Minggu, 22 Maret 2009

Tarikan Jawara dan Ulama

PERAN penguasaan politik di Banten tak dapat dipisahkan dari kelompok jawara dan ulama. Kedua kelompok tersebut sampai kini masih berpengaruh dalam menentukan orientasi politik masyarakat di provinsi ujung bagian barat Pulau Jawa ini.

Sebagai bekas kerajaan Islam, posisi ulama di wilayah ini tentu sangat kuat. Kiai yang merupakan gelar ulama dari kelompok Islam tradisional tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama, tetapi juga sebagai seorang pemimpin masyarakat. Kekuasaannya sering kali melebihi kekuasaan pemimpin formal, terutama di pedesaan.

Di sisi lain, ada jawara, kelompok yang juga menembus batas-batas hierarki pedesaan di Banten. Jawara dikenal sebagai seorang yang memiliki keunggulan dalam fisik dan kekuatan-kekuatan untuk memanipulasi kekuatan supranatural, seperti penggunaan jimat, sehingga ia disegani oleh masyarakat.

Menurut Prof H MA Tihami (2007) dalam buku Tasbih dan Golok, dulunya jawara merupakan pengawal kiai. Jawara pada masa-masa sulit banyak membantu peran para kiai, terutama berkaitan dengan persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat. Hubungan simbiosis itu kini seolah-olah terpisah karena perubahan citra jawara. Salah satu jejak sejarah yang memperlihatkan kerja sama dan menyatukan kedua subkultur tersebut adalah pemberontakan di Pandeglang tahun 1811 yang dipimpin Mas Jakaria, lalu peristiwa Cikande Udik tahun 1845. Keduanya bahu-membahu menentang kolonial Belanda.

Sejarah pun terkoreksi, kiai dan jawara pun kini menjadi kelompok yang berbeda, dengan peranannya yang berubah juga. Menurut Abdul Hamid, pengajar Universitas Tirtayasa, Serang, era penguasaan Orde Baru merupakan era yang merekonstruksi peranan jawara dan ulama. Di era ini, banyak jawara yang dirangkul oleh penguasa, sedangkan peranan ulama dalam hal politik ”dikempiskan”.

Ketika itu, posisi ulama berhasil ditempatkan sebagai kelompok yang tergantung pada pemerintah dan mesin politiknya, Golkar, dalam pemberian bantuan dan kemudahan lainnya. Sementara, jawara diberi peran ekonomi yang strategis di Banten. Oleh karena itu, perannya bergeser menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang penting dan patron bagi pengusaha-pengusaha lokal.

Kini peranannya semakin penting setelah Banten menjadi provinsi sendiri, terpisah dari Jawa Barat. Peran jawara tidak hanya dalam ekonomi, tetapi juga dalam percaturan bidang politik lokal. Setiap kali pemilu nasional maupun pilkada yang bersifat lokal, para calon yang maju—baik itu perorangan maupun dari partai politik—tak bisa melepaskan diri dari bekerja sama dengan kelompok ini.

Namun, di pihak lain, majunya beberapa elite yang jawara dalam kontestasi pemilu juga diikuti oleh kelompok ulama. Inilah dua kelompok elite masyarakat yang kini bisa beradu dan juga bisa bekerja sama kembali dalam arena politik di Banten.

(Teguh Nurhadi/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar