Minggu, 22 Maret 2009

Akar Perubahan dari Desa Jawa

PANDU
Peta JawaKOMPAS.com - Suatu hari, beberapa waktu setelah pemilihan bupati digelar, Soelastri (30) bersama rombongan ibu-ibu Desa Mojo yang terletak di lereng Gunung Wilis, Kediri, turun gunung. Dengan menyewa angkutan kota, mereka ”ngeluruk” ke kantor kabupaten untuk menagih janji bupati: mengaspal jalan desa.

”Dulu, ketika mendekati saya untuk menjadi kader pendukungnya dalam pilkada, saya bertanya, apa yang akan beliau berikan untuk desa kami kalau beliau terpilih. Beliau berjanji untuk mengaspal jalan. Janji itulah yang kami tagih karena, setelah terpilih, sepertinya beliau lupa akan janjinya saat itu,” tutur Soelastri, ketua kelompok paguyuban perempuan di desanya, awal Februari lalu.

Demonstrasi itu memang terbukti manjur. Tak lama kemudian, jalan desa itu pun menjadi mulus oleh aspal. Akses warga desa ke dunia luar pun menjadi lebih mudah. Ekonomi pun bergerak lebih lancar di sana.

Kisah Soelastri tersebut menggambarkan bahwa gugatan masyarakat terhadap janji elite politik kini bisa terjadi bukan hanya di perkotaan, tetapi juga di pelosok desa. Bahkan, di pucuk gunung di Jawa Timur. Proses menaikkan posisi masyarakat bawah terhadap kelompok atas mulai terjadi.

Keberanian warga Desa Mojo tersebut tidak lepas dari pengaruh kondisi kultur yang berkembang di sana, yakni pengaruh dua subkultur besar, Mataraman dan Arek. Kedua karakteristik budaya yang berbeda dan berkembang bersama-sama. Kultur Mataraman adalah menjunjung solidaritas tinggi, gotong royong, tetapi kurang terbuka dalam mengemukakan pandangan. Adapun ciri masyarakat di wilayah Arek adalah solidaritas kuat, tegas, dan terbuka terhadap perubahan. Tarikan kedua subkultur inilah yang membuat masyarakat Desa Mojo terus berkembang.

Desa-desa perbatasan seperti Desa Mojo bertebaran di seluruh tanah Jawa. Jika ditelesuri lebih jauh, di Jawa Timur saja terdapat empat subkultur besar: Mataraman, Arek, Pandalungan, dan Madura. Di Jawa Tengah terdapat tiga subkultur: Mataraman, Pesisir, dan Banyumasan. Sementara di wilayah Jawa bagian barat sedikitnya terdapat enam subkultur, yakni Betawi, Banten, Pamalayon, Bogor, Purwakarta, dan Jawa Cirebon.

Interaksi masyarakat antarkultur ini makin intens karena perkembangan yang pesat infrastruktur di Jawa. Perjumpaan warga antardesa yang berbeda budaya kerap terjadi, membuat penduduk Jawa pun lebih cepat berubah. Pilihan politik pun berubah.

Selain persilangan sub-budaya, pengalaman terhadap pelaksanaan pemilihan umum ikut membentuk kesadaran warga desa. Pemilihan yang marak digelar dalam lima tahun terakhir dari mulai pemilihan kepala desa, bupati, gubernur, presiden, dan pemilihan umum yang memilih anggota wakil rakyat membuat warga desa mulai pintar melakukan transaksi politik.

Benih-benih perubahan yang muncul dari desa inilah yang membuat Jawa pun kini bergerak. Orientasi politik pragmatis penduduk Jawa bukan hanya terjadi di perkotaan, tetapi kini mulai tumbuh di desa. Partai mana pun yang dapat memberikan ”berkah” bagi desanya akan dipilih.

”Jika ada caleg yang mau ikut membantu membangun desa ini, kami ramai-ramai akan memilihnya. Tidak peduli dia dari partai mana,” tutur Soelasti yang kini terpilih sebagai kepala desa di Mojo tanpa harus memakai proses politik uang.

(IGNATIUS KRISTANTO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar