona” karena tidak ada penguasa politik tunggal lagi di wilayah ini.

Salah satu faktor yang memengaruhi keragaman rona politik di Papua Barat dibandingkan dengan Papua adalah lebih bervariasinya kultur politik. Kultur politik ini terlihat dalam komposisi ragam budaya, agama, dan suku bangsa (terutama suku bangsa pendatang) yang ada di Papua Barat. Mayoritas penduduk Papua Barat berasal dari suku bangsa asli Papua yang terdiri atas beberapa suku bangsa.

Berdasarkan hasil sensus penduduk BPS Tahun 2000, proporsi suku asli Papua mencapai sekitar 83 persen dari total 700.000 penduduknya. Sementara suku bangsa pendatang, seperti, Jawa, Bugis, China, Madura, dan Batak mencapai 17 persen.

Apabila dibandingkan dengan Provinsi Papua, proporsi etnis pendatang di Papua Barat lebih besar (persentase etnis pendatang di wilayah Papua hanya mencapai 12 persen). Demikian juga jika dilihat dari komposisi agama penduduk. Proporsi pemeluk Kristen dan Katolik mencapai 60 persen, sedangkan Islam mencapai 39 persen. Bandingkan dengan komposisi pemeluk agama di Papua yang pemeluk Kristen/Katolik mencapai 81 persen.

Keterbukaan wilayah Papua Barat secara kultural dengan wilayah lain juga lebih menonjol dibandingkan dengan wilayah ”induknya”, Papua. Dari aspek geografis, letak wilayah Papua Barat ”berhadapan” secara langsung dengan kawasan kebudayaan Maluku, Flores, bahkan kebudayaan Bugis di Sulawesi.

Catatan sejarah menunjukkan, hubungan Papua Barat dengan dunia luar sudah terjadi sejak abad ketujuh.

Menurut Decki Natalis Pigay (2000) dalam bukunya Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua, pedagang-pedagang Persia dan India pada abad ketujuh sudah mencapai wilayah ini dan menyebutnya sebagai ”Dwi Panta” dan juga ”Samudratanta”. Dua abad kemudian, pedagang China tercatat turut masuk ke wilayah ini.

Pengaruh Islam baru masuk ke Papua Barat setelah wilayah Papua masuk dalam kekuasaan politik Kesultanan Tidore pada abad ke-15 Masehi. Semula pengaruh Kesultanan tersebut hanya berkisar di sekitar Kepulauan Raja Ampat, tetapi lambat laun masuk ke wilayah pantai barat dan pesisir utara Papua.

Sezaman dengan itu, bangsa Barat pun mulai menyentuh tanah Papua. Antonio d’Abrau, pimpinan armada laut Portugis, menemukan Pulau Papua lewat utara dan memberinya nama ”Os Papuas”. Pendaratan kapal-kapal ekspedisi Barat turut memulai penyebaran agama Kristen di tanah Papua.

Itulah dinamika sejarah dan etnis, budaya, yang akhirnya turut membentuk perilaku politik penduduk Papua Barat yang lebih ”berwarna” dan divergen dibandingkan dengan Papua. Tampaknya, ”beranda” memang lebih terbuka bersentuhan dengan dunia luar dibandingkan dengan ”ruang dalam” wilayah ini.

(Ignatius Kristanto/Litbang Kompas)

Dinamika Pemekaran ala Papua Barat

KISAH pembentukan Provinsi Papua Barat tidaklah semulus provinsi lainnya. Awalnya, wilayah yang bernama Irian Jaya Barat ini merasakan ketidakpuasan dengan berbagai gerak pembangunan yang terjadi di wilayahnya. Tokoh-tokoh Papua Barat dengan gigih berupaya meyakinkan elite di Jakarta tentang perlunya ”memisahkan” wilayah ini dengan induknya.

Alasan yang menjadi motivasi memisahkan diri ini di antaranya adalah persoalan luasnya wilayah yang dikelola dalam satu administrasi provinsi, yang berimbas kepada berbagai persoalan ketertinggalan infrastruktur dan perekonomian.

Kegigihan beberapa tokoh Papua Barat mendekati Jakarta dan menyuarakan gagasan pemekaran rupanya berbuah baik. Presiden Megawati saat itu akhirnya meluluskan gagasan tersebut dengan mengaktifkan kembali proses pemekaran Irian Jaya. Gerakan itu rupanya tak ”direstui” provinsi induknya. Pemerintah Provinsi Papua kemudian melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang akhirnya membatalkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irjabar, tetapi keberadaan Irian Jaya Barat tetap ”diakui”.

Fenomena dinamis dan keuletan para elite lokal Papua Barat tak lepas dari keinginan komponen masyarakat Papua Barat yang selalu ingin terus mengembangkan diri dan berubah. Sayangnya, keinginan berubah dan mengembangkan diri ini sekarang makin kurang terkendali, yang antara lain berbuah makin maraknya pemekaran wilayah dilakukan, terutama di wilayah pedalaman.

Menurut Ketua Yayasan Universitas Victory E Kalami, salah satu faktor penting dalam kultur orang Papua Barat adalah kuatnya rasa kesukuan, baik dalam arti politik maupun wilayah. Kentalnya rasa kesukuan ini menggiring penduduk asli Papua Barat untuk terus memekarkan diri, antara lain dengan memanfaatkan peluang pemekaran daerah. Tak mengherankan jika ”demam” pemekaran daerah sekarang ini marak di Papua. ”Walaupun belum disetujui, tetapi deklarasi pembentukan provinsi dan kabupaten terus saja digaungkan oleh sebagian elite lokal,” kata Kalami.

Pesisir-pedalaman

Secara umum bisa dikatakan, perbedaan karakter budaya pesisir dan pedalaman memang sangat kental di wilayah ini. Penduduk yang mendiami kawasan pesisir cenderung lebih bersifat terbuka karena lebih banyak berhubungan dengan dunia luar. Hubungan yang intensif tersebut membuat masyarakat di sepanjang pantai lebih majemuk, baik dalam gaya hidup maupun pandangan politik. Interaksi dengan budaya ”kota” dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka. Banyaknya pendatang dari berbagai etnis dan agama memengaruhi daerah ini hingga menjadikan corak masyarakatnya lebih pluralis.

Berbeda halnya dengan masyarakat pedalaman yang mendiami dataran rendah dan lereng-lereng pegunungan Kwoka di Sorong-Manokwari. Adat istiadat di wilayah ini dijalankan secara ketat dengan ”Pesta Babi” sebagai simbolnya. Sebagai contoh, penduduk kawasan ini sangat ketat dalam memegang dan menepati janji. Curiga terhadap orang asing yang belum dikenal merupakan hal yang lumrah. Malahan, pembalasan dendam melalui perang suku dinilai sebagai sebuah tindakan heroisme yang bertujuan mencari keseimbangan sosial.

Wilayah ini memiliki 24 subetnik Papua yang tersebar di seluruh wilayah Papua Barat. Di antaranya, suku bangsa Arfak, Hebron, dan Ransiki, banyak mendiami sepanjang pantai utara dan timur Papua dari Manokwari, Bintuni, sampai Teluk Wondama. Adapun suku Moi dan Ayamaru banyak mendiami pantai barat dan sedikit wilayah tengah, terutama di kota dan Kabupaten Sorong.

Dari banyaknya suku tersebut, rupanya isu pemekaran juga ikut terus bergaung. Bukan hanya pada tingkat kabupaten, melainkan merambah hingga tingkat pemekaran provinsi. Saat ini, walaupun belum disetujui, deklarasi pembentukan provinsi dan kabupaten baru terus digulirkan oleh sebagian elite lokal.

Salah satu upaya pemekaran provinsi yang kontroversial adalah pembentukan Provinsi Papua Barat Daya yang dimotori suku Ayamaru dan Maybrat atau biasa dijuluki A3: Aitinyo, Aifat, dan Ayamaru. Kejadian ini berlangsung pada 15 Januari 2007. Sementara itu, di tingkat Kabupaten, muncul pula isu akan dibentuknya Kabupaten Arfak, Kabupaten Maybrat, dan Kabupaten Tamrau, di mana semuanya merujuk pada identitas kesukuan.

Pengalaman bisa lepas dari induk ternyata menjadi energi untuk terus memekarkan diri. Jika tidak dibendung, setiap suku akan mempunyai kabupatennya sendiri. Mungkin, itulah dinamika buah keberhasilan lepas dari induknya yang harus direnungkan kembali dalam-dalam.

(Dwi Rustiono/Litbang Kompas)