Minggu, 22 Maret 2009

Wilayah yang Mulai Berubah

BESTARI
Peta Provinsi Jawa BaratOLEH DWI ERIANTO & IGNATIUS KRISTANTO

SALAH satu provinsi di Jawa yang masyarakatnya mengalami perubahan pilihan politik dalam kurun setengah abad adalah Jawa Barat. Partai-partai yang memenangi pemilihan umum, kecuali di era Orde Baru, selalu berganti.

Ketika Pemilu 1955 digelar, banyak pengamat menduga kalau Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) bakal meraup suara banyak di Provinsi Jawa Barat. Dugaan ini ternyata ada benarnya, bahkan Masyumi mampu meraih suara terbanyak, 26 persen, mengalahkan Partai Nasional Indonesia (PNI).

Jawa Barat di kala itu telah menjadi salah satu basis terkuat Masyumi. Sumbangan suara pemilihnya di provinsi ini mencapai 23 persen. Selain itu, secara politik kader-kadernya juga berani bersuara lantang terhadap kebijakan Presiden Soekarno yang mengeluarkan peringatan soal upaya menjadikan Indonesia negara Islam. Menurut catatan Herbert Feith (1957) tentang kondisi Pemilu 1955, salah satu yang bersuara keras menentang peringatan itu adalah Kiai Haji Isa Anshary, Ketua Masyumi Jawa Barat.

Catatan Feith itu memperlihatkan bahwa Jawa Barat merupakan salah satu basis massa Islam Modernis yang kuat. Ini memberikan ”warna” tersendiri bagi karakteristik pemilih Jawa pada waktu itu dan menunjukkan bahwa Jawa Barat ternyata berbeda dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Basis politik Islam Modernis ini mulai surut setelah Masyumi bubar pada tahun 1960. Ditambah lagi pergantian ke rezim Orde Baru yang berhasil ”menguningkan” wilayah Jawa Barat dengan mesin politiknya Golkar. Pemilu 1971 hingga 1997, Golkar menguasai perolehan suara sepanjang pemilu-pemilu di era tersebut.

Ketika penguasa Orde Baru runtuh, ”wajah” politik pemilih Jawa Barat berubah kembali. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mendapat simpati dan dukungan yang luar biasa, termasuk di bekas basis Masyumi ini. Partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri ini akhirnya menjadi pemenang berikutnya pada Pemilu 1999. Perolehan suaranya 32 persen, bahkan melebihi perolehan Masyumi pada tahun 1955.

Lima tahun kemudian, pilihan itu berubah lagi. Kali ini kembali Golkar yang menguasai perolehan suara. Mayoritas kabupaten dan kota berhasil dikuasainya dan hanya menyisakan 6 daerah untuk PDI-P, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Perubahan pilihan terjadi lagi ketika digelar pemilihan kepala daerah (pilkada) pada tahun 2008. Kini, pilihannya jatuh ke calon yang diusung partai bercorak Islam, PKS.

Hasil pemilu-pemilu tersebut telah menunjukkan perubahan yang signifikan dari pemilih Jawa Barat, dari Islam, beralih ke nasionalis-sekuler, lalu kembali ke Islam lagi. Partai-partai yang memenangi pemilu di Jawa Barat tidak mampu mempertahankan suaranya dan menjaga kesolidan pemilihnya.

Tatar budaya sunda

Pada tingkatan provinsi, perolehan suara partai dalam beberapa pemilu memang berubah. Demikian pula di tingkatan wilayah yang lebih kecil. Meskipun di Jawa Barat dapat dibagi lagi wilayahnya menjadi beberapa subwilayah berdasarkan karakteristik budayanya, untuk urusan pilihan politik sebagian besar tidak dapat dibedakan. Hanya daerah Cirebon yang menjadi basis PDI-P dari dulu.

Ketua Pusat Kebudayaan Sunda dari Universitas Padjajaran Nina Herlina Lubis pernah membagi Jawa Barat kedalam lima wilayah budaya atau tatar, yakni Pamalayon, Bogor, Purwakarta, Cirebon, dan Priangan. Wilayah budaya itu memiliki karakter khas bukan hanya menyangkut budaya lokal, tetapi juga kultur politiknya yang dipengaruhi oleh etnis dominan dan pengaruh budaya lainnya, seperti dari Kerajaan Mataram yang berpusat di Yogyakarta dan dilanjutkan Kolonial Belanda.

Tatar Pamalayon meliputi Bekasi dan Depok, didominasi etnis Melayu Betawi. Ciri khas mayarakatnya berbahasa Melayu dialek Betawi dengan karakter masyarakatnya lebih terbuka. Wilayah ini menjadi percampuran multietnis karena imbas dari Jakarta.

Wilayah berikutnya Tatar Bogor, yang sejak dulu bebas dari pengaruh Mataram. Sehari-hari masyarakatnya mengunakan bahasa Sunda kasar dan tidak mengenal tingkatan bahasa. Karakter masyarakatnya khas orang perbatasan yang dulu sebagai pusat pemerintah kolonial, yaitu lebih terbuka, penuh percaya diri, egaliter, dan progresif.

Tatar ketiga adalah Purwakarta. Daerah ini merupakan daerah baru yang wilayahnya mencakup Purwakarta, Subang, dan Karawang. Wilayah itu dulu merupakan tanah-tanah partikelir yang dikuasai swasta. Ciri khas daerah ini ditandai dengan tidak berkembangnya kebudayaan. Kultur Sunda dan Jawa sama- sama kuat; kultur Sunda di wilayah selatan, sementara Jawa di pesisir.

Tatar keempat adalah Jawa Cirebon, wilayahnya meliputi Cirebon dan Indramayu. Budaya itu pengaruhnya hingga Majalengka dan Kuningan. Karakter khas masyarakat pesisir ini adalah progresif, terbuka, temperamental, keras, dan merasa tidak terafiliasi dengan pedalaman (Priangan). Daerah ini merupakan basis PDI-P. Dua pemilu terakhir berhasil dikuasainya.

Menurut Abdullah Ali, pakar sosiologi antropologi dan pengajar Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Cirebon, masyarakat Cirebon lebih didominasi Islam Abangan yang berpikiran pragmatis. Oleh karena itu, pilihan mayoritas masyarakat bukan pada parpol Islam, tetapi pada partai nasionalis.

Selanjutnya, komunitas budaya terbesar dan terluas wilayahnya adalah Tatar Priangan. Proporsi etnis Sunda di wilayah itu lebih dari 90 persen, sementara wilayahnya lebih dari separuh Jabar.

Nina Lubis membagi wilayah itu menjadi tiga, yakni Priangan Barat (Cianjur dan Sukabumi), Priangan Tengah (Bandung dan Sumedang), dan Priangan Timur (Garut, Tasikmaya, Ciamis).

Di Priangan Timur intensitas pengaruh Mataram dan Belanda tidak terlalu tinggi karena dinilai kurang menguntungkan. Wilayah ini oleh Mataram hanya dibutuhkan untuk bantuan logistik dan tentara.

Sementara Priangan Tengah menjadi pusat pemerintahan Priangan sejak zaman Mataram. Intensitas pengaruh Mataram dan Belanda di Priangan Tengah paling besar dibandingkan dengan wilayah lainnya. Ini disebabkan Priangan Tengah dinilai paling menguntungkan sebagai penghasil perkebunan terbesar.

Pengaruh Mataram dan Kolonial di Priangan Barat juga cukup besar. Ciri khas daerah ini ditandai dengan bahasa Sunda yang dipergunakan lebih halus dan kesenian berkembang lebih baik dibandingkan daerah lainnya. Hal ini terjadi karena Cianjur awalnya sebagai pusat ibu kota Priangan sebelum dipindahkan ke Bandung.

”Cairnya” pilihan politik Jawa Barat juga dapat dilihat dari hasil pilkada yang berlangsung dalam 4 tahun terakhir. Sebagian besar pilkada yang berlangsung di kabupaten dan kota dimenangkan oleh partai-partai yang berkoalisi. Mereka tidak percaya diri untuk mengusung calon sendirian. Dari 26 daerah kabupaten dan kota yang menyelenggarakan pilkada, 18 dimenangkan partai yang berkoalisi.

Berubahnya pilihan warga Jawa Barat membuat peluang seluruh partai yang ikut ajang Pemilu 2009 menjadi lebih terbuka. Bahkan, calon independen yang tidak didukung partai pun bisa menang di sini. Ini sudah dibuktikan di Pilkada Kabupaten Garut.

(Dwi Erianto/ Ignatius Kristanto/ Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar