Minggu, 22 Maret 2009

Politik Warna-warni di "Kepala Burung"

Oleh IGNATIUS KRISTANTO

IBARAT rumah, Papua Barat merupakan beranda dari Pulau Papua. Sisi ini umumnya untuk menerima tamu. Penghuninya pun lebih terbuka dan terbiasa menerima pengunjung dari beragam budaya dan politik. Itulah yang membuat ragam pilihan politik di wilayah ini lebih ”berwarna” daripada wilayah saudara tuanya, Provinsi Papua.

Tatkala konsep pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) mulai digelar pada tahun 2005, kabupaten dan kota di Papua Barat tak ketinggalan melakukan alih kekuasaan lokal secara demokratis. Waktu itu terdapat tujuh kabupaten dan kota yang menyelenggarakan pilkada pada tanggal 29 Agustus dan 6 Oktober. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Sorong Selatan, Raja Ampat, Fakfak, Teluk Bintuni Teluk Wondama, Kaimana, dan Manokwari.

Hajatan politik lokal tersebut tentu tidak dilewatkan oleh partai-partai besar, seperti Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Kedua partai itu ikut ”menanamkan” calonnya di masing-masing wilayah untuk bertarung dengan calon dari partai-partai yang tergolong partai kecil.

Hasil pilkada menunjukkan luluhnya kekuasaan politik partai-partai besar. Pada Pemilu 2004 wilayah ini didominasi Partai Golkar. Hanya di Kabupaten Fakfak, PPP berhasil mengungguli partai-partai nasionalis. Pada pertarungan pilkada, Partai Golkar hanya mampu menyabet satu kemenangan di wilayah Teluk Wondama, itu pun harus ditebus dengan koalisi bersama Partai Bulan Bintang. Calon Golkar saat itu, Albert Torei, berpasangan dengan Marice Pesunai Kaikatui.

Demikian pula perolehan PDI-P. Dari tujuh wilayah pilkada, PDI-P hanya meraih kemenangan di dua daerah. Di Kabupaten Teluk Bintuni, pasangan Alfons Manibui dan Akuba Kaitam memenangkan 43,6 persen suara, sedangkan di Kabupaten Manokwari oleh pasangan Dominggus Mandacan dan Dominggus Buiney.

Selain yang direbut Partai Golkar dan PDI-P, wilayah lain berhasil dikuasai oleh koalisi ”pelangi” dari partai-partai ”papan tengah”, seperti PAN, PPP, dan PBB. Di Kabupaten Sorong Selatan, koalisi Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) yang mengusung Otto Ihalauw dan Herman Tom Dedaida berhasil menang. Sementara di Kabupaten Kaimana, pasangan dari koalisi PSI, PBR, PAN, dan PPP memenangkan 36 persen suara.

Koalisi Partai Golkar-PKS tak ketinggalan menguasai wilayah pesisir barat dengan merajai kota dan kabupaten Sorong. Di kedua wilayah itu, meski tak mencapai separuh perolehan suara, koalisi tersebut berhasil menang.

Hasil tersebut menyiratkan, bukan hanya partai berhaluan nasionalis sekuler saja yang dapat menang di ajang kontestasi pilkada, tetapi juga partai-partai berideologi Islam. Partai-partai Islam, seperti PBB, PPP, dan PKS, pun mampu merebut simpati dan dukungan politik di Papua Barat. Dibandingkan dengan hasil pilkada di Provinsi Papua, corak kemenangan pilkada di Papua Barat memang lebih ”berwarna” dan beragam.

Heterogenitas pilihan

Sebenarnya, jika dirunut ke belakang, melihat pola kemenangan parpol dalam pemilu-pemilu sebelumnya, terutama di tahun 1999 dan 2004, kecenderungan ini sebenarnya sudah terlihat. Peta politik perolehan suara partai-partai pemenang memang tidak ada yang dominan.

Partai Golkar sebagai peraih suara terbanyak tidak mampu meraih separuh jumlah pemilih di seluruh wilayah yang saat ini menjadi Provinsi Papua Barat. Perolehan suara Partai Golkar dalam Pemilu 1999 hanya mencapai 42 persen, bahkan merosot menjadi 25 persen pada Pemilu 2004.

PDI-P turut merosot perolehan suaranya dalam kedua pemilu tersebut dari 33 persen menjadi 13 persen pada Pemilu 2004. Sisa suara lainnya direbut partai-partai papan tengah yang saat ini cukup berjaya di pertarungan pilkada.

Fenomena kemerosotan Golkar dan PDI-P serta kenaikan parpol papan tengah dalam dua pemilu legislatif terakhir tersebut bisa jadi mengindikasikan bahwa pilihan politik masyarakat Papua Barat terhadap partai politik semakin divergen, menyebar. ”Tapak-tapak” penyebaran ini semakin diperjelas dengan hasil pilkada yang kelihatan ”berona” karena tidak ada penguasa politik tunggal lagi di wilayah ini.

Salah satu faktor yang memengaruhi keragaman rona politik di Papua Barat dibandingkan dengan Papua adalah lebih bervariasinya kultur politik. Kultur politik ini terlihat dalam komposisi ragam budaya, agama, dan suku bangsa (terutama suku bangsa pendatang) yang ada di Papua Barat. Mayoritas penduduk Papua Barat berasal dari suku bangsa asli Papua yang terdiri atas beberapa suku bangsa.

Berdasarkan hasil sensus penduduk BPS Tahun 2000, proporsi suku asli Papua mencapai sekitar 83 persen dari total 700.000 penduduknya. Sementara suku bangsa pendatang, seperti, Jawa, Bugis, China, Madura, dan Batak mencapai 17 persen.

Apabila dibandingkan dengan Provinsi Papua, proporsi etnis pendatang di Papua Barat lebih besar (persentase etnis pendatang di wilayah Papua hanya mencapai 12 persen). Demikian juga jika dilihat dari komposisi agama penduduk. Proporsi pemeluk Kristen dan Katolik mencapai 60 persen, sedangkan Islam mencapai 39 persen. Bandingkan dengan komposisi pemeluk agama di Papua yang pemeluk Kristen/Katolik mencapai 81 persen.

Keterbukaan wilayah Papua Barat secara kultural dengan wilayah lain juga lebih menonjol dibandingkan dengan wilayah ”induknya”, Papua. Dari aspek geografis, letak wilayah Papua Barat ”berhadapan” secara langsung dengan kawasan kebudayaan Maluku, Flores, bahkan kebudayaan Bugis di Sulawesi.

Catatan sejarah menunjukkan, hubungan Papua Barat dengan dunia luar sudah terjadi sejak abad ketujuh.

Menurut Decki Natalis Pigay (2000) dalam bukunya Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua, pedagang-pedagang Persia dan India pada abad ketujuh sudah mencapai wilayah ini dan menyebutnya sebagai ”Dwi Panta” dan juga ”Samudratanta”. Dua abad kemudian, pedagang China tercatat turut masuk ke wilayah ini.

Pengaruh Islam baru masuk ke Papua Barat setelah wilayah Papua masuk dalam kekuasaan politik Kesultanan Tidore pada abad ke-15 Masehi. Semula pengaruh Kesultanan tersebut hanya berkisar di sekitar Kepulauan Raja Ampat, tetapi lambat laun masuk ke wilayah pantai barat dan pesisir utara Papua.

Sezaman dengan itu, bangsa Barat pun mulai menyentuh tanah Papua. Antonio d’Abrau, pimpinan armada laut Portugis, menemukan Pulau Papua lewat utara dan memberinya nama ”Os Papuas”. Pendaratan kapal-kapal ekspedisi Barat turut memulai penyebaran agama Kristen di tanah Papua.

Itulah dinamika sejarah dan etnis, budaya, yang akhirnya turut membentuk perilaku politik penduduk Papua Barat yang lebih ”berwarna” dan divergen dibandingkan dengan Papua. Tampaknya, ”beranda” memang lebih terbuka bersentuhan dengan dunia luar dibandingkan dengan ”ruang dalam” wilayah ini.

(Ignatius Kristanto/Litbang Kompas)

1 komentar:

  1. Best Casino & Slots: The Complete Guide & Guide To - Dr.MD
    All 진주 출장마사지 of our 춘천 출장안마 recommended casino and 오산 출장샵 slots games are legal & regulated, 안성 출장마사지 so here you'll find everything 충주 출장마사지 you need to know.

    BalasHapus