Kamis, 19 Februari 2009

Dinamika Banjar dan Kutai

KALIMANTAN Timur dihuni oleh beragam etnis, tetapi lima etnis terbesar adalah Jawa, Bugis, Banjar, Kutai, dan Dayak. Dua etnis pertama merupakan suku bangsa pendatang yang menurut sensus penduduk tahun 2000 mencapai 47,8 persen dari seluruh penduduk. Adapun tiga etnis lainnya merupakan penduduk asli Kaltim. Etnis Banjar jumlahnya berkisar 14 persen, sementara Kutai dan Dayak masing-masing berada di kisaran 10 persen dari jumlah penduduk Kaltim.

Menurut pengamat kebudayaan Dayak, Roedy Haryo Widjono AMZ, penduduk asli Kaltim adalah Proto Melayu (Melayu Tua) dan Deutro Melayu (Melayu Muda). Melayu Tua diwakili oleh orang-orang Dayak yang mendiami pedalaman, sedangkan Melayu Muda adalah etnis Bulungan, Tidung, Berau, Bayau, dan Kutai yang mendiami daerah sepanjang tepi sungai dan pesisir pantai.

Dinamika etnisitas di Kaltim oleh pengamat sosial Universitas Mulawarman Sarosa Hamongpranoto dilihat berdasarkan wilayah sebaran tiap-tiap etnis, yaitu perkotaan, pedesaan, dan perbatasan. Masyarakat perkotaan terbagi lagi berdasarkan pekerjaan, antara lain pedagang, PNS/birokrat, dan pekerja informal, sedangkan masyarakat pedesaan terdiri dari masyarakat pedalaman dan pesisir. Selebihnya, masyarakat perbatasan, yaitu masyarakat yang menempati daerah transisi antara negara Indonesia dan Malaysia.

Etnis yang mendiami daerah perkotaan didominasi oleh Banjar, Kutai, dan Bugis. Orang Banjar dan Kutai banyak bergerak di bidang perdagangan dan memegang jabatan publik, orang Bugis menguasai perdagangan antarpulau, dan transportasi air, sedangkan Jawa banyak bergerak dalam pekerjaan informal.

Daerah pedalaman masih banyak dihuni oleh orang-orang Dayak dan sebagian orang Kutai, sementara daerah pesisir banyak dihuni oleh orang-orang Bugis yang berprofesi sebagai nelayan. Daerah perbatasan kebanyakan ditempati oleh orang-orang pendatang dari Jawa, Sulawesi, Timor, dan Flores.

Kepentingan elite lokal

Dalam rentang waktu lebih dari setengah abad sejak pemilu pertama pada tahun 1955, partai-partai dengan warna nasionalisme lebih unggul di banding partai dengan warna lain di Kalimantan Timur. Keunggulan tersebut, salah satunya, karena sejarah politik di Kaltim dimulai oleh kaum pergerakan nasional.

Etnis Banjar dipandang turut berperan dalam membangun kesadaran politik dan mengembangkan gerakan politik di Kota Samarinda dan Kota Balikpapan. Pada zaman sebelum kemerdekaan, gerakan etnis Banjar terorganisasi lewat Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI), sebuah wadah perjuangan rakyat yang memiliki tujuan untuk menyingkirkan Belanda dari Kalimantan.

Seiring perjalanan waktu, pengorganisasian gerakan politik lebih diarahkan untuk memperjuangkan status Kaltim sebagai daerah otonom.

Puncak dari perjuangan etnis Banjar tersebut, menurut Burhan Magenda (East Kalimantan: Decline of Commercial Aristocracy, 1991), adalah dengan didirikannya Partai Nasional Indonesia (PNI) cabang Kaltim pada tahun 1950. Bagi etnis Banjar, perjuangan melalui partai kemudian diarahkan untuk menguasai jabatan-jabatan strategis di pemerintahan lokal, sekaligus mengimbangi dominasi orang- orang Kutai.

Pascaberdirinya PNI, peta politik di Kaltim diwarnai oleh keragaman partai dengan konfigurasi etnis yang terbagi ke dalam faksi-faksi yang lebih kecil. Persaingan politik tidak saja terjadi secara institusi, tetapi juga secara faksional dengan sentimen etnis, geografis, dan kepentingan.

PNI didominasi oleh faksi pejuang BPRI—beretnis Banjar—di Samarinda yang memiliki garis politik nasionalis, sedangkan faksi pejuang di Balikpapan mayoritas mendominasi Partai Murba. Selain itu, faksi pejuang yang berasal dari kedua kota tersebut juga menyokong Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Partai NU dan Masyumi relatif solid karena partai ini dibentuk dari komunitas-komunitas lokal yang terlibat dalam aktivitas keagamaan. Dukungan terhadap keduanya berasal dari kelompok-kelompok pengajian yang diorganisasikan oleh kalangan NU dan Muhammadiyah. Kepemimpinan kedua partai tersebut di sini berada di tangan ulama lokal dan para pemimpin komunitas Banjar yang simpati terhadap partai Islam.

Sebaliknya, para tokoh Kutai juga mengorganisasi aspirasi politik mereka dan banyak menyalurkan aspirasinya kepada Partai Indonesia Raya (PIR) dan Masyumi. Mayoritas tokoh Kutai lebih simpati pada PIR karena partai ini disokong oleh tokoh aristokrat Kutai dan memiliki tujuan mengembalikan para aristokrat kepada jabatan-jabatan di pemerintahan, sedangkan Masyumi relatif moderat dan mampu menjembatani perbedaan kepentingan etnis Banjar dan Kutai.

Hasil Pemilu 1955 memberikan kekuasaan yang lebih luas kepada etnis Banjar-Samarinda. Ketika Muis Hassan menjadi Gubernur Kaltim, dia berhasil ”mem-PNI-kan” birokrasi di Kaltim, mulai dari tingkat provinsi hingga kecamatan. Langkah tersebut memberi kesempatan kepada etnis Banjar untuk masuk ke dalam pemerintahan.

Dalam waktu yang relatif singkat, Muis Hassan telah menempatkan orang-orang Banjar ke dalam birokrasi Kaltim yang sebelumnya banyak dikuasai oleh orang-orang Kutai. Sumber daya kekuasaan yang ada pada jabatan-jabatan birokrasi pun kemudian bergeser kepada elite-elite Banjar.

PNI mengendalikan birokrasi Kaltim sampai tahun 1965 seiring dengan jatuhnya pamor Presiden Soekarno. Namun, sebelum tahun 1965 kekuatan PNI di birokrasi mulai digerogoti oleh perwira-perwira TNI dari etnis Jawa yang dimasukkan ke dalam birokrasi sebagai bupati dan wali kota. Langkah ini untuk mengurangi kekuatan PNI yang dipandang telah mencengkeram semua lini pemerintahan di Kaltim

Ketika PNI jatuh, sebagian etnis Banjar masih menguasai birokrasi. Di bawah bayang-bayang kekuasaan militer, elite-elite dari etnis Kutai dan Dayak mulai mencoba untuk bangkit melawan dominasi etnis Banjar. Salah satunya adalah dengan mendukung Golkar untuk melumpuhkan kekuatan PNI di daerah pedalaman pada Pemilu 1971.

Hasilnya, dalam Pemilu 1971 PNI kalah telak dari Golkar. Elite Kutai dan Dayak yang mendukung Golkar mendapat keuntungan dari kemenangan tersebut. Sebaliknya, elite-elite Banjar banyak yang dipinggirkan karena dianggap sebagai pendukung PNI.

Masa-masa awal konsolidasi kekuatan Orde Baru ditandai dengan sentimen anti-Orde Baru dengan segala unsurnya, terutama Soekarno dan PNI. Agar bisa kembali berkuasa, atribut PNI harus ditinggalkan dan menggantinya dengan atribut lain yang bisa memberi kemungkinan untuk kembali ke tampuk kekuasaan.

Dalam masa sulit tersebut muncul dua kelompok dalam elite Banjar untuk masuk ke dalam pertarungan politik. Kelompok pertama adalah kelompok pendukung PPP untuk melawan dominasi perwira-perwira Jawa dan Golkar dalam birokrasi. Kelompok kedua adalah intelektual muda yang sejak tahun 1970-an sudah bekerja sebagai pegawai negeri dan menjadi bagian dari birokrasi dan Golkar. Dari kelompok ini lahir tokoh Banjar HM Ardans yang kemudian menjadi Gubernur Kaltim pada tahun 1988-1998. (SULTANI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar