Minggu, 22 Maret 2009

Dinamika Pemekaran ala Papua Barat

KISAH pembentukan Provinsi Papua Barat tidaklah semulus provinsi lainnya. Awalnya, wilayah yang bernama Irian Jaya Barat ini merasakan ketidakpuasan dengan berbagai gerak pembangunan yang terjadi di wilayahnya. Tokoh-tokoh Papua Barat dengan gigih berupaya meyakinkan elite di Jakarta tentang perlunya ”memisahkan” wilayah ini dengan induknya.

Alasan yang menjadi motivasi memisahkan diri ini di antaranya adalah persoalan luasnya wilayah yang dikelola dalam satu administrasi provinsi, yang berimbas kepada berbagai persoalan ketertinggalan infrastruktur dan perekonomian.

Kegigihan beberapa tokoh Papua Barat mendekati Jakarta dan menyuarakan gagasan pemekaran rupanya berbuah baik. Presiden Megawati saat itu akhirnya meluluskan gagasan tersebut dengan mengaktifkan kembali proses pemekaran Irian Jaya. Gerakan itu rupanya tak ”direstui” provinsi induknya. Pemerintah Provinsi Papua kemudian melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang akhirnya membatalkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irjabar, tetapi keberadaan Irian Jaya Barat tetap ”diakui”.

Fenomena dinamis dan keuletan para elite lokal Papua Barat tak lepas dari keinginan komponen masyarakat Papua Barat yang selalu ingin terus mengembangkan diri dan berubah. Sayangnya, keinginan berubah dan mengembangkan diri ini sekarang makin kurang terkendali, yang antara lain berbuah makin maraknya pemekaran wilayah dilakukan, terutama di wilayah pedalaman.

Menurut Ketua Yayasan Universitas Victory E Kalami, salah satu faktor penting dalam kultur orang Papua Barat adalah kuatnya rasa kesukuan, baik dalam arti politik maupun wilayah. Kentalnya rasa kesukuan ini menggiring penduduk asli Papua Barat untuk terus memekarkan diri, antara lain dengan memanfaatkan peluang pemekaran daerah. Tak mengherankan jika ”demam” pemekaran daerah sekarang ini marak di Papua. ”Walaupun belum disetujui, tetapi deklarasi pembentukan provinsi dan kabupaten terus saja digaungkan oleh sebagian elite lokal,” kata Kalami.

Pesisir-pedalaman

Secara umum bisa dikatakan, perbedaan karakter budaya pesisir dan pedalaman memang sangat kental di wilayah ini. Penduduk yang mendiami kawasan pesisir cenderung lebih bersifat terbuka karena lebih banyak berhubungan dengan dunia luar. Hubungan yang intensif tersebut membuat masyarakat di sepanjang pantai lebih majemuk, baik dalam gaya hidup maupun pandangan politik. Interaksi dengan budaya ”kota” dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka. Banyaknya pendatang dari berbagai etnis dan agama memengaruhi daerah ini hingga menjadikan corak masyarakatnya lebih pluralis.

Berbeda halnya dengan masyarakat pedalaman yang mendiami dataran rendah dan lereng-lereng pegunungan Kwoka di Sorong-Manokwari. Adat istiadat di wilayah ini dijalankan secara ketat dengan ”Pesta Babi” sebagai simbolnya. Sebagai contoh, penduduk kawasan ini sangat ketat dalam memegang dan menepati janji. Curiga terhadap orang asing yang belum dikenal merupakan hal yang lumrah. Malahan, pembalasan dendam melalui perang suku dinilai sebagai sebuah tindakan heroisme yang bertujuan mencari keseimbangan sosial.

Wilayah ini memiliki 24 subetnik Papua yang tersebar di seluruh wilayah Papua Barat. Di antaranya, suku bangsa Arfak, Hebron, dan Ransiki, banyak mendiami sepanjang pantai utara dan timur Papua dari Manokwari, Bintuni, sampai Teluk Wondama. Adapun suku Moi dan Ayamaru banyak mendiami pantai barat dan sedikit wilayah tengah, terutama di kota dan Kabupaten Sorong.

Dari banyaknya suku tersebut, rupanya isu pemekaran juga ikut terus bergaung. Bukan hanya pada tingkat kabupaten, melainkan merambah hingga tingkat pemekaran provinsi. Saat ini, walaupun belum disetujui, deklarasi pembentukan provinsi dan kabupaten baru terus digulirkan oleh sebagian elite lokal.

Salah satu upaya pemekaran provinsi yang kontroversial adalah pembentukan Provinsi Papua Barat Daya yang dimotori suku Ayamaru dan Maybrat atau biasa dijuluki A3: Aitinyo, Aifat, dan Ayamaru. Kejadian ini berlangsung pada 15 Januari 2007. Sementara itu, di tingkat Kabupaten, muncul pula isu akan dibentuknya Kabupaten Arfak, Kabupaten Maybrat, dan Kabupaten Tamrau, di mana semuanya merujuk pada identitas kesukuan.

Pengalaman bisa lepas dari induk ternyata menjadi energi untuk terus memekarkan diri. Jika tidak dibendung, setiap suku akan mempunyai kabupatennya sendiri. Mungkin, itulah dinamika buah keberhasilan lepas dari induknya yang harus direnungkan kembali dalam-dalam.

(Dwi Rustiono/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar