Kamis, 19 Februari 2009

Melayu-Riau, Melayu-Bugis

MASYARAKAT di Kepulauan Riau, khususnya melayu, cenderung berkarakter terbuka. Hal ini tampak dari bagaimana masyarakat di wilayah kepulauan ini bisa berbaur dengan keragaman etnis yang ada. Sejarah masyarakat Kepulauan Riau memang dimulai sekaligus dibangun dari sebuah perbauran dua etnis, Melayu dan Bugis.

Maka, pendikotomian Melayu-Bugis dalam konteks Kepulauan Riau menjadi tidak relevan lagi dalam konteks saat ini. Titik mula persatuan dua suku ini adalah persatuan yang ditetapkan oleh puak Melayu dan Bugis yang datang dari Sulawesi dan membentuk sebuah kerajaan baru pada tahun 1772.

Sita Rohana, peneliti di Balai Pelestarian Sejarah Kepulauan Riau, menjelaskan bahwa kelompok Bugis di Riau yang sudah ada sejak masa periode kesultanan sudah tidak lagi bisa dibilang Bugis, tetapi Melayu. Identifikasi Bugis-Melayu hanya bisa dilakukan terhadap kelas bangsawan melalui gelar yang menempel pada namanya.

”Kelompok masyarakat keturunan Bugis yang sudah ada sejak periode kesultanan lebih banyak yang sudah mengidentifikasi dirinya sebagai Melayu,” kata Sita Rohana.

Etnis melayu merupakan etnis dominan di Kepulauan Riau. Menurut sensus penduduk terakhir, penduduk bersuku Melayu Riau berjumlah sekitar 310.000 jiwa, sementara suku Jawa yang banyak terdapat di Batam dan Tanjung Pinang berjumlah sekitar 220.000 jiwa. Komposisi penduduk etnis Tionghoa juga signifikan, mencapai hampir 10 persen dari total penduduk.

Semangat lokalitas juga menjadi faktor yang turut mewarnai atmosfer politik di Kepulauan Riau. Seperti diungkapkan oleh sejarawan Aswandi Syahri, apa pun yang dibuat di Kepulauan Riau ”ruh”-nya adalah semangat Melayu. Simbol-simbol kemelayuan sering kali digunakan dalam kontestasi politik di Kepulauan Riau.

Saat pemilihan gubernur tiga tahun lalu, misalnya, pasangan Ismeth Abdullah-M Sani mengangkat nilai adat Melayu dalam berbagai cara dalam kampanye. Salah satunya adalah dengan mengangkat dan mengagungkan Pulau Penyengat sebagai salah satu pusat terakhir Kerajaan Riau.

Dalam pendekatan politik identitas, keterkaitan antara karakteristik etnis dan perilaku politik suatu masyarakat merupakan suatu keniscayaan. AP Cohen (Boundaries and Boundary-Conciuousness: Politizing Cultural Identity, 1998) menjelaskan kedekatan etnis, dalam kondisi tertentu, sering kali berpengaruh kuat terhadap ekspresi politik.

Sentimen kedaerahan dan simbol-simbol identitas kelompok masyarakat (seperti etnis dan agama) tak jarang digunakan sebagai alat untuk membangun kekuatan politik. (Suwardiman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar