Kamis, 19 Februari 2009

Percikan Kekuatan di Lahan Beringin

OLEH SULTANI

DOMINASI Golkar di Kalimantan Timur telah berlangsung sejak Pemilu 1971. Kini, selain kesetiaan pada partai, faktor kemampuan individu juga memiliki peran yang cukup menonjol terhadap preferensi pemilih di Kaltim. Akankah sistem suara terbanyak menjadi percikan kekuatan yang mampu mengubah wajah partai berlambang beringin dalam Pemilu 2009 nanti?

Penguasaan politik oleh Golkar yang didukung pemerintah pusat, TNI, dan birokrasi di Kaltim sudah tampak pada pemilu pertama di zaman Orde Baru. Dalam Pemilu 1971 Golkar menguasai 54,8 persen suara. Suara untuk partai ini terus naik dan pada pemilu terakhir masa Orde Baru, 1997, partai ini menguasai 70 persen suara.

Pada pemilu masa reformasi, Golkar juga tetap bisa mempertahankan dominasinya atas partai-partai lain dengan menjadi pemenang Pemilu 1999 dan 2004. Dalam pemilu terakhir tersebut, Golkar tetap unggul dari rival lamanya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bahkan, Golkar mampu menang di 11 kabupaten/kota, sementara PDI-P hanya menang di Kabupaten Malinau dan Kutai Barat.

Tetap eksisnya tiga partai lama, Golkar, PDI-P, dan PPP, mengingatkan konstelasi dan struktur politik zaman Orde Baru. Hal ini tidak berlebihan karena ketiga partai ini memiliki akar geneologis yang kuat sejak Pemilu 1977.

Ketiga partai tersebut juga dominan dalam penguasaan kemenangan dalam pilkada. Jika ditelisik, kemenangan dari tiga partai tersebut dalam pilkada disokong oleh daerah-daerah yang menjadi basis massa mereka pada pemilu sebelumnya. Kutai Kartanegara merupakan basis terbesar Golkar di Kaltim. Pendukung Golkar di Kabupaten Kutai Kartanegara terbilang solid sehingga dalam pemilihan bupati, calon yang diusung Partai Golkar, Syaukani HR, berhasil meraup suara hingga 60 persen lebih.

Selain Kutai Kartanegara, Golkar juga solid di Kota Samarinda, Bontang, dan Berau. Di ketiga kabupaten/kota itu Golkar berhasil menjadi pemenang pemilu dan pilkada sekaligus. Di Kota Tarakan dan Kabupaten Malinau posisi Golkar terbilang rapuh, kemenangan Golkar di kedua kabupaten itu diperoleh melalui koalisi dengan partai lain. Padahal, Pemilu 2004 Golkar tampil sebagai pemenang di sana.

Kemerosotan popularitas PDI- P dalam Pemilu 2004 membuat Kota Samarinda dan Kota Balikpapan yang menjadi basis massa partai ini sejak zaman PNI berpindah ke Golkar.

Di kota-kota tersebut PDI-P hanya bisa menempati posisi kedua dan ketiga dengan selisih suara yang signifikan. Posisi tersebut membuat PDI-P sebagai partai yang rapuh di Kaltim. Selain kalah di pemilu legislatif, partai berlambang banteng moncong putih ini juga banyak mengalami kekalahan dalam pilkada. Hanya empat pilkada yang bisa dimenangi PDI-P, yaitu di Kutai Barat, Malinau, Kota Balikpapan, dan Kota Tarakan. Kemenangan tersebut pun diperoleh dengan koalisi.

Sementara itu, kehadiran Partai Keadilan Sejahtera (PKS) turut memberi warna pada peta politik Kaltim, bahkan dalam Pemilu 2004 menggeser posisi PPP ke urutan keempat. PKS sebagai pendatang baru memiliki daya tarik tersendiri bagi pemilih di Kaltim, terutama di Kota Samarinda dan Kota Balikpapan. Meskipun tidak menang, dukungan terbanyak partai ini didapatkan di dua kota ini. Boleh jadi, dukungan pada partai ini mencerminkan kerinduan masyarakat Kaltim terhadap Masyumi, satu- satunya partai Islam yang bisa menyaingi kekuatan PNI di sana pada Pemilu 1955.

PPP, meskipun di posisi ketiga, relatif lebih solid dalam menjaga pemilih-pemilih tradisionalnya. PPP sebagai kristalisasi partai- partai Islam memang tidak memiliki daerah basis massa utama sejak Pemilu 1977. Namun, partai ini bisa mempertahankan pemilih-pemilih tradisionalnya di tengah munculnya partai-partai Islam yang baru.

Pemilu 2004 membuktikan bahwa PPP hanya bisa mengumpulkan suara terbanyaknya di Kota Samarinda dan Kota Balikpapan. Meski demikian, penampilan PPP dalam pilkada tidak terlalu jelek. Pasalnya, partai berlambang Kabah ini mampu memenangi pilkada di Kabupaten Pasir tanpa koalisi. Selain di Pasir, PPP juga menang di Malinau meski lewat koalisi.

Pemilu 2004 juga mengangkat nama Partai Demokrat sebagai pendatang baru. Partai ini meraih suara besar di Kota Samarinda dan Kota Balikpapan, sama seperti Partai Amanat Nasional (PAN).

Pemilu 2009

Pemilu 2009 akan memperebutkan 2.301.043 pemilih di Kaltim.

Konsentrasi terbesar pemilih ada di Kota Samarinda, Kota Balikpapan dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Di tiga wilayah ini tercakup 54 persen suara pemilih dari keseluruhan 14 kabupaten/ kota sehingga akan menjadi daerah perebutan pengaruh yang paling menentukan.

Faktor etnisitas bisa jadi juga menjadi sesuatu yang berpengaruh. Namun, sistem pemilu yang menggunakan sistem suara terbanyak dalam menentukan pemenang diduga akan berpengaruh pada peta kekuatan partai politik. Di bawah sistem yang baru ini faktor figur calon akan lebih menentukan ketimbang citra parpol.

Menurut pengamat sosial Universitas Mulawarman Sarosa Hamongpranoto, ”Masyarakat di Kaltim lebih tertarik pada figur karena pengalaman mereka dalam pilkada. Faktor citra caleg menjadi hal yang sangat penting karena masyarakat menginginkan pemimpin mereka adalah orang-orang yang baik.”

Selain itu, loyalitas pemilih kepada tokoh yang bersifat paternalistik cenderung mulai ditinggalkan. Masyarakat mulai rasional, dalam arti mereka akan memilih pemimpin mereka kalau pemimpin tersebut mereka kenal, bisa dipercaya, dan membawa manfaat secara langsung untuk mereka. ”Kalau punya kriteria itu, boleh jadi calon itulah yang akan dipilih oleh masyarakat,” ujar Sarosa. (SULTANI/Litbang KOMPAS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar