Kamis, 19 Februari 2009

Dua Kultur di Tiga Kawasan

MEMAHAMI Sulut tak akan lepas dari keberadaan tiga wilayah budaya yang membentuk karakter masyarakatnya. Nasrun Sandiah, antropolog dari Universitas Sam Ratulangi, memilah ketiga wilayah budaya tersebut ke dalam tiga suku bangsa yang mendiami Kepulauan Sangihe dan Talaud, Bolaang Mongondow, dan Minahasa.

Dari ketiga wilayah budaya tersebut, masyarakat di Kepulauan Sangihe dan Talaud dan Bolaang Mongondow mempunyai akar sejarah yang panjang dalam bentukan kerajaan. Catatan sejarah menunjukkan, sebelum tahun 1500 Kerajaan Tabukan, Bohontehu, Kendahe, Tahuna, Manganitu, Siau, dan Tagulandang, tumbuh di sepanjang Kepulauan Sangihe dan Talaud.
Sementara di wilayah Bolaang Mongondow, terdapat Kerajaan Bolaan Uki, Kaidipang, Bintauna, Suwawa, dan Bone. ”Kerajaan-kerajaan di Bolaang Mongondow umumnya penganut Islam dan kerajaan di Sangihe dan Talaud penganut Kristen atau Katolik,” kata Nasrun.

Karakter khas yang melekat di wilayah-wilayah kerajaan juga tampak di kedua wilayah budaya ini. Sifat paternalis maupun kepatuhan yang kuat terhadap pemimpin, misalnya, menjadi karakter masyarakat. ”Kalau pemimpin itu bilang apa, itu akan sampai ke bawah,” ungkap Nasrun. Kondisi demikian tak terhindarkan munculnya pengkultusan terhadap pemimpin sebagaimana di Bolaang Mongondow. ”Bupati masih dikultuskan sampai saat ini,” imbuh Nasrun.

Berbeda di wilayah kerajaan, berbeda pula karakter di wilayah yang tidak dijumpai kerajaan. Minahasa dalam sejarahnya tidak pernah mengenal sistem kerajaan.

Masyarakat di kawasan ini terhimpun dalam walak yang merupakan sebuah komunitas sosial masyarakat tradisional terdiri atas kumpulan beberapa permukiman. Dengan tidak adanya raja atau pemimpin yang harus dihormati dan dianuti masyarakat, menurut Schouten dalam Leadership and Social Mobility in a South Asia Society: Minahasa 1677-1983, hubungan sosial masyarakat Minahasa umumnya didasarkan pada sikap kompetitif dan egaliter.

Di sisi lain, status ekonomi seseorang merupakan faktor yang esensial dalam menentukan status sosial dan politik orang tersebut. Dalam budaya Minahasa, kondisi demikian ditunjukkan oleh kemampuan menggelar pesta besar (JAT Schwarz, 1907). Seseorang dikatakan ”kaya” apabila dia bisa menggelar pesta besar.

Pesta merupakan ekspresi dari showing and sharing. Hal semacam ini pula terkait dalam memilih figur para pemimpin. Pemimpin kerap terpilih dari mereka yang mempunyai kemampuan menyejahterakan atau membuat pengikutnya hidup lebih baik.

Selain faktor budaya, kecenderungan bersikap rasional masyarakat Minahasa ditunjang pula dengan tingginya mobilitas dan tingkat pendidikan mereka. Pendidikan menjadi salah satu program zending pada tahun 1820 dalam kaitan penyebaran agama Kristen di Indonesia (Enklaar, 1963). Sebagai gambaran, tahun 1860 tak kurang sudah ada 150 sekolah yang dibangun di lebih dari 300 desa di Minahasa. Pendidikan semakin berkembang di Minahasa, yang dengan sendirinya membentuk pembedaan karakter masyarakatnya. Pada gilirannya, karakter semacam ini pula yang langsung ataupun tidak langsung memengaruhi wajah politik Pemilu 2009 mendatang.

sumber : kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar