Minggu, 22 Maret 2009

Menelusuri Jejak Penguasaan Tokoh

BESTARI
Peta Nusa Tenggara BaratKADAR ketokohan seseorang kerap kali menjadi faktor penentu dalam setiap ajang kontestasi politik di NTB. Oleh karena itu, Pemilu 2009 yang juga mengakomodasikan keberadaan sosok di samping partai politik seakan menegaskan kekhasan perilaku politik masyarakat NTB yang telah terbentuk selama ini. Jika memang ketokohan seseorang menjadi rujukan, termasuk rujukan politik masyarakat, menarik untuk diketahui lebih jauh kondisi yang memungkinkan terbentuknya kultur politik semacam ini.

Dari sisi budaya, masyarakat yang mendiami provinsi ini dapat dikelompokkan menjadi tiga suku besar, yaitu suku Sasak, penghuni mayoritas di Pulau Lombok, suku Samawa di Pulau Sumbawa bagian barat, dan suku Mbojo di timur Sumbawa. Selain ketiga suku ini, juga terdapat suku Bali yang menjadi pendatang di NTB sejak abad ke-17. Keberadaan tiga suku dan berbagai keragaman budaya yang dihasilkan, menurut M Yamin, pemerhati budaya NTB, bisa dihubungkan dengan sejarah masa lalu dan perkembangan budaya di daerah tersebut.

Lintasan sejarah menunjukkan, Lombok dan Sumbawa mendapatkan pengaruh dari Majapahit sejak abad ke-14. Pada saat itu, Laksamana Nala dari Majapahit berhasil menaklukkan kerajaan di kedua pulau ini. Kitab Negarakertagama yang dibuat pada abad ke-14 menyebutkan, Bima, Dompu, Taliwang, Seran, dan Utan Kadali sebagai daerah-daerah kerajaan lokal yang menjadi bagian dari ambisi Patih Gadjah Mada untuk ditaklukkan. Bahkan, patih Majapahit ini sempat berkunjung ke Lombok untuk melakukan inspeksi dan mengatur pemerintahan.

Ketika Majapahit runtuh, kerajaan kembar Goa-Tallo di Pulau Sulawesi bangkit dan giat memperluas kekuasaannya hingga daerah Nusa Tenggara. Pada tahun 1628, Sumbawa ditaklukkan oleh kerajaan asal Sulawesi ini dan kemudian menyusul penaklukan Kerajaan Selaparang di Pulau Lombok pada tahun 1639. Pada tahapan selanjutnya, raja-raja asal Bali juga sempat menguasai Lombok dari awal abad ke-17 hingga akhir abad ke-19. Serangkaian penaklukan terhadap kedua pulau di NTB sudah barang tentu meninggalkan jejak budaya, tetapi tentu saja dengan kedalaman yang berbeda. Menurut Yamin, suku Sasak kemudian lebih dipengaruhi oleh budaya Jawa dan Bali. Kedua suku lainnya yang mendominasi Pulau Sumbawa ternyata lebih dipengaruhi oleh kebudayaan asal Sulawesi. Perbedaan pengaruh ini kemudian terlihat jelas, antara lain dalam stratifikasi sosial penduduk di Pulau Sumbawa yang lebih sederhana dan lebih egaliter dibandingkan Pulau Lombok yang sering dianggap satu rumpun kebudayaan dengan Jawa dan Bali.

Di samping jejak budaya, sejarah panjang aristokrasi di NTB juga melahirkan sosok-sosok bangsawan. Hingga kini, kaum bangsawan tetap berperan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat dan menjadi rujukan masyarakat. Di sisi lain, pengaruh Islam yang sangat kuat di NTB pun melahirkan sosok-sosok ulama yang juga menjadi rujukan masyarakat. Menariknya, dua sosok rujukan masyarakat ini kerap bertemu dalam ajang kontestasi politik lokal. Kemenangan Tuan Guru Bajang Kiai Haji Zainul Majdi dalam pilkada Gubernur NTB, misalnya, lebih diidentikkan dengan penguasaan ulama dalam politik lokal. Pada masa-masa sebelumnya, kondisi sebaliknya terjadi dan berjalan sangat dinamis.

”Tokoh agama dan aristokrasi bersaing di Lombok. Tuan Guru dengan Lalu. Jaringan Tuan Guru dan bangsawan masih kuat di NTB,” ungkap Burhan Magenda, guru besar Ilmu Politik UI yang berasal dari Dompu, NTB. Ia juga menjelaskan bahwa sistem patron-klien yang terjalin antara tokoh agama dan pengikutnya serta antara bangsawan dengan kaumnya masih sangat kuat. Kekuatan itulah yang kerap terjadi dalam berbagai ajang kontestasi lokal di NTB.

(Ratna Sri Widyastuti)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar