Kamis, 19 Februari 2009

Perburuan Suara di Kantong Suku dan Agama

Oleh MG RETNO SETYOWATI

Keragaman suku bangsa menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sosial masyarakat. Masyarakat Sumut terdiri dari berbagai kelompok suku yang terkategorikan dalam dua kelompok masyarakat, yaitu kelompok suku asli dan kelomppok pendatang. Melayu, Batak, dan berbagai sub-etnisnya, serta Nias, merupakan suku asli, sedangkan kelompok suku pendatang, antara lain Jawa, Minang, Tionghoa, Aceh, dan India.

Yang menarik, keragaman suku bangsa semacam ini diikuti pula oleh agama yang dianut maupun sebaran wilayah permukiman mereka. Oleh karena itu, kantong-kantong permukiman di bagian terbesar wilayah Sumut sekaligus merupakan kantong-kantong suku dan agama. Posisi kota, khusunya Medan sebagai ibu kota provinsi, menjadi wilayah pertemuan, yang menjadi simbol keragaman provinsi ini.

Catatan kependudukan menunjukkan, bagian terbesar penduduk Sumut memeluk agama Islam (mencapai 65 persen). Agama ini terutama dianut oleh kelompok suku Melayu dan Jawa yang menyebar di pesisir timur Sumatera, meliputi daerah Asahan, Simalungun, Deli Serdang, Langkat, Serdang Bedagai, Tanjung Balai, Binjai, Tebing Tinggi, dan Labuhan Batu.

Di samping itu, bagian barat dan selatan Sumut, meliputi wilayah Sibolga, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Padang Sidimpuan, yang dimukimi kelompok suku Mandailing pun, mayoritas beragama Islam.

Akan halnya agama Kristen, baik Protestan maupun Katolik, dengan proporsi total sebanyak 26,6 persen, dianut oleh suku Batak dengan berbagai kelompok subetnisnya yang tersebar di bagian tengah Sumut, Pegunungan Bukit Barisan, yang meliputi wilayah Tapanuli Utara, Karo, Dairi, Samosir, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, Pematang Siantar , dan Tapanuli Tengah. Di samping itu, Kristen juga menjadi Agama terbesar yang dianut masyarakat Nias yang bermukim di Pulau Nias, sebelah barat Pulau Sumatera.

Dinamika politik

Keragaman suku yang diikuti pula oleh pengelompokan yang spesifik berdasarkan agama dan wilayah permukiman ini tidak terhindarkan pula memengaruhi dinamika politik masyarakat setempat. Implikasi yang paling nyata terlihat dalam peta kekuatan organisasi politik di Sumut dan bagaimana penerimaan masyarakat terhadapnya dalam berbagai ajang kontestasi politik di wilayah ini. Dalam hal ini, sejarah penyelenggaraan pemilu selama ini, baik di tingkat nasional maupun lokal, dapat dijadikan refleksi atas kondisi tersebut.

Diawali dari hasil Pemilu 1955 yang melibatkan tiga kekuatan politik utama di Indonesia saat itu, yakni Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dari Pemilu 1955 itu terlihat adanya kecenderungan tarik-menarik kekuatan yang tinggi antara kelompok Islam dan non-Islam (Kristen, Nasionalis, Sosialis, dan Komunis). Saat itu Masyumi unggul. Perolehan suara partai-partai bercorak keislaman mampu meraup 47 persen suara. Sementara itu, partai-partai non-Islam hanya mampu meraih 38 persen suara.

Faktor masuknya Aceh sebagai bagian dari wilayah pemilihan Sumut menjadi penentu kemenangan partai-partai Islam di wilayah ini. Pada saat yang sama, pengaruh Kristen dan kesamaan suku tampaknya tidak terlalu menonjol terhadap pilihan partai yang mengusung agama ini. Umumnya, aspirasi politik lebih banyak tertuju pada PNI yang kala itu di Sumut dipenuhi oleh tokoh-tokoh partai dari kalangan Kristen.

Pada Pemilu 1971, ketika partai-partai Islam berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai non-Islam menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Golkar tampil sebagai peraih suara terbanyak. Golkar dan mesin pemerintahan Orde Baru mampu menyatukan keragaman budaya menjadi satu kekuatan politik homogen. Saat itu, PPP maupun PDI hanyalah rumah politik bagi para loyalis Islam, Nasionalis, dan Kristen yang kian susut jumlah dan ruang gerak politiknya.

Kondisi demikian terus berkangsung hingga Pemilu 1997, di akhir kotestasi politik Orde Baru . Saat reformasi bergulir, yang diikuti penyelenggaraan Pemilu 1999, penguasaan Golkar tergantikan oleh PDI Perjuangan (PDI-P). Di sejumlah kantong suaranya, yang berada di wilayah bagian utara, timur, dan barat Sumut, yaitu Tapanuli Utara, Toba Samosir, Labuhan Batu, Asahan, Simalungun, Dairi, Langkat, Sibolga, Tanjung Balai, dan Binjai, Golkar tumbang.

Sebenarnya, dalam hitungan besaran suara provinsi, keruntuhan Golkar tidak membalikkan kondisi menjadi seperti yang terjadi di era awal perpolitikan provinsi ini, di mana partai-partai berasaskan agama berkuasa. Namun, jika dilihat dalam wilayah yang lebih kecil, hubungan antara suku dan agama masih tampak. KOndisi semacam ini juga masih tampak denyutnya pada saat Partai Golkar mengambil alih kemenangan di provinsi ini saat Pemilu 2004.

Wilayah-wilayah yang selama ini dikenal kuat dengan nuansa suku dan keagamaan, semacam Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Padang Sidimpuan, dan juga beberapa wilayah di pesisir timur Sumut, cenderung mangarahkan aspirasi politiknya kepada partai-partai yang mempresentasikan Islam.

Oleh karena itu, PPP, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional meraih suara signifikan di wilayah tersebut. Demikian juga wilayah basis kekristenan, seperti Tapanuli Utara, Toba Samosir, menjadi kantong suara bagi partai bernuansa kekristenan, seperti Partai Damai Sejahtera (PDS). Bahkan, di Kabupaten Humbang Hasundutan, PDS tampil sebagai pemenang, mengalahkan parpol lainnya.

Kekentalan corak agama dan suku ini berkonsekuensi terhadap keberadaan parpol lainnya. Menjadi masuk akal jika Golkar mampu memenangi Pemilu 2004 lantaran partai inilah saat itu yang tergolong mampu memasuki sekat-sekat agama dan suku.

Pada Pemilu 2004, dari 25 kota dan kabupaten se-Sumut, Golkar menguasai 18 kabupaten dan kota. Sisanya, partai ini mampu menjadi pemenang kedua ataupun ketiga. Artinya, baik di wilayah yang kental dengan nuansa agama maupun etnisitas, Golkar berhasil memanen suara. Tidak demikian yang terjadi pada PDI-P. Sekalipun memiliki basis massa yang sangat kuat di Kabupaten Deli Serdang, Karo, Nias, Kota Pematang Siantar, dan cukup kuat di wilayah-wilayah beretnis Jawa, Batak, ataupun wilayah beragama Kristen, partai ini lumpuh di wilayah-wilayah Islam, seperti Padang Sidimpuan, Mandailing Natal, dan Tapanuli Selatan.

Demikian pula dengan partai-partai bercorak Islam yang tidak mampu menghimpun suara di wilayah-wilayah beretnis Batak. Kekuatan signifikan justru ditunjukkan oleh Partai Keadilan Sejahtera, yang cukup menonjol di perkotaan dan bahkan menjadi pemenang di Medan.

Menuju Pemilu 2009

Persoalannya kini, apakah konfigurasi sosial dan politik semacam ini akan terus bertahan dalam berbagai ajang kontestasi politik saat ini yang sangat kental dengan kehadiran sosok sebagai penentu kemenangan?

Bagi pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara, Ridwan Rangkuti, Sumut memang kental dengan politik etnik. Sementara antropolog dan pengamat sosial setempat, Togar Nainggolan, mendeskripsikan derajat pertautan agama dan suku ke dalam kelompok sosial yang sekaligus dapat dijadikan acuan saat menakar kekuatan sosok dalam kontestasi politik.

Di satu sisi terdapat kelompok suku yang sangat kuat dipengaruhi latar belakang etnisitas dan agamanya. Dalam kelompok ini, unsur-unsur kekerabatan menjadi hal yang penting, termasuk pengutamaan pilihan politik pada sosok-sosok yang memiliki kesamaan budaya. Sebaliknya, kelompok etnis yang tidak cukup kuat dipengaruhi baik oleh etnisitas maupun oleh agama. Kelompok demikian cenderung melekat pada suku-suku pendatang. Dalam kondisi Sumut, kesamaan maupun kedekatan identitas sosok tidak menjadi jaminan pilihan politik. Dicontohkan, dalam pilkada di tingkat provinsi tahun 2008, Sumut yang bagian terbesar penduduknya suku Jawa tak serta-merta menempatkan sosok dari suku itu sebagai pemenang.

Berbagai ajang kontestasi politik lokal yang dilaksanakan sejak 2005 hingga kini memang memberikan gambaran kekuatan Golkar bersama sosok-sosok yang dicalonkannya dalam pertautan etnisitas dan agama. Hanya, yang membedakan, kondisi demikian tidak semuanya berjalan paralel dengan peta penguasaan politik pada Pemilu 2004. Sekalipun tetap dominan dalam rangkaian pilkada, beberapa wilayah penguasaannya kini rapuh, dan bahkan sebagian terkuasai oleh sosok pemimpin berasal dari parpol lainnya.

Di sisi lain, penetrasi kekuatan politik partai ini melalui calon-calon yang diusungnya tidak sepenuhnya mampu memenangi wilayah-wilayah kental nuansa suku dan agama yang dikuasai oleh parpol lainnya. Dalam kondisi demikian, terbilang berat memang upaya yang harus dilakukan partai ini untuk meningkatkan penguasaannya di semua wilayah Sumut dalam Pemilu 2009 mendatang.

Adapun bagi partai-partai lainnya, bisa jadi ini merupakan suatu peluang yang dinantikan. Kemampuan menampilkan sosok menjadi kunci dalam melakukan perburuan suara di kantong-kantong suku dan agama. (LITBANG KOMPAS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar