Kamis, 19 Februari 2009

Menguak Celah Baru Penguasaan Politik

Oleh Anung Wendyartaka

SEBAGAIMANA halnya warna politik umumnya di provinsi-provinsi Sulawesi, Provinsi Sulawesi Utara juga menjadi basis kekuatan Golkar dalam setiap ajang pemilu. Namun, dalam Pemilu 2009 dominasi beringin mulai terusik.

Fakta menunjukkan, penguasaan Golkar sedemikian mengakar di wilayah yang kini berpenduduk sekitar 2 juta jiwa ini. Semenjak pemilu pertama pada era Orde Baru hingga pemilu terakhir, peta politik Sulut seakan tak berubah. Sebelum wilayah barat provinsi ini dimekarkan menjadi Provinsi Gorontalo ataupun setelah pemekaran tersebut, wilayah ini tetap menjadi kantong suara Golkar.

Memang Sulut layak disebut sebagai basis Golkar. Saat Pemilu 1971 digelar Golkar telah mengukuhkan dirinya sebagai pemenang mayoritas dengan meraup sekitar dua pertiga bagian suara (69 persen). Berbagai ajang kontestasi politik selanjutnya pun kerap bertutur semakin mengakarnya beringin di wilayah ini. Bahkan, pada pemilu terakhir pada era Orde Baru, Pemilu 1997, suara yang terdulang tergolong fantastis: 96 persen!

Sedemikian kokohnya benteng nasionalis Golkar yang terbangun pada kurun waktu tersebut seakan juga menutup lembaran politik masa lampau yang menggambarkan begitu dinamisnya persaingan antarkekuatan ideologi politik di Bumi Kawanua.

Ajang perebutan suara Pemilu 1955 menjadi saksi. Saat itu, Sulut terbagi menjadi dua wilayah yang menjadi basis kekuatan politik berbeda berdasarkan karakter keagamaan yang melekat pada penduduk setempat.

Di satu sisi, wilayah barat Sulut, khususnya Bolaang Mongondow, dengan mayoritas penduduk beragama Islam, partai-partai bercorak keislaman, seperti Masyumi, mampu berkuasa menjadi pemenang perebutan suara. Sebaliknya, sebelah timur Sulut, baik Minahasa, Manado, dan kawasan Kepulauan Sangihe dan Talaud yang berpenduduk mayoritas Kristen, menjadi lahan tersubur bagi Partai Kristen Indonesia (Parkindo).

Di antara tarik-menarik kekuatan politik antardua partai bercorak keagamaan yang berbeda, kekuatan politik nasionalis PNI menjadi penyeimbang di kedua kawasan. Kondisi semacam ini cukup menguntungkan bagi PNI. Di tengah kuatnya persaingan antarkekuatan politik berbasis keagamaan, partai ini mampu menjadi pemenang kedua perolehan suara keseluruhan Sulut setelah Parkindo.

Awal kerapuhan

Saat Golkar berkuasa, persaingan dua kekuataan bercorak keagamaan berakhir. Kendati partai-partai Islam yang berfusi ke PPP masih menduduki posisi kedua setelah Golkar di Bolaang Mongondow dan partai-partai Kristen yang berfusi dengan partai-partai nasionalis ke dalam PDI menduduki posisi kedua di wilayah Minahasa serta Sangihe dan Talaud, terpaut selisih suara yang sangat besar dengan Golkar.

Betapapun kuatnya benteng yang terbangun, celah kerapuhan mulai tampak. Memang, fakta masih menunjukkan dominasi penguasaan beringin di Sulut. Namun, fakta yang sama juga menunjukkan mulai menyusutnya perolehan suara Golkar dari waktu ke waktu. Memasuki era reformasi, misalnya, tatkala pemilu multipartai 1999 digelar, menjadi titik awal pudarnya pengaruh. Perolehan suara Golkar turun drastis di Sulut hingga tinggal 44 persen. Beruntung bagi Golkar, pada saat perolehan suara nasional Golkar amat terpuruk, Sulut masih tergolong loyal dan menempatkan partai ini tetap sebagai pemenang di wilayahnya.

Parahnya, pemilu selanjutnya pada saat Golkar kembali menguasai panggung politik nasional, justru grafik penurunan persentase perolehan suara partai ini di Sulut berlanjut. Pemilu 2004, perolehan suara Golkar tinggal sekitar 32 persen. Memang, penurunan dalam proporsi tidak berarti kekalahan total partai ini. Dari sembilan kabupaten dan kota, Golkar masih mampu menguasai tujuh wilayah.

Penurunan ini pun sangat mungkin dipengaruhi pemisahan Kabupaten Gorontalo, basis Golkar dari Sulut, menjadi Provinsi Gorontalo. Namun, fenomena kemunculan partai-partai baru pada Pemilu 2004 turut menjadi penyebab tergerusnya pengaruh Golkar. Partai Damai Sejahtera (PDS) dan Partai Demokrat, misalnya, dua partai baru yang langsung menyodok di urutan ketiga dan keempat perolehan suara di Sulut, masing-masing sekitar 15 persen dan 14 persen. Di Kota Manado, Demokrat bahkan mampu menjadi pemenang.

Menyusutnya pengaruh Golkar dengan sendirinya mulai mengubah konfigurasi penguasaan suara. Menariknya, kondisi demikian seakan mengingatkan kembali lembaran politik masa lampau. Pudarnya pengaruh Golkar lebih kentara di wilayah timur Sulut, seperti sebagian Minahasa, Manado, Tomohon, dan Bitung, yang notabene merupakan wilayah mayoritas Kristen.

Di wilayah ini pula partai bercorak kekristenan, seperti PDS, meraih suara cukup signifikan. Namun, kondisi yang sama tidak terjadi di wilayah Bolaang Mongondow, di mana Golkar masih terlampau kuat. Sekalipun mayoritas Islam, partai-partai bercorak keislaman belum mampu menandingi pengaruh Golkar di kawasan ini.

Menuju Pemilu 2009

Susutnya perolehan suara tidak juga otomatis mencerminkan bakal terpuruknya Golkar dalam ajang Pemilu 2009 ini. Dengan menggabungkan antara hasil kontestasi Pemilu 2004 dan kontestasi lokal pilkada menunjukkan, dari 13 kabupaten dan kota, tercatat lima kabupaten yang masih tergolong solid dalam penguasaan partai ini.

Pengamat politik setempat, Donald Rumokoy, juga memaparkan masih kuatnya penguasaan Partai Golkar di Sulut. Namun, ia memperkirakan, perolehan suaranya tidak setinggi masa-masa lampau. Rumokoy yang Rektor Universitas Sam Ratulangi Manado ini memandang berbagai ancaman tengah dihadapi partai ini.

Tak hanya dari PDI-P, Partai Demokrat, ataupun PDS, tapi juga dari partai baru, seperti Hati Nurani Rakyat, Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Barisan Nasional (Barnas). Kuncinya dengan menampilkan sosok yang lebih dikenal secara positif oleh masyarakat. ”Partai-partai lain dengan figur-figur yang tidak asing di masyarakat akan mengganggu partai yang sudah mapan,” papar Rumokoy.

Penerapan sistem suara terbanyak dalam menentukan caleg terpilih diakui membuat hasil Pemilu Legislatif 2009 di Sulut menjadi sulit diprediksi. Masing-masing partai berlomba-lomba mencalonkan figur-figur yang diperkirakan mampu menarik suara masyarakat. Apalagi, kultur paternalistik masyarakat masih kuat mengakar di sebagian wilayah Sulut, semakin menguatkan besarnya peran sosok.

Ajang kontestasi lokal pilkada sedikitnya menyingkap fenomena demikian. Bukan sesuatu yang mengherankan apabila pasangan kepala daerah incumbent yang notabene merupakan kader Golkar menang dalam pilkada di wilayah-wilayah tersebut. ”Di daerah dengan tradisi dan sifat paternalistiknya masih kuat, seperti di Bolaang Mongondow serta Sangihe dan Talaud, figur leader formal, seperti bupati maupun wali kota dan penguasaan jajaran birokrasi, masih faktor penentu untuk mendulang suara,” kata Rumokoy.

Namun, berbeda di mana karakter masyarakatnya cenderung egaliter. Dinamika politik di daerah semacam ini relatif dinamis. Di beberapa wilayah, seperti Kabupaten Minahasa Utara, Kota Tomohon, dan Kota Bitung, misalnya, pemenang pilkadanya justru diusung oleh partai-partai yang tergolong kecil dan mempunyai latar belakang sebagai pengusaha, bukan birokrasi. Konfigurasi politik semacam inilah yang mewarnai perjalanan politik Sulut saat ini. Tidak tertutup kemungkinan, geliat politik yang semakin dinamis akan mengubah peta politik selama ini.

sumber :(Anung Wendyartaka/ Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar