Minggu, 22 Maret 2009

Pilihan Politik "Dibawa Mati"

DIDIE SWKOMPAS.com — Karakter pemilih yang khas di ibu kota tak lepas dari kultur pemilih Betawi. Masyarakat asli Jakarta ini memiliki kultur yang menjunjung nilai-nilai ajaran Islam. Hal ini tampak pada kehidupan keseharian mereka.

Budaya Islam yang tampak dari masyarakat Betawi adalah banyaknya tempat beribadah, seperti mushala atau masjid, yang ada di sekitar permukiman. Bahkan, di dalam gang-gang sempit pun orang masih mendirikan tempat untuk shalat lima waktu tersebut.

Selain itu, perkumpulan pengajian atau majelis taklim juga telah menjadi bagian dari hidup mereka. Di sini, orang tidak hanya membaca ayat Al Quran, tetapi juga menjadi sarana ajang sosialisasi dan pergaulan sehari-hari. Oleh karena itu, kegiatan yang bernapaskan Islam telah menjadi bagian dalam hidup mereka.

Demikian pula halnya dengan memilih partai dalam pemilu, ada peribahasa ”kacang tidak boleh lupa pada kulitnya”, artinya manusia tidak boleh lupa akan asalnya.

Menurut Sibroh Malisi, salah seorang pengurus Badan Musyawarah Betawi, ”Orang Betawi tetap melihat ’ke atas’ (Tuhan) karena semua ada pertanggungjawabannya”. Oleh karena itu, saat pemilu, orang Betawi tidak akan meninggalkan akidahnya yang akan dibawa mati.

Gambaran prinsip orang Betawi dalam memilih dapat dilihat pada kasus-kasus pemilu sebelumnya. Contohnya pada pemilu 1999, PDI-P menguasai hampir seluruh kecamatan di DKI Jakarta. Akan tetapi, kemenangan itu tidak berlaku di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, dan Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Etnis Betawi yang mendominasi di dua kecamatan tersebut, yaitu 80,7 persen, dimenangkan oleh Golkar.

Hal yang sama juga terjadi di Kecamatan Pancoran, wilayah ini dikuasai PPP. Meski proporsi etnis Betawi hanya 39 persen, tetapi bisa memengaruhi pilihan politik warga kecamatan tersebut.

Meski seluruh Jakarta hampir berwarna merah tahun 1999, di beberapa kecamatan yang dominan dihuni masyarakat Betawi terlihat sangat nyata bahwa partai-partai Islam-lah yang jadi pemenang di kecamatan tersebut.

Hal yang sama terjadi juga di Pemilu 2004. Hanya sebarannya yang berubah. Jika masa Orde Baru hanya PPP yang menjadi pilihan orang Betawi, setelah munculnya banyak partai Islam maka suara masyarakat Betawi terpecah ke beberapa partai Islam lainnya. Tak dapat dihindarkan, suara PPP sepertinya menguap di Jakarta dan beralih ke partai lainnya, seperti PKS. PPP hanya populer di wilayah pesantren di Jakarta, sedangkan PKS menampilkan citra Muslim yang terdidik, bersih, dan mampu menampilkan identitas Islam di era modern saat ini.

(UMI KULSUM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar