Kamis, 19 Februari 2009

Heterogenitas yang Statis

OLEH SUWARDIMAN

POTRET politik di Kalimantan sejak pelaksanaan Pemilu 1971 hingga Pemilu 2004 cenderung statis. Dinamika politik yang penuh warna pada Pemilu 1955 tidak lagi muncul meskipun rezim multipartai kembali hadir. Pascareformasi, Partai Golkar tetap menjadi kekuatan yang relatif mendominasi wajah politik Kalimantan.

Dominasi kekuatan partai berlambang pohon beringin itu tetap bertahan, bahkan ketika gegar anti-Orde Baru berlangsung pada Pemilu 1999. PDI-P yang unggul secara nasional dengan pencitraan Megawati Soekarnoputri sebagai simbol perlawanan terhadap Orde Baru hanya mampu menggeser kekuatan Golkar di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Sementara di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, Golkar tetap unggul— meskipun tipis—dari PDI-P.

Pada Pemilu 2004, Golkar kembali bangkit dan menang di semua provinsi di Kalimantan. Kecuali di Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur, perolehan Partai Golkar cukup signifikan dibandingkan partai peserta pemilu lain.

Dibandingkan daerah lain di Kalimantan, warna dinamika politik yang cenderung berbeda adalah Kalimantan Selatan. Di wilayah ini, dominasi partai sekuler tak mampu bertahan lama. Wilayah ini menjadi satu-satunya provinsi di Kalimantan yang membuka ruang bagi kekuatan partai selain partai nasionalis. Di Kalsel ini pula, PDI-P sama sekali tidak sukses meraup kemenangan di satu daerah pun.

Jika melihat karakteristik penduduk, Kalsel memang berbeda dari saudaranya yang lain. Di wilayah itu, komposisi penduduk sangat kuat didominasi Melayu Banjar. Menurut sensus penduduk terakhir (2000), sebanyak 76 persen penduduk Kalsel beretnis Melayu Banjar dan disusul oleh orang Jawa yang jumlahnya 13,15 persen dari sekitar 3 juta penduduk di provinsi tersebut.

Karakteristik penduduk di tiga provinsi lain cenderung heterogen. Tidak ada etnis tertentu yang mendominasi secara signifikan. Di Kalimantan Barat, keragaman etnis tampak dari proporsi penduduk yang cenderung merata di antara tujuh etnis terbesar. Di provinsi itu berserak suku Sambas, Tionghoa, Jawa, Kendayan, Melayu Pontianak, Darat, dan Madura dalam rentang jumlah 5-11 persen.

Demikian juga pola demografis di Kalimantan Timur. Di provinsi ini bahkan dua suku terbanyak adalah suku pendatang, yakni Jawa dan Bugis. Karakteristik seperti ini yang boleh jadi membentuk cenderung seragamnya wajah politik di wilayah tersebut.

Titik balik

Perubahan dinamika politik di Kalimantan terjadi pada saat Orde Baru berkuasa. Pertarungan politik yang kuat dengan semangat etnisitas dan keagamaan pada Pemilu 1955 bergeser pada dominasi kekuatan partai-partai nasionalis.

Jika membaca peta politik pada periode awal pascakemerdekaan, tampak nuansa politik identitas dominan dalam pertarungan politik. Dua partai politik yang sukses menempati posisi teratas adalah parpol berbasis Islam, Masyumi dan Partai Nahdlatul Ulama. Kedua partai tersebut memiliki basis kekuatan yang cenderung sama kuat. Masyumi mendapat 32 persen suara, sementara Partai NU berhasil meraup 31,23 persen suara.

Dinamika berbeda yang mewarnai pelaksanaan Pemilu 1955 di Kalimantan adalah lahirnya sebuah partai lokal yang mampu bersaing dengan parpol nasional, yaitu Partai Persatuan Daya (PPD). Partai ini berhasil menunjukkan dirinya sebagai partai berbasis massa cukup kuat di Kalimantan.

Basis kekuatan terbesar PPD adalah di Provinsi Kalimantan Barat. Di provinsi itu, PPD mendulang 31,3 persen suara, kalah tipis dari Masyumi yang berhasil merebut 33,3 persen suara. Lima tahun kemudian, PPD sukses mendudukkan Oevaang Oeray menjadi Gubernur Dayak pertama di Kalimantan Barat pada 1 Januari 1960.

Memasuki masa Orde Baru, pertarungan kekuatan politik di Kalimantan bergerak statis. Pasca-Pemilu 1971, peta kekuatan politik pun secara merata bergeser pada dominasi Golkar. Sebagai partai milik penguasa Orde Baru, Golkar berhasil mengakar demikian kuat.

Pada Pemilu 1971, sebelum fusi partai, Golkar berhasil meraup 1,5 juta suara atau 66,46 persen di seluruh Kalimantan. Kekuatan suara terbesar Golkar saat itu terpusat di Kalimantan Tengah dengan perolehan 81,4 persen suara. Kecenderungan statisnya dinamika politik di Kalimantan, yang menempatkan partai nasionalis sebagai kekuatan dominan, berlanjut terus hingga rezim pemilihan langsung pada Pemilu 2004.

Fenomena yang sedikit berbeda hanya terjadi di Kalimantan Selatan. Pasca-Pemilu 1955 sisa- sisa kekuatan partai berbasis Islam masih mampu bertahan di kawasan itu.

Di wilayah selatan Kalimantan ini, basis massa partai-partai Islam masih berakar cukup kuat. Pada Pemilu 1971, Partai Nahdlatul Ulama masih dapat menunjukkan kekuatannya dengan meraup 26,5 persen di Kalsel dan 17,86 persen suara di seluruh Kalimantan. Selain Partai NU, Partai Muslimin Indonesia juga berhasil meraih 6,5 persen di Kalsel dan 6 persen dari 2,3 juta suara sah di seluruh Kalimantan.

Pilkada dan Pemilu 2009

Potret politik pada pelaksanaan pemilu nasional tidak jauh berbeda dengan potret politik lokal saat pelaksanaan pilkada langsung. Golkar tetap mendominasi pertarungan politik lokal. Di delapan daerah, Partai Golkar bahkan dengan percaya diri menjadi pengusung tunggal dan sukses mengantarkan calonnya menuju kursi kekuasaan tertinggi di daerah.

Basis solid Partai Golkar di antaranya di tiga daerah Kaltim (Kutai Kartanegara, Berau, dan Penajam Paser Utara), dua di Kalteng (Barito Selatan dan Sukamara), dan tiga lainnya di Kalbar (Sanggau, Ketapang, dan Kapuas Hulu). Di delapan daerah itu Golkar secara konsisten memegang basis massanya dan memenangi pemilu sejak Pemilu 1971.

Menyambut Pemilu 2009 yang akan memperebutkan 9,47 juta pemilih di seluruh Kalimantan, dinamika politik sangat mungkin berubah. Selama ini parpol memang memiliki kekuatan absolut dalam proses rekrutmen elite yang akan duduk di kursi kekuasaan.

Dengan lahirnya keputusan Mahkamah Agung soal suara terbanyak, sudah pasti akan mengurangi peran parpol dalam menentukan kadernya untuk duduk di kursi legislatif. Evaluasi pemilih lebih tertuju pada sosok calon anggota legislatif ketimbang partai itu sendiri. Dengan demikian, faktor popularitas caleg menjadi sama pentingnya dengan kekuatan basis partai.

Situasi ini lebih kurang selaras dengan situasi pada pemilihan kepala daerah langsung. Dua entitas, antara calon dan partai, menjadi ukuran-ukuran yang perlu dipertimbangkan matang.

Perubahan atmosfer politik seperti ini tampaknya juga sudah disiasati oleh parpol di Kalimantan. Ini tampak dari strategi Partai Golkar yang di atas kertas memiliki basis massa yang cenderung merata di seluruh bagian Kalimantan, tetapi hanya menang sebagai pengusung tunggal di delapan daerah.

Hasil pemilihan gubernur di Kalimantan Timur adalah fenomena nyata. Pada pilkada yang berlangsung dua putaran tersebut, pasangan Awang Farouk-Farid Wadjdy yang diusung koalisi 14 partai (antara lain PPP, PAN, dan Demokrat) unggul dari pasangan Achmad Amins-Hadi Mulyadi yang diusung PKS, PKB, PDK, Partai Pelopor, dan Partai Patriot Pancasila. Pada putaran kedua itu bahkan Amins-Hadi didukung oleh dua partai besar, Partai Golkar dan PDI-P.

Bukti lain yang paling nyata adalah Golkar, partai terkuat yang konsisten menguasai suara di seluruh Kalimantan, tidak sukses mengusung satu pun calonnya dalam pemilihan gubernur di empat provinsi di Kalimantan.

Melihat konfigurasi politik terbaru di zaman desentralisasi politik, semua kemungkinan bisa saja terjadi. Kekuatan parpol pun harus bersaing dengan popularitas dan kualitas caleg. Jelang Pemilu 2009 ini, parpol besar mesti cermat betul membaca dan menyusun strategi pemenangan di Pulau Borneo itu.

(SUWARDIMAN/ Litbang KOMPAS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar