Kamis, 19 Februari 2009

"Politik Tempatan" Mendikte Kemenangan

DARI pemilu ke pemilu, Riau bagaikan sebuah ”oase” dukungan politik bagi Partai Golkar. Kemenangan demi kemenangan diraih partai beringin ini dalam pemilu. Namun, pertarungan politik lokal dalam pilkada bisa jadi mengubah konstelasi kekuatan politik dominan.

Riau daratan menyimpan catatan mengesankan bagi Partai Golkar. Di provinsi ini, partai beringin berdiri kokoh selama berpuluh tahun. Berkali- kali pemilu dilakukan, senantiasa dimenangkan oleh Golkar, beberapa di antaranya mencapai persentase yang nyaris mutlak. Dalam Pemilu 1971 hingga 1992, posisi Golkar kokoh memimpin dengan perolehan antara 71 dan 79 persen suara, bahkan mencapai 80,2 persen dalam Pemilu 1997.

Demikian juga saat perolehan suara Partai Golkar secara nasional mengalami keterpurukan pada Pemilu 1999, kemenangan masih tetap bisa diraihnya. Golkar membukukan kemenangan dengan 29,7 persen mengungguli PDI-P di tempat kedua dengan 27,4 persen. Malahan pada pemilu legislatif 2004, citra Golkar seakan telah kembali ”pulih” dan membukukan kemenangan dengan hampir tiga kali lipat suara PDI-P.

Kelembaman pergeseran pilihan politik pemilih pemilu di Riau menimbulkan pertanyaan tentang karakter hubungan pemilih wilayah ini dengan sosok parpol. Apalagi dilihat dari sebaran perolehan suara partai di setiap kabupaten/kota, tidak tampak kekuatan dominan pengimbang Golkar. Hanya di Kabupaten Bengkalis dan Rokan Hilir suara PDI-P cukup dekat membuntuti.

Kondisi ini berkebalikan dengan hasil Pemilu 1955, di mana konstelasi politik menunjukkan dominasi partai-partai Islam. Dalam pemilu pertama itu, kekuatan partai Islam mencakup 80,1 persen suara: Partai Masyumi memperoleh 52,8 persen; Perti 20,3 persen, dan Nahdlatul Ulama 7,96 persen suara. Tak hanya di Riau, dominasi partai Islam malahan mencakup seluruh wilayah Sumatera Tengah waktu itu.

Kenyataannya, ”loyalitas” orang Riau kepada Golkar tidaklah monolitik dan tidak datang tiba-tiba. Kekuatan Golkar menanamkan pengaruh di bumi Lancang Kuning dibangun bertahap yang tecermin dari merambatnya perolehan Golkar dalam Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997. Handicap popularitas Golkar bukannya tak ada. Pada Pemilu 1977, perolehan suara Golkar nyaris disusul PPP.

Salah satu yang pasti, fondasi popularitas Golkar dibangun dari struktur birokrasi yang mampu membahasakan sosok partai ini dalam berbagai aspek kehidupan orang Riau. Demikian masifnya pengaruh Golkar sehingga sosok identitas dan ideologi ”moderat-developmentalis” ala Golkar menancap kuat dalam kehidupan Riau.

Secara fisik hal itu tampak dari model pembangunan fisik wilayah ini yang mendirikan bangunan-bangunan monumental simbolik Melayu yang megah. Namun, secara sosiologis, salah satu yang kuat menopang pilihan orang Riau kepada partai beringin adalah sikap budaya orang Melayu Riau sendiri yang cenderung memilih yang ”sudah pasti” dan ”sudah teruji”.

Dalam pandangan Ali Jufri, Dekan Fisip Universitas Riau, orang Riau menjadi cenderung pragmatis-realistis dan acapkali bersifat jangka pendek dalam menentukan pilihan politik. Kondisi demikian dimanfaatkan benar oleh Golkar yang paling mapan dalam akses sumber daya birokrasi dan jaringan kultural di masyarakat.

”Politik tempatan”

Kemampuan Golkar ”melokalkan” cita rasa parpol dengan budaya Melayu ditempuh dengan menempatkan tokoh lokal yang sudah dikenal baik dan mampu membahasakan kebutuhan mendasar masyarakat Melayu, kebanyakan putra daerah.

Pada saat era reformasi bergulir, para tokoh yang sudah dikenal itu tetap berada di tengah konstituennya sehingga masih memiliki kemampuan menarik pilihan publik. Tak hanya pada masa kini, sikap tersebut juga pernah dibuktikan pada Pemilu 1977. Sosok figur dan kekuatan dakwah pujangga Prof DR Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) terbukti mampu mengangkat perolehan suara PPP sehingga membayangi ketat keunggulan Golkar.

Dalam kondisi Riau, hal itu diterapkan dalam situasi yang tepat, yakni saat ini di mana pengakuan etnisitas orang Melayu sudah semakin ”substantif”, yakni penghormatan orang kepada nilai-nilai budaya Melayu- islam. Penduduk Riau tidak lagi terikat dalam pengakuan etnisitas Melayu sebagai puak-puak kekerabatan apalagi Melayu sebatas artian ras Melayu.

Di sisi lain, karakter ”politik tempatan” semacam itu menimbulkan dampak, yaitu minimnya calon-calon alternatif dalam Pilkada Riau. Dari jajaran kepala daerah yang terpilih dalam 12 kali pilkada, 7 di antaranya incumbent, 3 birokrat, dan 2 mantan ketua DPRD. Bahkan, dari keseluruhan 66 calon kepala daerah yang bertarung, hanya 2 orang yang berasal dari kalangan akademisi dan tak seorang pun dari calon perempuan yang muncul.

Pemilu 2009

Sekuat-kuatnya Partai Golkar menancapkan pengaruh, pelaksanaan pilkada di provinsi ini tampak mulai mengubah peta geopolitik. Dari 12 kali pilkada, termasuk di tingkat provinsi, hanya satu pertarungan di Kabupaten Bengkalis yang mampu dimenangkan Golkar sendirian. Tujuh kemenangan selebihnya, Golkar harus berkoalisi dengan berbagai partai Islam maupun parpol baru.

Dengan melihat cara pandang pragmatis orang Melayu Riau terhadap politik, perolehan suara parpol dalam Pemilu 2009 akan banyak ditentukan oleh sejauh mana parpol tersebut menempatkan caleg yang cukup dikenal oleh konstituen lokal. Penetrasi parpol, apalagi parpol baru, tak akan efektif tanpa penyertaan tokoh lokal.

Hal itu bisa berarti pertarungan Golkar dalam Pemilu 2009 tampaknya belum akan mendapat banyak tantangan. Apalagi partai ini lihai menjaga popularitas dengan membangun koalisi dengan parpol lain yang ”menjepit” mereka di kantong- kantong basis massa. Di Pekanbaru, di mana PAN kuat, Golkar melakukan koalisi, demikian juga di wilayah Kuansing yang berkultur Minang, Golkar berkoalisi dengan PPP. Tercatat hanya dengan PDI-P, Golkar tidak melakukan koalisi. (Toto Suryaningtyas/ Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar