Minggu, 22 Maret 2009

Pemekaran Melantakkan Partai-partai Besar

Oleh ARITASIUS SUGIYA

POLA penguasaan wilayah politik atas partai-partai besar di Papua mulai berubah semenjak pemekaran daerah gencar dilakukan. Semakin banyak daerah baru yang bermunculan, semakin berkuranglah kekuasaan parpol besar. Namun, sebaliknya, bagi partai-partai kecil, pemekaran justru merupakan berkah. Beberapa daerah yang baru dipecah berhasil dimenangi partai kecil.

Tradisi pemilihan umum di Provinsi Papua tergolong muda jika dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Jika warga provinsi lain sudah mengalami proses pemilu sejak 1955, penduduk Papua baru memulainya pada tahun 1971. Itu pun pemilu yang tergolong kurang demokratis karena di bawah tekanan rezim Orde Baru. Waktu itu, Golkar menguasai perolehan suara. Bahkan, pada Pemilu 1977 Golkar mampu mendulang 86,6 persen suara.

Oleh karena itu, tak mengherankan jika Golkar, yang menjadi alat politik penguasa, bisa mencengkeram kuat di tanah Papua hingga lama. Bahkan, pada Pemilu 1999 hingga 2004 yang tergolong demokratis pun, sisa-sisa cengkeraman Golkar masih terlihat. Pada dua pemilu terakhir tersebut, partai berlambang beringin ini masih meraih gelar pemeroleh suara terbanyak.

Keberhasilan Golkar ini tidak lepas dari proses kaderisasi dan jaringan struktural yang dibangunnya hingga pelosok daerah di Tanah Papua. Hal ini juga diyakini oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih (FISIP Uncen) Naffi Sanggenafa. Sampai pemilu terakhir, kekuatan Golkar belum tertandingi oleh parpol mana pun.

Namun, ketika kebijakan pemekaran mulai dilakukan dan mulai merebak pada tahun 2000-an kondisi mulai berubah. Penguasaan wilayah partai mulai berbelok. Tawaran baru dari partai-partai baru pun membuat pilihan politik warga Papua juga berubah.

Kekuatan parpol baru pelan-pelan menggerogoti kekuatan Partai Golkar. Sejak Pemilu 1999 dan 2004 disusul oleh pemilu-pemilu lokal untuk memilih kepala daerah yang baru menjadi babak penurunan genggaman Golkar.

Daerah-daerah yang sebelumnya menjadi wilayah basis lama-lama runtuh. Dari 12 kabupaten dan kota yang berhasil dimenanginya pada Pemilu 2004, hanya 1 daerah yang berhasil dipertahankan dalam pilkada tanpa harus berkoalisi dengan parpol lain. Hanya di Kabupaten Sarmi pasangan calon dari partai ini, Edward Fonataba dan Berthus Kyeu-yeu, yang berhasil menang dengan meraih 40 persen suara.

Apakah ini hanya terjadi pada Golkar? Tidak juga. Fenomena serupa juga dialami oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang juga tergolong partai nasional besar. Bahkan, penurunan perolehan suara partai ini lebih tragis. Jika pada Pemilu 1999 partai berlambang banteng ini masih mampu meraih 32,5 persen suara, pada Pemilu 2004 meraup 8 persen saja.

Bahkan, di tiga kabupaten yang dimenanginya, PDI-P gagal meraih kursi bupati dan wakil bupati dalam pemilihan kepala daerah. Calon-calon dari PDI-P di Pilkada Kabupaten Yapen Waropen, Waropen, dan Asmat dikalahkan oleh calon-calon yang didukung parpol-parpol kecil, seperti Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Pelopor, Partai Persatuan Daerah, atau Partai Demokrasi Kebangsaan.

Pemekaran wilayah

Salah satu faktor yang menyebabkan pamor partai-partai besar, seperti Partai Golkar dan PDI-P, meredup di Papua adalah pemekaran wilayah administrasi kabupaten. Pemilu 1999, misalnya, jumlah wilayah administrasi di Papua terdiri dari 9 kabupaten dan 1 kota. Perolehan suara Partai Golkar merosot tajam dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, dari 88,8 persen menjadi 37,3 persen. Selebihnya suara terdistribusi ke parpol lain, seperti PDI-P dan parpol yang berbasis keagamaan: Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) dan Partai Katolik Demokrat (PKD).

Selanjutnya pada Pemilu 2004, jumlah wilayah administrasi Papua berkembang menjadi 19 kabupaten dan 1 kota. Lagi-lagi, suara Partai Golkar mulai mengerucut dan menyisakan 24,7 persen suara. Selebihnya suara tersebar secara merata dalam rentang 5-10 persen kepada PDI-P, PDS, Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNIM), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Pada Pemilu 2009, jumlah wilayah administrasi di Papua menjadi 28 kabupaten dan 1 kota. Bagi parpol baru, hal ini merupakan sebuah berkah dan kesempatan emas untuk dapat meningkatkan perolehan suara secara signifikan, khususnya di tingkat kabupaten/kota.

Namun, di sisi lain, perolehan suara Partai Golkar dan PDI-P kemungkinan besar akan menurun.

Pengamat politik dan pemerintahan dari Uncen, Beatus Tambaip, menyebutkan alasannya. Selain karena faktor pemekaran wilayah yang memunculkan tokoh dan figur baru, Partai Golkar dan PDI-P mendahulukan calon anggota legislatif dari kader internal partai, baik yang masih duduk di kursi legislatif maupun pengurus teras partai. Padahal, saat ini pemilik mesin pendulang suara justru berada di luar Partai Golkar dan PDI-P.

Pemilu 2004, menurut Beatus Tambaip, menjadi bagian dari proses pembelajaran politik para calon wakil rakyat yang notabene memiliki basis massa kuat yang sebelumnya aktif di Partai Golkar dan PDI-P. Mereka ini mengundurkan diri atau membelot dan bergabung dengan partai-partai baru karena struktur dan garis kebijakan partai menyulitkan mereka untuk menentukan pilihan sesuai idealisme yang ingin diperjuangkan.

Sementara itu, Naffi Sanggenafa mengatakan, masuknya sejumlah tokoh ke dalam parpol baru karena melihat peluang untuk duduk sebagai legislator dan pemimpin daerah. Partai bercirikan agama tidak menjadi prinsip dasar untuk memilih. Sentimen agama sudah tidak mewarnai alasan memilih.

Kini tidak bisa dikatakan bahwa Papua ini wilayah Partai Golkar. Banyak orang mulai melihat bagaimana peta kekuatan partai dan janji ketika kampanye. Masyarakat sudah mulai menyadari. Orang awam hanya melihat realisasi janji kampanye.

Menurut Naffi, orang Papua kadang berseloroh, ”Jangan kamu bicara banyak, sa mau melihat kamu pu janji-janji!”

(ARITASIUS SUGIYA/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar