Minggu, 22 Maret 2009

Kekuatan Teritorial dan Genealogi Agama

OLEH ANTONIUS PURWANTO dan BAMBANG SETIAWAN

MALUKU menjadi wilayah pertautan yang kental antara tradisi, agama, dan politik. Segregasi area kebudayaan dan dominasi agama mencerminkan kekuatan politik yang berbeda. Wilayah di mana dominasi Kristen lebih kuat cenderung menjadi wilayah yang mendukung ideologi nasionalis persatuan dan wilayah dengan dominasi Islam kuat cenderung mendukung partai berideologi nasionalis pembangunan.

Wilayah kebudayaan masyarakat Maluku dapat dibagi menjadi tiga teritori atau area kebudayaan besar, yaitu wilayah utara (Pulau Ternate, Tidore, Halmahera, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya) yang pada saat ini secara administratif masuk ke dalam Provinsi Maluku Utara, wilayah tengah (Pulau Seram, Buru, Ambon, dan pulau-pulau Lease), serta wilayah tenggara (meliputi masyarakat di pulau-pulau tenggara, tenggara barat, dan Kepulauan Aru). Area tengah dan tenggara inilah yang saat ini menjadi wilayah administratif Provinsi Maluku.

Menurut antropolog dari Universitas Pattimura, Wellem R Sihasale, pada setiap culture area atau wilayah kebudayaan, terdiri dari berbagai subetnik dengan beragam budaya yang memiliki karakteristik tersendiri, tetapi hampir mirip atau sama satu dengan yang lain. Subetnik-subetnik masyarakat yang terbentuk dan mendiami suatu culture area membangun kehidupannya dalam suatu bentuk struktur dan pola pengelompokan masyarakat yang berbeda di antara wilayah kebudayaan masing-masing (Sihasale, 2005).

Perjalanan sejarah di ketiga wilayah kebudayaan itu membuat masing-masing wilayah memiliki corak keagamaan yang berbeda. Wilayah utara lebih mencerminkan kuatnya tradisi Islam di bawah pengaruh Kerajaan Ternate dan Tidore. Sebaliknya, wilayah tenggara memiliki pertautan yang kuat dengan tradisi Kristen yang dibawa Portugis dan Belanda. Sementara itu, area tengah merupakan wilayah di mana kedua tradisi keagamaan itu hadir dengan kekuatan yang hampir seimbang. Di wilayah ini jumlah pemeluk agama Islam sekitar 57 persen dan pemeluk agama Katolik dan Protestan berkisar 42 persen.

Tiga wilayah kebudayaan ini juga memberikan warna yang berbeda dalam pilihan politik masyarakat. Dalam tiga pemilu yang berjalan secara demokratis, tahun 1955, 1999, dan 2004, terlihat bahwa masing-masing wilayah memiliki corak kekuatan politik yang berbeda. Pada Pemilu 1955 bagian utara merupakan perwujudan dari kekuatan partai Islam, terutama Masyumi. Di wilayah ini kemenangan Masyumi mencapai 44,6 persen, jauh lebih unggul dibandingkan suara untuk Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik yang hanya mencapai 22,1 persen. Hal sebaliknya terjadi di bagian tenggara, suara untuk Parkindo dan Partai Katolik mencapai 60,8 persen, sedangkan Masyumi hanya meraih 20,9 persen. Sementara di wilayah perebutan pengaruh, bagian tengah (Maluku Tengah dan Kota Besar Ambon), perolehan suara partai Islam ataupun Kristen cenderung seimbang, masing-masing 43,7 persen dan 38,3 persen. Di wilayah ini Partai Syarikat Islam Indonesia cukup terasa dengan menyumbangkan 7 persen suara bagi kekuatan partai Islam.

Di mana wilayah yang cenderung memiliki stabilitas suara pemilih (stability voters) dan bagian mana yang cenderung berubah? Ternyata wilayah-wilayah di mana kekuatan pemilih Kristen dominan cenderung menjadi wilayah yang sulit berubah. Sebaliknya, wilayah-wilayah di mana pemilih Muslim dominan, cenderung lebih mudah berubah.

Pemilu demokratis yang kembali digelar setelah selama enam pemilu sebelumnya kekuatan politik Indonesia dicengkeram oleh rezim otoriter memperlihatkan pola yang mirip dengan situasi 1955. Hanya saja, wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Masyumi kemudian diambil alih oleh Golkar yang ciri ideologi nasionalisnya lebih bercorak developmentalis. Dengan demikian, terjadi perubahan ideologis kawasan politik, dari Islam menjadi nasionalisme pembangunan. Sebaliknya, wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh partai-partai Kristen cenderung mengikuti garis fusi partai, mendukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ataupun partai-partai dengan ciri ideologi nasionalisme persatuan (state-nationalism). PDI-P memiliki keterikatan yang kuat dengan partai-partai Kristen setelah Pemerintahan Soeharto memangkas jumlah partai dan memberlakukan kebijakan fusi menjadi tiga partai pada tahun 1973. Saat itu, Parkindo dan Partai Katolik dilebur ke dalam PDI.

Dalam Pemilu 2004 kecenderungan PDI-P mendapat dukungan dari wilayah-wilayah yang dimenanginya pada Pemilu 1999 juga masih terlihat. Kota Ambon, Maluku Tenggara, dan Kepulauan Aru memperlihatkan dukungan yang masih cukup solid pada partai ini. Meskipun suara di wilayah pemekaran dari Maluku Tenggara, yakni Maluku Tenggara Barat, berhasil dimenangi oleh Golkar, sebagian suara mengalir ke partai-partai yang memiliki akar genealogis PDI-P.

Perubahan konfigurasi

Perkembangan demokrasi di tingkat lokal yang tercermin dari penyelenggaraan pilkada mendukung asumsi bahwa figur terlihat lebih efektif menggiring dukungan ketimbang mesin politik partai. Namun, kemenangan kandidat yang didukung partai tertentu tetap berpotensi mengubah konfigurasi kekuatan politik partai.

Dari 10 kali pilkada sepanjang tahun 2005-2008, termasuk di tingkat provinsi, hanya satu pertarungan di Kabupaten Buru yang mampu dimenangi Partai Golkar tanpa koalisi. Empat kemenangan selebihnya, Partai Golkar harus berkoalisi dengan beberapa partai, baik yang bernuansa Islam maupun nasionalis. Misalnya, di Kabupaten Maluku Tengah, Partai Golkar berkoalisi dengan PBR, PKPB, PAN, PNUI, dan Patriot Pancasila untuk memenangi pasangan Abdullah Tuasikal-Imanuel Seipalla sebagai bupati dan wakil bupati. Adapun di Maluku Tenggara, Partai Golkar menggandeng enam partai lainnya untuk memenangi pasangan Andreas Rentanubun-Yunus Serang.

Sementara itu, PDI-P selain memenangi Pilkada Kota Ambon juga merebut kembali Maluku Tenggara Barat dengan kemenangan kandidatnya. Dalam Pemilihan Gubernur Maluku, PDI-P yang berkoalisi dengan enam parpol lainnya memenangi kursi gubernur dan mengalahkan calon gubernur dari Partai Golkar. Pasangan Karel Albert Ralahalu dan Said Assegaff yang diusung PDI-P bahkan menang di semua kabupaten/kota.

Yang menarik, pasangan calon bupati dan wakil bupati yang diusung oleh Partai Golkar dan PDI-P di Kabupaten Seram Bagian barat dan Seram Bagian timur justru kalah oleh pasangan calon yang diusung oleh partai-partai lainnya. Selain itu, Kabupaten Seram Bagian Barat dimenangi oleh pasangan yang diusung oleh PDS, PKPB, dan Partai Pelopor. Adapun di Seram Bagian Timur pasangan Abdullah Fanath-Siti Umuria Suruwaky yang didukung oleh PKPI, PKS, dan PKPB mengalahkan pasangan yang diusung oleh Partai Golkar dan PDI-P.

Menanggapi Pemilu 2009, pengamat politik dari Universitas Pattimura Ambon, Jusuf Madubun, berpendapat selain faktor ideologi partai, preferensi pemilih masyarakat Maluku dalam Pemilu 2009 juga akan ditentukan oleh figur-figur yang akan diusung oleh partai politik. Perolehan suara parpol dalam pemilu nanti akan sangat ditentukan oleh sejauh mana parpol tersebut menempatkan caleg yang cukup dikenal dan diterima oleh konstituen lokal. ”Tidak tertutup kemungkinan terjadi kejutan dalam konfigurasi politik di Maluku dalam pemilu tahun ini. Baik partai yang mengusung ideologi nasionalis maupun bernuansa agama akan bersaing ketat untuk mendapatkan simpati pemilih,” ungkap Madubun.

(ANTONIUS PURWANTO dan BAMBANG SETIAWAN/ Litbang Kompas)

Dualisme Ketegangan dan Harmoni

UMUMNYA, masyarakat Maluku percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari satu suku bangsa dan budaya yang sama, yakni dari Maluku Tengah. Penduduk Maluku Tengah sendiri dipercaya berasal dari Pulau Seram. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa mayoritas etnis Maluku sekarang ini adalah ras Melanesia Pasifik. Dalam berbagai literatur juga diceritakan bahwa setelah beranak pinak, mereka menyebar ke seluruh wilayah Maluku, termasuk ke Kepulauan Lease (Pulau Haruku, Pulau Saparua, dan Pulau Nusalaut) serta Pulau Ambon.

Sedari dulu, nenek moyang orang Maluku diyakini telah memiliki sistem pranata sosial budaya, politik, dan ekonomi yang sudah cukup baik. Itulah yang kemudian mengkristal menjadi sebuah pranata sosial budaya pela, gandong, dan giwalima. Pela adalah sistem ikatan persaudaraan dua desa atau lebih yang didasarkan pada faktor di luar genealogis (keturunan). Sedangkan yang mempunyai hubungan faktor genealogis karena leluhurnya berasal dari keturunan yang sama disebut gandong. Gandong sendiri berarti adik. Siwalima berarti sembilan dan lima yang menggambarkan dua kelompok besar masyarakat Maluku. Patasiwa adalah satu kesatuan sosial budaya masyarakat desa dengan sembilan kelompok, sedangkan patalima dengan lima kelompok.

Pranata sosial itu diciptakan lantaran dalam kehidupan sehari-hari, antagonisme kehidupan antara komunitas yang disebut kelompok sembilan (siwa) dan yang lima (lima) yang sebenarnya adalah bersaudara memang kerap terjadi. Keduanya berkembang dalam persaingan dan ketegangan. Penyebabnya, misalnya, gara-gara masalah penguasaan tanah yang kurang jelas garis batasnya. Namun, dengan ”kehidupan ke-pela-an” dan semangat kebersamaan siwalima, hubungan sosial yang sering menegang itu dapat dikendalikan menjadi rukun.

Sejak dulu masyarakat Maluku pun dipercaya telah memiliki kesatuan-kesatuan politik yang tercermin dari terbentuknya sejumlah ”Republik Pedesaan” yang dipimpin oleh seorang yang disebut Ulu Latu atau Upu Aman (Hena). ”Republik Pedesaan” itu dibentuk atas dasar ikatan teritorial, genealogis, dan religi. Ini berarti rakyatnya memiliki wilayah hidup tertentu, terikat dalam suatu ikatan kekerabatan menurut keturunan tertentu dan mendukung satu kepercayaan (adat) yang sama. Mereka pun membentuk persekutuan lebih luas yang disebut negeri. Setiap negeri yang terdiri atas sejumlah ”Republik Pedesaan” itu merupakan satu kesatuan adat.

Di sini adat dipakai sebagai aturan dan hukum untuk mengatur pola tingkah laku masyarakatnya. Masyarakat diikat oleh kepercayaan yang sama, leluhur komunal yang sama, juga tanah dan gunung yang sama. Pemimpin negeri dianggap sebagai ayah (ama) atau ibu (ina) yang melindungi penduduknya (anak negeri). Konsep kosmologi seperti itu membuat solidaritas pada negerinya sangat tinggi. Keterikatan anak-anak negeri kepada kepercayaan mereka yang simbolik dengan ”Upu Lanite”, ”Ina Ume”, ”Tete Nene Moyang”, dan ”Gunung Tanah” dapat memberi kekuatan. Ancaman bagi sebuah negeri merupakan ancaman bagi semua anak negeri.

Jadi, sebenarnya sebelum masuknya pengaruh peradaban, terutama Arab (Islam) dan Eropa (Kristen), Maluku telah memiliki latar belakang sosial budaya ekonomi dan politik yang mapan. Masyarakat Maluku pun sejak dulu sudah memiliki sikap egaliter, terbuka, dan tata krama yang luhur. Sikap keterbukaan, misalnya, ditunjukkan dengan penerimaan mereka terhadap para pendatang dengan tangan terbuka.

Dalam perilaku politik pun masyarakat Maluku tidak terlepas dari faktor budaya dan etnisitas. Menurut antropolog dari Universitas Pattimura, Mus Huliselan, masyarakat Maluku memiliki sistem kekerabatan yang sangat erat. Kultur hidup tradisional masyarakat Maluku masih menjunjung tinggi adat tradisional dalam ikatan genealogis dan teritorial. Wilayah-wilayah kultural semacam itu biasanya memiliki seorang ketua adat yang senantiasa diikuti semua langkahnya, termasuk dalam segi politik.

Selain faktor ideologis berupa keterikatan pada parpol tertentu, setidaknya ada tiga faktor yang akan menentukan preferensi masyarakat dalam pemilu nanti, yaitu faktor teritorial, genealogis, dan religi. Dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menentukan pemenang dari kandidat dengan perolehan suara terbanyak, ia memperkirakan parpol yang memiliki figur-figur caleg yang bisa diterima dan dekat dengan masyarakat, baik secara teritorial, agama, adat, maupun genealogis, akan sangat menentukan perolehan suara parpol pada pemilu nanti. (ANTONIUS PURWANTO)

Pemekaran Melantakkan Partai-partai Besar

Oleh ARITASIUS SUGIYA

POLA penguasaan wilayah politik atas partai-partai besar di Papua mulai berubah semenjak pemekaran daerah gencar dilakukan. Semakin banyak daerah baru yang bermunculan, semakin berkuranglah kekuasaan parpol besar. Namun, sebaliknya, bagi partai-partai kecil, pemekaran justru merupakan berkah. Beberapa daerah yang baru dipecah berhasil dimenangi partai kecil.

Tradisi pemilihan umum di Provinsi Papua tergolong muda jika dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Jika warga provinsi lain sudah mengalami proses pemilu sejak 1955, penduduk Papua baru memulainya pada tahun 1971. Itu pun pemilu yang tergolong kurang demokratis karena di bawah tekanan rezim Orde Baru. Waktu itu, Golkar menguasai perolehan suara. Bahkan, pada Pemilu 1977 Golkar mampu mendulang 86,6 persen suara.

Oleh karena itu, tak mengherankan jika Golkar, yang menjadi alat politik penguasa, bisa mencengkeram kuat di tanah Papua hingga lama. Bahkan, pada Pemilu 1999 hingga 2004 yang tergolong demokratis pun, sisa-sisa cengkeraman Golkar masih terlihat. Pada dua pemilu terakhir tersebut, partai berlambang beringin ini masih meraih gelar pemeroleh suara terbanyak.

Keberhasilan Golkar ini tidak lepas dari proses kaderisasi dan jaringan struktural yang dibangunnya hingga pelosok daerah di Tanah Papua. Hal ini juga diyakini oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih (FISIP Uncen) Naffi Sanggenafa. Sampai pemilu terakhir, kekuatan Golkar belum tertandingi oleh parpol mana pun.

Namun, ketika kebijakan pemekaran mulai dilakukan dan mulai merebak pada tahun 2000-an kondisi mulai berubah. Penguasaan wilayah partai mulai berbelok. Tawaran baru dari partai-partai baru pun membuat pilihan politik warga Papua juga berubah.

Kekuatan parpol baru pelan-pelan menggerogoti kekuatan Partai Golkar. Sejak Pemilu 1999 dan 2004 disusul oleh pemilu-pemilu lokal untuk memilih kepala daerah yang baru menjadi babak penurunan genggaman Golkar.

Daerah-daerah yang sebelumnya menjadi wilayah basis lama-lama runtuh. Dari 12 kabupaten dan kota yang berhasil dimenanginya pada Pemilu 2004, hanya 1 daerah yang berhasil dipertahankan dalam pilkada tanpa harus berkoalisi dengan parpol lain. Hanya di Kabupaten Sarmi pasangan calon dari partai ini, Edward Fonataba dan Berthus Kyeu-yeu, yang berhasil menang dengan meraih 40 persen suara.

Apakah ini hanya terjadi pada Golkar? Tidak juga. Fenomena serupa juga dialami oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang juga tergolong partai nasional besar. Bahkan, penurunan perolehan suara partai ini lebih tragis. Jika pada Pemilu 1999 partai berlambang banteng ini masih mampu meraih 32,5 persen suara, pada Pemilu 2004 meraup 8 persen saja.

Bahkan, di tiga kabupaten yang dimenanginya, PDI-P gagal meraih kursi bupati dan wakil bupati dalam pemilihan kepala daerah. Calon-calon dari PDI-P di Pilkada Kabupaten Yapen Waropen, Waropen, dan Asmat dikalahkan oleh calon-calon yang didukung parpol-parpol kecil, seperti Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Pelopor, Partai Persatuan Daerah, atau Partai Demokrasi Kebangsaan.

Pemekaran wilayah

Salah satu faktor yang menyebabkan pamor partai-partai besar, seperti Partai Golkar dan PDI-P, meredup di Papua adalah pemekaran wilayah administrasi kabupaten. Pemilu 1999, misalnya, jumlah wilayah administrasi di Papua terdiri dari 9 kabupaten dan 1 kota. Perolehan suara Partai Golkar merosot tajam dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, dari 88,8 persen menjadi 37,3 persen. Selebihnya suara terdistribusi ke parpol lain, seperti PDI-P dan parpol yang berbasis keagamaan: Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) dan Partai Katolik Demokrat (PKD).

Selanjutnya pada Pemilu 2004, jumlah wilayah administrasi Papua berkembang menjadi 19 kabupaten dan 1 kota. Lagi-lagi, suara Partai Golkar mulai mengerucut dan menyisakan 24,7 persen suara. Selebihnya suara tersebar secara merata dalam rentang 5-10 persen kepada PDI-P, PDS, Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNIM), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Pada Pemilu 2009, jumlah wilayah administrasi di Papua menjadi 28 kabupaten dan 1 kota. Bagi parpol baru, hal ini merupakan sebuah berkah dan kesempatan emas untuk dapat meningkatkan perolehan suara secara signifikan, khususnya di tingkat kabupaten/kota.

Namun, di sisi lain, perolehan suara Partai Golkar dan PDI-P kemungkinan besar akan menurun.

Pengamat politik dan pemerintahan dari Uncen, Beatus Tambaip, menyebutkan alasannya. Selain karena faktor pemekaran wilayah yang memunculkan tokoh dan figur baru, Partai Golkar dan PDI-P mendahulukan calon anggota legislatif dari kader internal partai, baik yang masih duduk di kursi legislatif maupun pengurus teras partai. Padahal, saat ini pemilik mesin pendulang suara justru berada di luar Partai Golkar dan PDI-P.

Pemilu 2004, menurut Beatus Tambaip, menjadi bagian dari proses pembelajaran politik para calon wakil rakyat yang notabene memiliki basis massa kuat yang sebelumnya aktif di Partai Golkar dan PDI-P. Mereka ini mengundurkan diri atau membelot dan bergabung dengan partai-partai baru karena struktur dan garis kebijakan partai menyulitkan mereka untuk menentukan pilihan sesuai idealisme yang ingin diperjuangkan.

Sementara itu, Naffi Sanggenafa mengatakan, masuknya sejumlah tokoh ke dalam parpol baru karena melihat peluang untuk duduk sebagai legislator dan pemimpin daerah. Partai bercirikan agama tidak menjadi prinsip dasar untuk memilih. Sentimen agama sudah tidak mewarnai alasan memilih.

Kini tidak bisa dikatakan bahwa Papua ini wilayah Partai Golkar. Banyak orang mulai melihat bagaimana peta kekuatan partai dan janji ketika kampanye. Masyarakat sudah mulai menyadari. Orang awam hanya melihat realisasi janji kampanye.

Menurut Naffi, orang Papua kadang berseloroh, ”Jangan kamu bicara banyak, sa mau melihat kamu pu janji-janji!”

(ARITASIUS SUGIYA/Litbang Kompas)

"Torang Su Pu" Pilihan

BANYAK stereotip dikenakan pada masyarakat Papua. Salah satunya, etnis asli Papua dicitrakan memiliki mentalitas improvisatory, kecenderungan ingin selalu mencoba dan tidak akan bertahan lama. Selain itu, suatu sikap yang tidak tekun dalam berupaya dan cepat beralih lagi kepada isu lain apabila mereka merasa gagal.

Realitas sosial ini memberikan peluang terbuka bagi parpol baru untuk masuk di Provinsi Papua.

Stereotip tentang mentalitas suku bangsa Papua itu banyak diungkapkan para antropolog, salah satunya Jan Honore Maria Cornelis Boelaars. Hal ini juga dibenarkan oleh pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Cenderawasih (Uncen), Beatus Tambaip.

Papua terbuka untuk semua parpol. Tak satu parpol pun yang kini berani mengklaim dirinya sebagai kekuatan tunggal sebab masyarakat sudah punya pilihan. Sosok lebih penting daripada parpol.

Penduduk Papua yang mayoritas beretnis asli Papua terbuka terhadap perubahan. Keterbukaan di bidang politik, misalnya, dimulai sejak keikutsertaannya dalam proses demokrasi Pemilu 1971. Pemilu ala Indonesia, bukanlah budaya mereka. Namun, dengan didasari kesadaran sebagai warga negara untuk ikut berpartisipasi, masyarakat Papua pun terlibat.

Adaptasi dengan perubahan membutuhkan proses panjang. Setidaknya masyarakat Papua membutuhkan dua kali pemilu untuk mencapai suatu titik kesadaran akan pentingnya terlibat dalam proses pemilu. Dari peran aktif masyarakat Papua dalam pemilu dapat dikatakan sebagai wilayah yang menjanjikan.

Menurut dekan FISIP Uncen, Naffi Sanggenafa, kecerdasan masyarakat di Papua untuk memilih makin kentara. Mereka tidak lagi memedulikan partai sebab apa pun partainya, kalau tokoh yang ada di sana memang banyak memberikan kontribusi kemajuan dan keadilan daerah, mereka tidak segan-segan untuk memilihnya.

Pandangan itu dapat dilihat pula oleh Kamaluddin (24), seorang sopir di Nabire yang mengaku sudah mempunyai pilihan partai. Baginya, tidak peduli berasal dari partai apa. Namun, kalau calon legislatif itu secara langsung memberikan dampak positif bagi ekonominya, dia akan memilihnya. ”Sa su pu pilihan,” katanya. (Saya sudah punya pilihan).

Naffi Sanggenafa menekankan betapa pentingnya parpol untuk berkarya nyata di masyarakat. ”Berkaryalah secara nyata lebih dahulu sebelum mengharapkan dukungan masyarakat sebab banyak pelajaran yang sudah dipetik masyarakat dari pemilu sebelumnya. Banyak yang janji, tetapi pada akhirnya justru melupakan konstituen,” ujarnya.

Inilah peluang dari parpol baru untuk masuk. Masuknya parpol baru di tanah Papua ini karena melihat sifat dasar masyarakatnya yang terbuka terhadap perubahan tersebut.

Akan tetapi, parpol baru tentu akan mendapatkan perlawanan yang berat dari Partai Golkar dan PDI-P, terutama di daerah-daerah yang pemilihnya sangat loyal. Sebut saja Kabupaten Supiori, Biak Numfor, Sarmi, Jayapura, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Paniai, dan Kota Jayapura. Di wilayah ini dominasi Partai Golkar belum tergoyahkan. Di wilayah ini bermukim kelompok adat Seireri, Mamta, Me Pago, dan Ha Anim.

Sama halnya dengan Golkar, PDI-P juga memiliki daerah yang menjadi basis pemilihnya yang tidak pernah luntur. Di Kabupaten Asmat yang bermukim kelompok adat Ha Anim ini menjadi satu-satunya kabupaten yang menjadi basis massa PDI-P.

Independensi pemilih ini sebagai bentuk sifat demokratis para tokoh agama dan adat. Memang, pemimpin informal seperti tokoh agama dan adat masih sangat penting dan mempunyai pengaruh cukup besar.

”Kalau soal kultur, masyarakat etnis Papua akan tunduk kepada tokoh adat,” kata Naffi. Namun, pemilu kan bukan bagian dari kultur Papua. Jadi, masyarakat sudah punya pilihan. Torang su pu pilihan.

(ARITASIUS SUGIYA)

"Fala Raha" Dalam Kancah Demokrasi

OLEH KRISHNA P PANOLIH

MALUKU Utara merupakan sebuah kancah tarik-menarik antara kekuatan tradisional lama dan kekuatan baru administrasi pemerintahan modern. Kekuatan aristokrasi seclang mendapat ujian berat lewat prosedur demokrasi yang tecermin dalam pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan umum.

Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung di Maluku Utara yang digelar tahun 2007 lalu menjadi sebuah peristiwa dramatis, penuh dengan nuansa perebutan pengaruh antara aristokrasi tradisional yang bersifat lokal dan sistem demokrasi.

Keputusan KPU Maluku Utara, yang menggagalkan pencalonan Sultan Ternate Mudaffar Sjah dalam Pilkada Maluku Utara karena dinilai tidak mampu mengumpulkan dukungan suara yang dipersyaratkan, menjadi persoalan yang pelik bagi eksistensi aristokrasi lokal dan tokoh yang berpengaruh luas dalam kehidupan masyarakat Maluku Utara itu. Mudaffar-Rusdi hanya didukung sekitar 12 persen suara dari PPP dan lima partai lain. Padahal, calon harus didukung partai atau gabungan partai dengan minimal 15 persen suara atau kursi di DPRD. Kekurangan dukungan itu disebabkan dua pengusung lain, yaitu Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) serta Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), dinilai merupakan kubu sempalan yang tak direkomendasi pengurus pusat.

Penilaian KPU ini tidak bisa diterima oleh kubu pendukung Sultan. Konflik dan bentrokan fisik pendukung Sultan dengan aparat keamanan hingga pendudukan kantor KPU setempat menjadi titik rawan tahap awal pilkada.

Tampaknya konflik tidak hanya berhenti pada saat pencalonan saja. Konflik paling luas justru terjadi pascapencoblosan. Penghitungan suara Pilkada Maluku Utara menjadi momen yang paling rawan dari seluruh pilkada yang berlangsung di Indonesia, menguras energi dan menjadi konflik yang berkepanjangan.

Pilkada Gubernur Maluku Utara diikuti empat pasang, yaitu Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo, Thaib Armaiyn-Abdul Ghani Kasuba, Irvan Eddyson-Ati Achmad, dan Anthony Charles Sunarjo-Amin Drakel. Hasil penghitungan suara oleh KPU Maluku Utara menunjukkan Armaiyn-Kasuba menang tipis dari pasangan Gafur-Fabanyo, 37,35 persen berbanding 37,17 persen. Namun, keputusan ini kemudian dianulir oleh KPU pusat. Rapat Pleno KPU pusat justru memutuskan sebaliknya, kemenangan untuk Gafur-Fabanyo. Sejak itu konflik terbuka antara kedua pendukung terus mewarnai dunia perpolitikan Maluku Utara. Proses selanjutnya melibatkan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Menteri Dalam Negeri. Pada akhirnya diperlukan campur tangan pemerintah pusat untuk menyelesaikan. Lewat perdebatan yang panjang akhirnya Armaiyn-Kasuba diputuskan sebagai pemenang.

Sesungguhnya, Pilkada Maluku Utara adalah pemetaan riil dari kekuatan-kekuatan politik yang berkolaborasi dengan etnisitas. Thaib Armaiyn, yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, PBR, PBB, PKPB, dan PKB, sebelumnya adalah gubernur yang berasal dari Halmahera Selatan. la diperkirakan mendapat dukungan dari etnis Makian yang termasuk satu dari tiga etnis besar di Malut. Adapun calon wakilnya, Abdul Ghani Kasuba, mengandalkan dukungan dari etnis Tobelo dan Galela-dua etnis besar di Maluku Utara. Pasangan tersebut juga mendapat dukungan Sultan Ternate sehingga berpotensi mendulang suara dari masyarakat Ternate.

Sementara itu, Gafur-Fabanyo, yang diusung oleh Partai Golkar, mengandalkan dukungan massa tradisional dari daerah Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Mereka diduga mendapat dukungan dari etnis Tidore, Patani, Weda, dan Gane. Mereka juga mendapat dukungan dari tim suksesnya, Syamsir Andili, yang dikenal dekat dengan kalangan pendatang asal Gorontalo, Buton, Bugis, dan Jawa.

Pasangan ketiga, Anthony Charles Sunarjo-Amin Drakel yang didukung PDI-P mengandalkan dukungan etnis Sanana dan beberapa kantong masyarakat di Pulau Halmahera, khususnya yang tinggal di pelosok. Dan, pasangan terakhir, Irvan Eddyson-Ati Achmad yang didukung PDS, PNI Marhaenisme, Partai Merdeka, PIB, PKPI, PPDI, dan PPNUI lebih mengandalkan massa tradisional dari Galela dan Morotai.

Jika ditelusuri, kekuatan politik paling berpengaruh pada masa lalu adalah Kesultanan Ternate dan Tidore meskipun bukan hanya mereka yang pernah hadir membentuk warna politik di sini. "

"Fala Raha"

Lanskap politik di Maluku Utara tak bisa dilepaskan kaitannya dengan jazirah kekuasaan empat kerajaan yang membentuk konfigurasi kekuatan politik pada kemudian hari. Jazirah itu adalah wilayah kekuasaan empat kerajaan yang dikenal denganTala Raha atau Moloku Kie Raha, yaitu Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Istilah Maluku pada mulanya hanya digunakan untuk merujuk empat pusat kerajaan di Maluku Utara tersebut.

Ada sejumlah dugaan bahwa Kerajaan Jailolo merupakan yang tertua dibandingkan dengan kesultanan lainnya. Kerajaan ini ditengarai berkuasa di Halmahera sebelum wilayah ini kemudian dikuasai Kerajaan Ternate dan Tidore pada awal abad ke-17.

Sejak runtuhnya kekuasaan Jailolo, wilayah Kesultanan Ternate dan Tidore makin luas. Selain Pulau Ternate, wilayah kekuasaannya juga meliputi Halmahera Utara dan Selatan. Selain itu, kekuasaannya juga mencakup wilayah Kepulauan Sula, Kepulauan Banggai, serta daerah Tobungku di Sulawesi bagian timur.

Sementara itu, Tidore menguasai Halmahera Tengah, tetapi kekuasaannya juga menjangkau wilayah Laut Halmahera dan Laut Seram sampai ke pesisir Irian Jaya. Adapun Kesultanan Bacan berkuasa di Pulau Bacan dan pulau-pulau kecil di sekitarnya (RZ Leirissa, Halmahera Timur dan Raja Jailolo, 1996).

Status provinsi yang melekat pada Maluku Utara bisa dibilang merupakan fenomena penting di kawasan seluas 140.366,32 kilometer persegi ini. Saat masih jadi bagian dari Provinsi Maluku, Maluku Utara berpredikat kabupaten, bersama (Kabupaten) Halmahera Tengah, dan Kota Administratif Ternate.

Keinginan untuk mandiri sebagai provinsi sudah dimulai sejak 1957, saat Pemerintah RI memulai upaya mengembalikan Irian Barat tahun 1956. Kemudian, pada 1963 sejumlah tokoh dari parpol, seperti Partindo, PSII, NU, Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo), mencoba lagi upaya itu, tetapi kandas. Begitu pun ketika sejumlah tokoh dari Delegasi Rakjat Maluku Utara mendesak hal tersebut kepada pemerintah pada akhir 1966.

Tokoh, penulis, dan pengusaha terkenal asal Maluku, Des Alwi, dalam buku Sejarah Maluku (2005) menyatakan, pada masa kekuasaan Presiden Soekarno (1950-1965), saat segala sesuatu berpusat pada Jakarta, Maluku adalah provinsi yang paling terpencil dan paling dilupakan dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.

Baru pada era pemerintahan Presiden BJ Habibie daerah ini resmi menjadi provinsi, tepatnya pada 12 Oktober 1999. Berikutnya Halmahera Utara, Halmahera Selatan, Kepulauan Sula, Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan bergabung pada 2003, serta terakhir Morotai (2008).

Maluku Utara merupakan cerminan sebuah provinsi dengan mayoritas (87 persen) penduduk beragama Islam dengan konsentrasi terbesar di Kota Ternate dan Halmahera Selatan. Pemeluk agama lainnya, yaitu Protestan, relatif terkonsentrasi di Halmahera Utara. Adapun pemeluk Katolik banyak mendiami Kepulauan Sula.

Perubahan konfigurasi

Maluku Utara merupakan basis Masyumi yang cukup kuat, sebagaimana tergambar dari hasil Pemilihan Umum 1955. Di sini Masyumi memperoleh 44,6 persen. Partai Islam selain Masyumi relatif tidak eksis di pemilu awal tersebut. PSII hanya meraih 0,5 persen suara.

Partai lain yang cukup sukses adalah Parkindo yang memperoleh 22 persen suara. Suara untuk partai-partai nasionalis relatif tersebar. Secara keseluruhan partai-partai nasionalis mampu mengumpulkan suara 32,6 persen, dengan dukungan terbesar berasal dari Partai Indonesia Raya (PIR) Hazairin (14,8 persen) dan PNI (13 persen).

Dalam Pemilu 1999 wilayah Maluku Utara dan Halmahera Tengah masih menjadi bagian dari Provinsi Maluku. Pemilu ini memperlihatkan keunggulan Partai Golkar di wilayah ini. Golkar menang di dua kabupaten itu dengan meraih dukungan 43,47 persen. Tempat kedua dipegang oleh PDI-P (17,38 persen) dan selanjutnya PPP (16,66 persen).

Pemetaan yang lebih jelas dapat dilihat pada Pemilu 2004, ketika wilayah ini sudah berdiri sendiri dengan memiliki delapan kabupaten/kota. Meskipun Golkar menjadi pemenang, suaranya telah jauh berkurang, menjadi hanya 23,53 persen. Wilayah-wilayah yang dikuasainya pun hanya di lima kabupaten/kota, yaitu Halmahera Barat, Halmahera Tengah, Kepulauan Sula, Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan.

Tempat kedua justru dipegang oleh PKS yang mampu meraih 10,57 persen dan memenangi Halmahera Selatan yang mayoritas memeluk agama Islam. Partai kecil yang di sini sangat diperhitungkan adalah Partai Damai Sejahtera (PDS) dan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK). PDS mampu memenangi suara di Halmahera Utara, tempat pemeluk agama Protestan kuat, dan PDK meraih kemenangan di Kota Ternate yang didominasi kekuatan Islam. Kemenangan PDK di sini tak lepas dari dukungan Sultan Mudaffar Sjah.

Konfigurasi politik di Maluku Utara masih sangat mungkin berubah. Salah satu sebabnya adalah pengaruh kemenangan dan kekalahan dalam pilkada. Sejauh ini hanya PKS yang konsisten memenangi pilkada di wilayah basis massanya. Sementara itu, meskipun menang di beberapa wilayah yang dikuasainya pada pemilu lalu, di Halmahera Barat, Halmahera Timur, dan Halmahera Tengah Golkar kalah dalam pilkada. Sebaliknya, meskipun tidak menang di satu pun daerah pada Pemilu 2004, PDI-P berhasil menancapkan kukunya dengan meraih kemenangan di tiga wilayah basis massa Golkar. Kekalahan Golkar menjadi kemenangan PDI-P. Tampaknya, wilayah Halmahera memang akan menjadi arena pertarungan yang ketat antara dua partai ini dalam Pemilu 2009. Namun, kekuatan Partai Demokrat dan PKS yang terus tumbuh tetap perlu diperhitungkan, selain partai-partai baru yang juga mencari peluang.

(LITBANG KOMPAS)

Politik Warna-warni di "Kepala Burung"

Oleh IGNATIUS KRISTANTO

IBARAT rumah, Papua Barat merupakan beranda dari Pulau Papua. Sisi ini umumnya untuk menerima tamu. Penghuninya pun lebih terbuka dan terbiasa menerima pengunjung dari beragam budaya dan politik. Itulah yang membuat ragam pilihan politik di wilayah ini lebih ”berwarna” daripada wilayah saudara tuanya, Provinsi Papua.

Tatkala konsep pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) mulai digelar pada tahun 2005, kabupaten dan kota di Papua Barat tak ketinggalan melakukan alih kekuasaan lokal secara demokratis. Waktu itu terdapat tujuh kabupaten dan kota yang menyelenggarakan pilkada pada tanggal 29 Agustus dan 6 Oktober. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Sorong Selatan, Raja Ampat, Fakfak, Teluk Bintuni Teluk Wondama, Kaimana, dan Manokwari.

Hajatan politik lokal tersebut tentu tidak dilewatkan oleh partai-partai besar, seperti Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Kedua partai itu ikut ”menanamkan” calonnya di masing-masing wilayah untuk bertarung dengan calon dari partai-partai yang tergolong partai kecil.

Hasil pilkada menunjukkan luluhnya kekuasaan politik partai-partai besar. Pada Pemilu 2004 wilayah ini didominasi Partai Golkar. Hanya di Kabupaten Fakfak, PPP berhasil mengungguli partai-partai nasionalis. Pada pertarungan pilkada, Partai Golkar hanya mampu menyabet satu kemenangan di wilayah Teluk Wondama, itu pun harus ditebus dengan koalisi bersama Partai Bulan Bintang. Calon Golkar saat itu, Albert Torei, berpasangan dengan Marice Pesunai Kaikatui.

Demikian pula perolehan PDI-P. Dari tujuh wilayah pilkada, PDI-P hanya meraih kemenangan di dua daerah. Di Kabupaten Teluk Bintuni, pasangan Alfons Manibui dan Akuba Kaitam memenangkan 43,6 persen suara, sedangkan di Kabupaten Manokwari oleh pasangan Dominggus Mandacan dan Dominggus Buiney.

Selain yang direbut Partai Golkar dan PDI-P, wilayah lain berhasil dikuasai oleh koalisi ”pelangi” dari partai-partai ”papan tengah”, seperti PAN, PPP, dan PBB. Di Kabupaten Sorong Selatan, koalisi Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) yang mengusung Otto Ihalauw dan Herman Tom Dedaida berhasil menang. Sementara di Kabupaten Kaimana, pasangan dari koalisi PSI, PBR, PAN, dan PPP memenangkan 36 persen suara.

Koalisi Partai Golkar-PKS tak ketinggalan menguasai wilayah pesisir barat dengan merajai kota dan kabupaten Sorong. Di kedua wilayah itu, meski tak mencapai separuh perolehan suara, koalisi tersebut berhasil menang.

Hasil tersebut menyiratkan, bukan hanya partai berhaluan nasionalis sekuler saja yang dapat menang di ajang kontestasi pilkada, tetapi juga partai-partai berideologi Islam. Partai-partai Islam, seperti PBB, PPP, dan PKS, pun mampu merebut simpati dan dukungan politik di Papua Barat. Dibandingkan dengan hasil pilkada di Provinsi Papua, corak kemenangan pilkada di Papua Barat memang lebih ”berwarna” dan beragam.

Heterogenitas pilihan

Sebenarnya, jika dirunut ke belakang, melihat pola kemenangan parpol dalam pemilu-pemilu sebelumnya, terutama di tahun 1999 dan 2004, kecenderungan ini sebenarnya sudah terlihat. Peta politik perolehan suara partai-partai pemenang memang tidak ada yang dominan.

Partai Golkar sebagai peraih suara terbanyak tidak mampu meraih separuh jumlah pemilih di seluruh wilayah yang saat ini menjadi Provinsi Papua Barat. Perolehan suara Partai Golkar dalam Pemilu 1999 hanya mencapai 42 persen, bahkan merosot menjadi 25 persen pada Pemilu 2004.

PDI-P turut merosot perolehan suaranya dalam kedua pemilu tersebut dari 33 persen menjadi 13 persen pada Pemilu 2004. Sisa suara lainnya direbut partai-partai papan tengah yang saat ini cukup berjaya di pertarungan pilkada.

Fenomena kemerosotan Golkar dan PDI-P serta kenaikan parpol papan tengah dalam dua pemilu legislatif terakhir tersebut bisa jadi mengindikasikan bahwa pilihan politik masyarakat Papua Barat terhadap partai politik semakin divergen, menyebar. ”Tapak-tapak” penyebaran ini semakin diperjelas dengan hasil pilkada yang kelihatan ”berona” karena tidak ada penguasa politik tunggal lagi di wilayah ini.

Salah satu faktor yang memengaruhi keragaman rona politik di Papua Barat dibandingkan dengan Papua adalah lebih bervariasinya kultur politik. Kultur politik ini terlihat dalam komposisi ragam budaya, agama, dan suku bangsa (terutama suku bangsa pendatang) yang ada di Papua Barat. Mayoritas penduduk Papua Barat berasal dari suku bangsa asli Papua yang terdiri atas beberapa suku bangsa.

Berdasarkan hasil sensus penduduk BPS Tahun 2000, proporsi suku asli Papua mencapai sekitar 83 persen dari total 700.000 penduduknya. Sementara suku bangsa pendatang, seperti, Jawa, Bugis, China, Madura, dan Batak mencapai 17 persen.

Apabila dibandingkan dengan Provinsi Papua, proporsi etnis pendatang di Papua Barat lebih besar (persentase etnis pendatang di wilayah Papua hanya mencapai 12 persen). Demikian juga jika dilihat dari komposisi agama penduduk. Proporsi pemeluk Kristen dan Katolik mencapai 60 persen, sedangkan Islam mencapai 39 persen. Bandingkan dengan komposisi pemeluk agama di Papua yang pemeluk Kristen/Katolik mencapai 81 persen.

Keterbukaan wilayah Papua Barat secara kultural dengan wilayah lain juga lebih menonjol dibandingkan dengan wilayah ”induknya”, Papua. Dari aspek geografis, letak wilayah Papua Barat ”berhadapan” secara langsung dengan kawasan kebudayaan Maluku, Flores, bahkan kebudayaan Bugis di Sulawesi.

Catatan sejarah menunjukkan, hubungan Papua Barat dengan dunia luar sudah terjadi sejak abad ketujuh.

Menurut Decki Natalis Pigay (2000) dalam bukunya Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua, pedagang-pedagang Persia dan India pada abad ketujuh sudah mencapai wilayah ini dan menyebutnya sebagai ”Dwi Panta” dan juga ”Samudratanta”. Dua abad kemudian, pedagang China tercatat turut masuk ke wilayah ini.

Pengaruh Islam baru masuk ke Papua Barat setelah wilayah Papua masuk dalam kekuasaan politik Kesultanan Tidore pada abad ke-15 Masehi. Semula pengaruh Kesultanan tersebut hanya berkisar di sekitar Kepulauan Raja Ampat, tetapi lambat laun masuk ke wilayah pantai barat dan pesisir utara Papua.

Sezaman dengan itu, bangsa Barat pun mulai menyentuh tanah Papua. Antonio d’Abrau, pimpinan armada laut Portugis, menemukan Pulau Papua lewat utara dan memberinya nama ”Os Papuas”. Pendaratan kapal-kapal ekspedisi Barat turut memulai penyebaran agama Kristen di tanah Papua.

Itulah dinamika sejarah dan etnis, budaya, yang akhirnya turut membentuk perilaku politik penduduk Papua Barat yang lebih ”berwarna” dan divergen dibandingkan dengan Papua. Tampaknya, ”beranda” memang lebih terbuka bersentuhan dengan dunia luar dibandingkan dengan ”ruang dalam” wilayah ini.

(Ignatius Kristanto/Litbang Kompas)

Dinamika Pemekaran ala Papua Barat

KISAH pembentukan Provinsi Papua Barat tidaklah semulus provinsi lainnya. Awalnya, wilayah yang bernama Irian Jaya Barat ini merasakan ketidakpuasan dengan berbagai gerak pembangunan yang terjadi di wilayahnya. Tokoh-tokoh Papua Barat dengan gigih berupaya meyakinkan elite di Jakarta tentang perlunya ”memisahkan” wilayah ini dengan induknya.

Alasan yang menjadi motivasi memisahkan diri ini di antaranya adalah persoalan luasnya wilayah yang dikelola dalam satu administrasi provinsi, yang berimbas kepada berbagai persoalan ketertinggalan infrastruktur dan perekonomian.

Kegigihan beberapa tokoh Papua Barat mendekati Jakarta dan menyuarakan gagasan pemekaran rupanya berbuah baik. Presiden Megawati saat itu akhirnya meluluskan gagasan tersebut dengan mengaktifkan kembali proses pemekaran Irian Jaya. Gerakan itu rupanya tak ”direstui” provinsi induknya. Pemerintah Provinsi Papua kemudian melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang akhirnya membatalkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irjabar, tetapi keberadaan Irian Jaya Barat tetap ”diakui”.

Fenomena dinamis dan keuletan para elite lokal Papua Barat tak lepas dari keinginan komponen masyarakat Papua Barat yang selalu ingin terus mengembangkan diri dan berubah. Sayangnya, keinginan berubah dan mengembangkan diri ini sekarang makin kurang terkendali, yang antara lain berbuah makin maraknya pemekaran wilayah dilakukan, terutama di wilayah pedalaman.

Menurut Ketua Yayasan Universitas Victory E Kalami, salah satu faktor penting dalam kultur orang Papua Barat adalah kuatnya rasa kesukuan, baik dalam arti politik maupun wilayah. Kentalnya rasa kesukuan ini menggiring penduduk asli Papua Barat untuk terus memekarkan diri, antara lain dengan memanfaatkan peluang pemekaran daerah. Tak mengherankan jika ”demam” pemekaran daerah sekarang ini marak di Papua. ”Walaupun belum disetujui, tetapi deklarasi pembentukan provinsi dan kabupaten terus saja digaungkan oleh sebagian elite lokal,” kata Kalami.

Pesisir-pedalaman

Secara umum bisa dikatakan, perbedaan karakter budaya pesisir dan pedalaman memang sangat kental di wilayah ini. Penduduk yang mendiami kawasan pesisir cenderung lebih bersifat terbuka karena lebih banyak berhubungan dengan dunia luar. Hubungan yang intensif tersebut membuat masyarakat di sepanjang pantai lebih majemuk, baik dalam gaya hidup maupun pandangan politik. Interaksi dengan budaya ”kota” dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka. Banyaknya pendatang dari berbagai etnis dan agama memengaruhi daerah ini hingga menjadikan corak masyarakatnya lebih pluralis.

Berbeda halnya dengan masyarakat pedalaman yang mendiami dataran rendah dan lereng-lereng pegunungan Kwoka di Sorong-Manokwari. Adat istiadat di wilayah ini dijalankan secara ketat dengan ”Pesta Babi” sebagai simbolnya. Sebagai contoh, penduduk kawasan ini sangat ketat dalam memegang dan menepati janji. Curiga terhadap orang asing yang belum dikenal merupakan hal yang lumrah. Malahan, pembalasan dendam melalui perang suku dinilai sebagai sebuah tindakan heroisme yang bertujuan mencari keseimbangan sosial.

Wilayah ini memiliki 24 subetnik Papua yang tersebar di seluruh wilayah Papua Barat. Di antaranya, suku bangsa Arfak, Hebron, dan Ransiki, banyak mendiami sepanjang pantai utara dan timur Papua dari Manokwari, Bintuni, sampai Teluk Wondama. Adapun suku Moi dan Ayamaru banyak mendiami pantai barat dan sedikit wilayah tengah, terutama di kota dan Kabupaten Sorong.

Dari banyaknya suku tersebut, rupanya isu pemekaran juga ikut terus bergaung. Bukan hanya pada tingkat kabupaten, melainkan merambah hingga tingkat pemekaran provinsi. Saat ini, walaupun belum disetujui, deklarasi pembentukan provinsi dan kabupaten baru terus digulirkan oleh sebagian elite lokal.

Salah satu upaya pemekaran provinsi yang kontroversial adalah pembentukan Provinsi Papua Barat Daya yang dimotori suku Ayamaru dan Maybrat atau biasa dijuluki A3: Aitinyo, Aifat, dan Ayamaru. Kejadian ini berlangsung pada 15 Januari 2007. Sementara itu, di tingkat Kabupaten, muncul pula isu akan dibentuknya Kabupaten Arfak, Kabupaten Maybrat, dan Kabupaten Tamrau, di mana semuanya merujuk pada identitas kesukuan.

Pengalaman bisa lepas dari induk ternyata menjadi energi untuk terus memekarkan diri. Jika tidak dibendung, setiap suku akan mempunyai kabupatennya sendiri. Mungkin, itulah dinamika buah keberhasilan lepas dari induknya yang harus direnungkan kembali dalam-dalam.

(Dwi Rustiono/Litbang Kompas)

Nostalgia dan Kohesi Agama

TERBENTUKNYA dukungan yang kuat terhadap PDI-P di NTT pada pemilu di awal Reformasi bisa dilihat dari dua sisi.

Pertama adalah keterkaitannya dengan agama. Fusi partai tahun 1973 membuat Katolik dan Protestan bersatu di bawah Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Sisi kedua adalah memori kolektif yang masih melekat terhadap organisasi politik itu, yang hadir jauh sebelum nama PDI disebut dalam fusi partai 1973. Dalam kaitan ini, PDI-P merupakan sebuah nostalgia yang melekat dengan sejarah organisasi politik yang tumbuh di masa awal pergerakan di daerah ini.

Bagi NTT, PDI adalah jelmaan dari pergerakan sosial politik yang diawali oleh Timorsch Verbond yang didirikan pada 1922 di Makassar. Ini adalah organisasi politik pertama yang mengikat orang-orang Timor ke dalam satu tujuan politik bersama. Meski mulanya lebih merupakan perkumpulan sosial, pada akhirnya kental dengan orientasi politik sehingga Belanda merasa perlu mendukung berkembangnya organisasi tandingan, Perserikatan Timor.

Walau berusaha dilumpuhkan, Timorsch Verbond tetap memainkan peranan penting di kemudian hari. Hubungan organisasi ini bahkan diperluas. Interaksi dengan organisasi Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang dipelopori oleh Soekarno dilakukan dengan mengundang perwakilannya ke dalam kongres kedua di Kupang pada tahun 1932.

Intensitas kepartaian yang meningkat menjelang akhir masa kekuasaan Belanda di Indonesia membuat beberapa tokoh Timorsch Verbond lalu mendirikan Partai Perserikatan Kebangsaan (PKT) pada tahun 1937. Tuntutan ”Indonesia Berparlemen” dan upaya menempatkan keanggotaan partai di Volksraad adalah beberapa dari aksi partai yang diketuai IH Doko, seorang guru bahasa, ini.

Pada masa pendudukan Jepang, PKT nyaris tak bergerak. Baru menjelang kemerdekaan tahun 1945, IH Doko dan kawan-kawannya menghidupkan kembali PKT, tetapi dengan nama baru. Namanya menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Segera setelah terbentuk, PDI lalu memperluas cabang-cabangnya di hampir seluruh wilayah NTT. Selanjutnya, peran PDI dalam perpolitikan wilayah ini menjadi dominan.

Sayangnya, partai ini kemudian menghilang dalam perjalanan waktu. Bahkan, pada tahun 1955, PDI tidak ikut dalam pemilu. Nama PDI baru terdengar lagi manakala pemerintahan baru di bawah panji-panji Orde Baru melakukan fusi partai. Namun, kali ini nama tersebut dipakai untuk sebuah partai berskala nasional yang menggabungkan partai-partai berhaluan nasionalis (PNI, Murba, dan IPKI) dengan Parkindo dan Katolik. Kelak, PDI inilah yang melahirkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Jika dalam Pemilu 1999 kehadiran PDI-P membuktikan kuatnya cerminan dua sisi, historis agama dan romantisme pergerakan, maka Pemilu 2004 menjadi sebuah anomali yang lebih banyak disebabkan pudarnya citra kepemimpinan di tubuh PDI-P. Perpecahan partai dan turunnya pamor kepemimpinan Megawati Soekarnoputri tidak hanya dirasakan dalam hitungan nasional, tetapi juga berimbas pada kekecewaan masyarakat lokal NTT. Reaksi spontan pemilih yang menjatuhkan aspirasinya kepada Partai Golkar membuat penetrasi kekuatan PDI-P di sini seolah lumpuh. Dalam pemilu tersebut, PDI-P hanya mampu menang di dua kabupaten (Manggarai Barat dan Sumba Barat). Daerah lainnya mutlak dikuasai oleh Partai Golkar.

Apakah Pemilu 2009 akan menjadi momen bagi PDI-P untuk kembali mendapat dukungan, tentu sangat bergantung pada bagaimana partai mampu memadukan memori kolektif dengan kohesi agama di wilayah ini. Sejauh itu masih relevan.

(BAMBANG SETIAWAN)

Ulama dan Birokrat Pegang Kuasa

BESTARI
Peta Nusa Tenggara BaratOleh Ratna Sri Widyastuti

TARIKH akhir 1997 menjadi masa kelabu Nusa Tenggara Barat. Betapa tidak, 21 Oktober 1997, ulama karismatis mereka, Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, wafat. Tiga warisan besar ia tinggalkan: ribuan ulama, puluhan ribu santri, dan sekitar seribu kelembagaan Nahdlatul Wathan yang tersebar di seluruh Indonesia.

Cuplikan kabar duka di Nusa Tenggara Barat (NTB) ini menjadi salah satu bagian dari penggalan kisah perjalanan dakwah dan politik Tuan Guru Zainuddin, yang dipaparkan H Masnun (2007) dalam bukunya mengenai Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam di NTB. Menjadi penting kisah ini dimunculkan, mengingat ketokohan Tuan Guru Zainuddin bersama jaringan ribuan ulama dan santri Nahdlatul Wathan yang dipimpinnya amat mewarnai perjalanan politik NTB semasa ia hidup hingga kini.

Semacam ini pula yang tampaknya menjadi penanda betapa sosok ataupun ketokohan seseorang, baik kaum ulama, para birokrat pemerintahan, maupun kaum bangsawan, menjadi modal terkuat dalam berbagai ajang kontestasi politik di wilayah berpenduduk sekitar empat juta jiwa ini. Partai tak lebih sebagai kendaraan politik, yang amat bergantung pada figur yang diusung. Oleh karena itu, sekalipun Pemilu 2009 mendatang turut mengakomodasikan pilihan berdasarkan tokoh, tampaknya bukan persoalan asing bagi masyarakat di NTB. Bahkan, pemilu kali ini seakan merupakan penegasan kembali kisah kontestasi politik masa lampau yang kental dengan keberadaan para ulama dan birokrat yang ditokohkan sekaligus juga menjadi referensi politik masyarakat.

Ulama Lombok

Pengaruh para ulama dalam kontestasi politik amat nyata saat Pemilu 1955 digelar. Awalnya, keberadaan pesantren dan organisasi Islam semacam Nahdlatul Wathan merupakan lambang perlawanan terhadap penguasa masa lalu yang dirasakan amat menekan eksistensi suku Sasak, suku terbesar di Lombok. Lombok sendiri merupakan salah satu pulau, bagian dari NTB selain Pulau Sumbawa. Meski Pulau Sumbawa lebih luas, penduduk yang mendiami Pulau Lombok dua kali lipat lebih banyak dari Sumbawa. Di sinilah ulama hadir, sebagaimana halnya Tuan Guru Zainuddin, sebagai patron perlindungan. Tak ayal, para pemuka agama yang telah menjadi referensi tindakan sehari-hari masyarakat di kemudian hari bertambah perannya menjadi referensi politik.

Pada mulanya, Tuan Guru Zainuddin tidak berafiliasi kepada salah satu kekuatan politik mana pun. Namun, era 1952 ia lekat dengan Masyumi. Sebuah kesadaran yang ia tawarkan bahwa berpolitik bukan hanya wilayah kaum sekuler, tetapi suatu bentuk perjuangan dalam menegakkan moralitas Islam. Masyumi menjadi rujukannya. Ia menilai parpol ini secara konsisten memperjuangkan aspirasi umat dan masyarakat Indonesia secara umum. Masuknya para ulama dalam gelanggang politik dengan sendirinya memudahkan kemenangan. Inilah kunci kesuksesan. Ketika pimpinan ulama dekat dengan salah satu parpol, seluruh anggota organisasi dari pusat hingga tingkat ranting pun mengikuti pilihan politik sang pemimpin. Pada Pemilu 1955, Masyumi mampu meraup separuh bagian suara di NTB. Di samping Masyumi, NU dan parpol Islam lainnya ”menghijaukan” hampir tiga perempat bagian NTB. Tuan Guru Zainuddin pun menjadi anggota Konstituante perwakilan Masyumi.

Pada pemilu selanjutnya, Pemilu 1971, merupakan awal depolitisasi terhadap parpol. Uniknya, pada era yang sama, Zainuddin sang pemimpin Nahdlatul Wathan juga berpindah ke Golkar. Ia bahkan menduduki kursi Dewan Penasihat Golkar di tingkat pusat. Saat Sekber Golkar berdiri, Zainuddin mengeluarkan fatwa politik: ”bagi warga Nahdlatul Wathan yang tidak pindah dari organisasi dan selain Golkar—dan selanjutnya masuk Golkar—dinyatakan telah keluar dari Nahdlatul Wathan” (Masnun, 2007). Dukungan ulama amat manjur. Pada Pemilu 1971 ini, Golkar merebut 70 persen suara di NTB. Begitupun beberapa pemilu berikutnya, kemenangan Golkar semakin tak tertandingi, meraup hingga 80 persen suara.

Kenyataan juga menunjukkan hubungan Zainuddin dan Golkar tidak kekal. Selama dua periode dalam kepengurusan Golkar, ia mulai merasakan ketidakcocokan dengan langkah-langkah politik partai itu. Tahun 1986, ia menyatakan kembali ke khitah, meninggalkan politik dan mengajak warga Nahdlatul Wathan mengikuti jejaknya. Golkar sendiri tetap berkuasa di NTB. Gerakan Reformasi 1998 yang menumbangkan Orde Baru memang menurunkan suara Golkar, tetapi partai ini tetap menjadi pemenang pada Pemilu 1999, meraih 42 persen suara. Baru pada Pemilu 2004, perolehan Partai Golkar turun drastis, hanya 24 persen suara.

Menarik diamati, keterpurukan Partai Golkar sekaligus juga kebangkitan kembali partai-partai bercorak keislaman. Secara keseluruhan, di NTB perolehan parpol bercorak keislaman mengungguli parpol bercorak nasionalis. Dari sisi urutan pemenangan, PBB, PPP, PBR mengintai penguasaan Partai Golkar, berturut-turut menempati urutan setelah Partai Golkar. Persaingan juga terjadi pada deret tengah peraihan suara antara PAN, PKS, dan PKB. Langkah PBB dari waktu ke waktu di pulau ini layak mendapatkan perhatian. Selain menduduki peringkat kedua di Pemilu 2004, PBB berhasil menjadi pemenang di Lombok. Bahkan, ia unggul dalam Pilkada Gubernur NTB saat berkoalisi dengan PKS. Calon yang diusung oleh kedua partai ini tepat, yaitu tokoh masyarakat yang mampu merebut hati pemilih. Pemuka agama sekaligus cucu dari pendiri Nahdlatul Wathan, Tuan Guru Bajang Kiai Haji Zainul Majdi, bersama H Badrul Munir berhasil menduduki kursi gubernur-wakil gubernur berkat dukungan para pemilih tradisional.

Munculnya turunan Tuan Guru Zainuddin menjadi pimpinan NTB seakan menguatkan pengaruh yang ia wariskan kepada masyarakat NTB. Begitupun ulama-ulama tenar lainnya di Lombok, yang hingga kini tetap memiliki pengaruh kuat bagi masyarakat. Dalam situasi semacam ini, pilihan politik bukanlah putusan individu yang dihasilkan dari suatu pergumulan yang bersifat rasional.

Birokrat Sumbawa

Apa yang terjadi di Pulau Sumbawa berbeda dengan di Pulau Lombok. Darmansyah, dosen Universitas Muhammadiyah NTB, memaparkan perbedaan tersebut. ”Jika tokoh yang merebut hati warga Lombok biasanya tokoh agama, penduduk Sumbawa lebih menoleh kepada tokoh-tokoh birokrat.” Ia juga menuturkan, perbedaan ini lebih dikarenakan sejarah panjang masa lalu yang berbeda antara Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Sumbawa mayoritas penduduknya adalah Suku Samawa yang berdomisili di sebelah barat Sumbawa dan suku Mbojo yang mendiami Dompu dan Bima, kedua suku tersebut tidak pernah mengalami ”direct rule” dari penjajah seperti halnya suku Sasak di Lombok. Penakluk Sumbawa lebih memanfaatkan kaum bangsawan, para sultan, di daerah ini sebagai perpanjangan tangan. Di samping itu, urusan keagamaan dilekatkan dengan birokrasi pemerintahan di masa itu dengan menyediakan satu jabatan khusus untuk bidang keagamaan dalam susunan kepemerintahan.

Situasi semacam itu menunjukkan bahwa sejak masa lalu peran elite formal sangat kuat dalam kehidupan sehari-hari dan jarang tokoh nonformal muncul menjadi panutan. Masyarakat di pulau ini cenderung patuh kepada tokoh birokrat yang ada, yang umumnya diduduki kaum bangsawan. Aspek lain juga menguatkan hal semacam ini. Pandangan masyarakat terhadap jenis pekerjaan yang diidamkan, misalnya, merujuk pada status pegawai negeri sipil dan karyawan tambang sebagai status sosial yang bergengsi. Dalam ajang kontestasi lokal pilkada pun menunjukkan perbedaan sifat dan latar belakang ketokohan. Calon-calon yang muncul dalam beberapa pilkada di wilayah ini menunjukkan sebagian besar memiliki latar belakang PNS, anggota dewan legislatif, ataupun pensiunan yang mencalonkan diri.

Dengan konfigurasi semacam ini, Sumbawa akan mudah tertebak. Partai yang menguasai sosok lokal dengan kekuatan jaringan yang dimilikinya akan menguasai wilayah. Partai Golkar, sekalipun mengalami kemerosotan dalam beberapa pemilu terakhir, di Sumbawa tetap mencatatkan prestasi. Dengan berbekal hasil Pemilu 2004 dan pilkada bupati dan wali kota, partai berlambang beringin ini pun mampu membangun kekuatan yang tergolong solid di Kabupaten Bima. Dalam skala yang lebih luas, Provinsi NTB, menunjukkan kekuatan partai ini dalam penguasaan Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Tengah. Terhadap kemenangannya ini, lagi-lagi strategi penguasaan tokoh lokal dan status sosial yang disandangnya menjadi kunci kemenangan.


(Ratna Sri Widyastuti/ LITBANG KOMPAS)

Menelusuri Jejak Penguasaan Tokoh

BESTARI
Peta Nusa Tenggara BaratKADAR ketokohan seseorang kerap kali menjadi faktor penentu dalam setiap ajang kontestasi politik di NTB. Oleh karena itu, Pemilu 2009 yang juga mengakomodasikan keberadaan sosok di samping partai politik seakan menegaskan kekhasan perilaku politik masyarakat NTB yang telah terbentuk selama ini. Jika memang ketokohan seseorang menjadi rujukan, termasuk rujukan politik masyarakat, menarik untuk diketahui lebih jauh kondisi yang memungkinkan terbentuknya kultur politik semacam ini.

Dari sisi budaya, masyarakat yang mendiami provinsi ini dapat dikelompokkan menjadi tiga suku besar, yaitu suku Sasak, penghuni mayoritas di Pulau Lombok, suku Samawa di Pulau Sumbawa bagian barat, dan suku Mbojo di timur Sumbawa. Selain ketiga suku ini, juga terdapat suku Bali yang menjadi pendatang di NTB sejak abad ke-17. Keberadaan tiga suku dan berbagai keragaman budaya yang dihasilkan, menurut M Yamin, pemerhati budaya NTB, bisa dihubungkan dengan sejarah masa lalu dan perkembangan budaya di daerah tersebut.

Lintasan sejarah menunjukkan, Lombok dan Sumbawa mendapatkan pengaruh dari Majapahit sejak abad ke-14. Pada saat itu, Laksamana Nala dari Majapahit berhasil menaklukkan kerajaan di kedua pulau ini. Kitab Negarakertagama yang dibuat pada abad ke-14 menyebutkan, Bima, Dompu, Taliwang, Seran, dan Utan Kadali sebagai daerah-daerah kerajaan lokal yang menjadi bagian dari ambisi Patih Gadjah Mada untuk ditaklukkan. Bahkan, patih Majapahit ini sempat berkunjung ke Lombok untuk melakukan inspeksi dan mengatur pemerintahan.

Ketika Majapahit runtuh, kerajaan kembar Goa-Tallo di Pulau Sulawesi bangkit dan giat memperluas kekuasaannya hingga daerah Nusa Tenggara. Pada tahun 1628, Sumbawa ditaklukkan oleh kerajaan asal Sulawesi ini dan kemudian menyusul penaklukan Kerajaan Selaparang di Pulau Lombok pada tahun 1639. Pada tahapan selanjutnya, raja-raja asal Bali juga sempat menguasai Lombok dari awal abad ke-17 hingga akhir abad ke-19. Serangkaian penaklukan terhadap kedua pulau di NTB sudah barang tentu meninggalkan jejak budaya, tetapi tentu saja dengan kedalaman yang berbeda. Menurut Yamin, suku Sasak kemudian lebih dipengaruhi oleh budaya Jawa dan Bali. Kedua suku lainnya yang mendominasi Pulau Sumbawa ternyata lebih dipengaruhi oleh kebudayaan asal Sulawesi. Perbedaan pengaruh ini kemudian terlihat jelas, antara lain dalam stratifikasi sosial penduduk di Pulau Sumbawa yang lebih sederhana dan lebih egaliter dibandingkan Pulau Lombok yang sering dianggap satu rumpun kebudayaan dengan Jawa dan Bali.

Di samping jejak budaya, sejarah panjang aristokrasi di NTB juga melahirkan sosok-sosok bangsawan. Hingga kini, kaum bangsawan tetap berperan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat dan menjadi rujukan masyarakat. Di sisi lain, pengaruh Islam yang sangat kuat di NTB pun melahirkan sosok-sosok ulama yang juga menjadi rujukan masyarakat. Menariknya, dua sosok rujukan masyarakat ini kerap bertemu dalam ajang kontestasi politik lokal. Kemenangan Tuan Guru Bajang Kiai Haji Zainul Majdi dalam pilkada Gubernur NTB, misalnya, lebih diidentikkan dengan penguasaan ulama dalam politik lokal. Pada masa-masa sebelumnya, kondisi sebaliknya terjadi dan berjalan sangat dinamis.

”Tokoh agama dan aristokrasi bersaing di Lombok. Tuan Guru dengan Lalu. Jaringan Tuan Guru dan bangsawan masih kuat di NTB,” ungkap Burhan Magenda, guru besar Ilmu Politik UI yang berasal dari Dompu, NTB. Ia juga menjelaskan bahwa sistem patron-klien yang terjalin antara tokoh agama dan pengikutnya serta antara bangsawan dengan kaumnya masih sangat kuat. Kekuatan itulah yang kerap terjadi dalam berbagai ajang kontestasi lokal di NTB.

(Ratna Sri Widyastuti)

Sublimasi Pergulatan Politik Lokal

BESTARI
Wilayah Indonesia Bagian TimurOLEH BAMBANG SETIAWAN

BAGI masyarakat Indonesia bagian timur, politik kepartaian merupakan persoalan yang berbeda dengan politik kepemimpinan. Politik kepartaian lebih berkaitan dengan bagaimana mengatasi perbedaan, sedangkan politik kepemimpinan lebih berkaitan dengan bagaimana representasi politik atas dasar kesamaan primordial. Dengan demikian, yang terjadi dan hadir kemudian adalah dua level politik: persamaan politik di level atas dan perbedaan di level bawah.

Faktor geografis menjadi sebuah fakta paling keras yang turut membentuk struktur dasar politik di wilayah Indonesia bagian timur. Karakteristik kewilayahan yang banyak dipisahkan oleh lautan membuat kesatuan-kesatuan politik terfokus pada lokalitas yang sempit.

Karakteristik geografi dan topografi di bagian timur yang berbeda dengan bagian barat Indonesia membuat ahli biologi dari Inggris, Alfred Russel Wallace, membuat garis batas yang tegas. Dalam bukunya The Malay Archipelago (1969), ia menarik garis mulai dari Selat Makassar (antara Kalimantan dan Sulawesi) terus menembus Selat Lombok (antara Bali dan Lombok). Masuk ke dalam wilayah timur dari garis Wallace ini adalah kelompok kepulauan yang meliputi Lombok, Sumbawa, Flores, Timor, Ternate, Maluku, Sulawesi, dan Irian.

Perbedaan karakteristik antara barat dan timur Indonesia ini juga bisa ditandai dari karakteristik kepulauannya. Wilayah barat yang umumnya terdiri atas pulau-pulau besar dinamai sebagai wilayah Sunda Besar atau Sunda Dangkalan karena memiliki kedalaman laut rata-rata kurang dari 100 meter. Adapun wilayah timur yang dicirikan oleh gugusan kepulauan kecil-kecil dikenal sebagai wilayah Sunda Kecil. Kelompok Sunda Besar meliputi Kalimantan, Sumatera, dan Jawa, sedangkan Kelompok Sunda Kecil meliputi Pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Solor, Alor, Sumba, Timor, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Di sebelah timur wilayah Sunda Kecil ini terdapat pula gugusan pulau yang disebut Kepulauan Maluku yang diapit oleh pulau Sulawesi dan Papua (I Gde Parimartha, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915, 2002).

Perbedaan geologis ini diduga menjadi elemen yang membawa pengaruh pada kekuatan politik di masing-masing wilayah. Di wilayah-wilayah Sunda Besar yang memiliki daratan luas biasanya terbentuk kerajaan-kerajaan besar yang wilayah kekuasaannya luas, seperti Majapahit di Jawa, Sriwijaya di Sumatera, Kutai di Kalimantan, dan Gowa di Sulawesi. Sementara di wilayah Sunda Kecil nyaris tak terbentuk kerajaan dengan pengaruh yang luas. Kecuali Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku, di Indonesia timur sulit ditemukan kerajaan yang wilayah kekuasaannya mencakup lebih dari satu provinsi di mana dia berada. Hal yang sama juga terjadi di wilayah Irian, tidak muncul kerajaan besar.

Wilayah Sunda Kecil, Maluku, dan Irian justru dicirikan oleh munculnya kerajaan-kerajaan kecil yang demikian banyak, tetapi bersifat lokalistik dan kesukuan. Kalau di Sunda Besar umumnya satu kerajaan bisa memiliki pengaruh di beberapa provinsi, di wilayah Indonesia Timur kekuasaan kerajaan sering kali terkonsentrasi di dalam batas-batas wilayah kesukuannya, yang tak jarang hanya meliputi wilayah seluas satu desa saja.

”Karena daerahnya banyak terpisah oleh laut sehingga tidak ada kesatuan politik yang kuat. Jadi, bersifat lokalistik... primordial. Banyak kerajaan dan kesultanan. Banyak aristokrasi lokal,” ungkap Burhan Djabir Magenda, guru besar Ilmu Politik Universitas Indonesia yang berasal dari Dompu, NTB.

Keterikatan individu kepada dimensi kesukuan menjadi dasar yang paling kental mewarnai politik lokal di wilayah timur ini. Padahal, di Kepulauan Nusa Tenggara saja sedikitnya terdapat 53 bahasa yang mencerminkan kelompok suku bangsa dan budaya yang berbeda, di Kepulauan Maluku terdapat 133 bahasa dan di Papua terdapat sedikitnya 269 kelompok etnis (Kathryn A Monk, dkk, 1997; JR Mansoben, 2007). Tamrin Amal Tomagola mengungkapkan bahwa dari 656 suku di seluruh Indonesia, hanya seperenam (109 suku) yang mendiami Indonesia Barat, sedangkan lima perenam (547 suku) masuk ke dalam wilayah Indonesia Timur. Karena itu dapat disimpulkan bahwa keragaman suku di Indonesia Timur lebih tinggi dari keragaman suku di Indonesia Barat (Tomagola, 2008).

Kesatuan politik yang bersifat etnisitas mengemuka dengan jelas dalam perebutan kekuasaan lokal. Merebut kepemimpinan sebagai sumber daya politik dimaknai sebagai perwujudan dari kekuatan etnik yang paling riil. Pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi ajang nasionalisme etnis, yang mempertautkan primordialitas: agama dan kesukuan.

Tiadanya dominasi kerajaan yang kuat di wilayah Indonesia bagian timur membuat kekuatan imperialisme dapat lebih leluasa menunjukkan pengaruhnya, baik dalam hal monopoli perdagangan, politik, maupun agama. Di wilayah timur, khususnya NTT dan Maluku, kekuatan imperialisme Portugis dan Belanda turut menentukan hegemoni Katolik dan Protestan yang kuat. Keterikatan ini membuat segregasi kewilayahan politik lebih diwarnai oleh dua kekuatan agama ini.

Agama dan kesukuan berjalin menjadikan primordialitas politik terasa kental. Di wilayah-wilayah di mana komposisi agama berimbang, pertarungan yang terjadi adalah perebutan kepemimpinan yang didukung oleh kelompok agama yang berbeda, seperti di Nusa Tenggara Timur. Sementara, di dalam suatu wilayah di mana terdapat pemeluk agama yang dominan, etnislah yang bermain. Pemilih terbelah dalam dukungan berdasarkan etnis atau subetnis kandidat yang bertarung, seperti yang terjadi di Maluku Utara dan pilkada-pilkada tingkat kabupaten pada umumnya di wilayah timur ini.

Sublimasi etnisitas

Berbeda dengan perebutan kekuasaan dalam kepemimpinan lokal yang bersifat primordial, pilihan orang terhadap partai umumnya lebih bersifat ideologis dan pragmatis. Pilihan kepada partai sekaligus merupakan upaya menempatkan pluralitas dalam konteks nasionalisme.

Diperlukan sebuah kekuatan pemersatu yang mampu menjembatani perbedaan etnik yang demikian banyak di wilayah Indonesia bagian timur. Maka, berbeda dengan wilayah lain, kemenangan Partai Golkar dan PDI-P di wilayah Indonesia bagian timur lebih mencerminkan usaha pengalihan atau sublimasi dari pergulatan antaretnis yang demikian kental.

”Kebanyakan Indonesia Timur itu partainya Golkar atau PDI-P karena keduanya melambangkan kemajemukan. Jadi, karena banyak suku, banyak agama, kemudian uniting-force nasionalisme menjadi kekuatan pemersatu. Sebab, orang tidak mau dianggap sebagai primordial. Walaupun dalam praktik kenyataannya primordial, dia tidak mau dianggap sebagai primordial. Dia ingin dilihat sebagai nasionalis,” ungkap Burhan Magenda.

Perwujudan kekuatan partai-partai nasionalis ditunjukkan dalam Pemilu 2004, di mana 79 persen pemilih di Indonesia bagian timur memberikan suaranya untuk partai-partai nasionalis. Terbesar diberikan kepada Partai Golkar dan PDI-P. Namun, selain itu, Demokrat, PKPI, PDK, PKPB, PNI Marhaenisme, PNBK, Pelopor dan partai-partai nasionalis lainnya juga mendapat tempat.

Meskipun di beberapa wilayah seperti di Nusa Tenggara Barat dan Maluku Utara warna partai-partai Islam juga cukup menonjol, kemenangan di level provinsi selalu diraih partai-partai nasionalis. Bahkan, pada Pemilu 1999, suara yang diberikan kepada dua partai, PDI-P dan Partai Golkar, sudah mencapai lebih dari 71 persen.

Apakah konfigurasi politik ini akan berubah dalam pemilu mendatang? Tampaknya gambaran ke arah perubahan sudah dibuka oleh pilkada. Pilkada membuat keterikatan yang lebih kuat antara individu dan elite politik, bukan partai politik. Sejumlah daerah yang dalam pemilu sebelumnya dimenangkan partai-partai nasionalis tak solid mendukung calon yang diusulkan partai nasionalis. Di NTB, misalnya, warna partai-partai bernuansa Islam lebih berkibar lewat pilkada, Partai Bulan Bintang selain banyak memperoleh kemenangan di pilkada level kabupaten kota, koalisi yang dibangunnya bersama PKS juga memenangkan pilkada tingkat gubernur di sana.

(BAMBANG SETIAWAN/ Litbang Kompas)

"Dua Wajah" yang Tak Mudah Berubah

Peta Jawa TimurOLEH IGNATIUS KRISTANTO

DALAM soal memilih partai politik, masyarakat Jawa Timur tergolong loyal. Tidak mudah tergerus oleh waktu maupun perubahan sosial politik yang terjadi. Namun, pilihannya tidak merujuk pada satu ideologi partai, melainkan dua, yakni nasionalis dan Islam tradisional. Keduanya terpilah dalam penguasaan wilayah yang berbeda, satu menang di barat, yang kedua menang di wilayah timur.

Jadwal sehari dua kandidat gubernur dalam masa kampanye pemilihan kepala daerah Jawa Timur beberapa waktu lalu bisa menjadi gambaran bagaimana peta politik lokal di sana. Pada hari yang sama, Kamis, 23 Oktober 2008, Khofifah Indar Parawansa mengunjungi makam Bung Karno di Blitar, sementara lawannya, Saifullah Yusuf, mengunjungi beberapa pondok pesantren di Pasuruan.

Apa yang mereka lakukan tentu saja dalam rangka meraih dukungan. Bentuk pencarian dukungan yang berbeda. Khofifah mencari dukungan massa nasionalis yang basisnya di daerah Mataraman, wilayah yang terletak di Jatim sebelah barat. Sebaliknya, di wilayah yang berbeda, Saifullah ingin meraih dukungan dari massa Nahdlatul Ulama (NU) yang basisnya di pondok pesantren, yang merupakan basis massa Islam tradisional.

Tradisi politik kedua kandidat itu bukan merupakan hal yang istimewa. Itu merupakan hal yang umum. Bahkan, ini menjadi semacam ”rumus baku” bagi calon kandidat bila ingin menang, wajib melakukan tradisi seperti itu.

Cuplikan berita yang muncul di surat kabar ini tentu saja sudah bisa menggambarkan dua ”wajah” politik di Jatim yang masih bertahan hingga kini. Di satu sisi ”berwajah” nasionalis, di sisi lain ”berwajah” Islam tradisional. Kedua ”wajah” ideologi pemilih tersebut tetap dipegang teguh hingga kini. Meskipun telah setengah abad berlalu dengan perubahan sosial politik yang ada, pilihan politik itu tidak lekang, tetap loyal.

Jika merunut ke belakang, pada Pemilu 1955, dua ”wajah” tersebut sudah muncul waktu itu. Namun, partai yang dipilih adalah Partai NU dan Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Pemilahannya pun tegas, PNI menguasai wilayah barat, sedangkan NU menguasai wilayah timur, wilayah Pandalungan dan Madura.

Apabila dipilah secara keseluruhan, waktu itu NU berhasil meraih dukungan 34 persen suara. Menjadi partai paling unggul. Adapun PNI berada di urutan kedua, menguasai 23 persen suara.

Ketika rezim berubah dan Orde Baru berkuasa, dua ”wajah” politik di Jatim berusaha diubah menjadi satu ”wajah” dengan menggunakan mesin politik Golkar. Akibatnya, dalam kurun Pemilu 1971 hingga 1997, partai pemerintah ini menguasai seluruh pemilu waktu itu. Perolehan suaranya pun fantastis, selalu di atas 50 persen. PNI dan NU yang masing-masing berfusi ke PDI dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hanya memperoleh sisanya. Jatim memang berhasil diubah menjadi satu ”warna”.

Dua ”wajah” politik Jatim mulai kembali lagi setelah Orba tumbang. Ketika Pemilu 1999 digelar, muncullah beraneka warna parpol baru, termasuk dari kalangan nahdliyin, di antaranya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang diketuai Megawati Soekarnoputri pun ikut bersaing. Hasilnya memunculkan wajah politik seperti pada era 1955, PKB menang di wilayah timur, sedangkan PDI-P menguasai wilayah barat.

Dua ”wajah” politik yang terpilah tegas antara sisi barat dan timur ini pun tetap berlaku lima tahun kemudian pada Pemilu 2004. Meskipun suara PDI-P mulai surut, dengan kemunculan Partai Demokrat yang berkembang di wilayah barat juga, partai ”kepala banteng” ini tetap eksis di wilayah tersebut. Sementara pilihan politik masyarakat di wilayah timur tetap, yakni PKB.

Pemilih loyal

Karakter pemilih Jatim yang terbelah dua itu dipengaruhi oleh sejarah politik dan kultur yang berbeda. Kultur politik yang berkembang di wilayah Mataraman lebih dipengaruhi oleh budaya Jawa yang berkembang di sana.

Menurut budayawan dari Universitas Jember, Ayu Sutarto, masyarakat di wilayah Mataraman sejak tahun 1955 hingga 2004 selalu ”loyal” pada partai-partai yang mengusung ideologi nasionalis.

”Mereka (orang Mataraman) tidak suka yang mencolok-colok. Misalnya Islam yang terlalu Islam itu tidak suka karena dianggap tidak nasionalis. Jadi, partai-partai yang berlabel nasionalis akan laku di sini,” ujar Ayu.

Lain halnya dengan pemilih Islam tradisional. Mereka tidak jauh dari akar sosial budayanya yang merujuk pada warga NU dengan lingkungan pesantren sebagai basisnya. Selain itu, kiai merupakan figur sentral yang menjadi anutan bukan hanya persoalan agama, tetapi juga masalah sosial ekonomi, bahkan politik para santri. Pengaruh kiai begitu kuat sehingga pilihan politik warga NU pun tak lepas dari pengaruh kiainya.

Kini dua ”wajah” politik warga Jatim akan memasuki Pemilu 2009. Peta politik partai telah berubah. PKB yang sebelumnya solid kini mengalami persoalan internal yang dapat memengaruhi perolehan suaranya. Namun, parpol yang lahir dari warga NU bukan hanya PKB. Dua ”wajah” politik tetap akan eksis, hanya berubah partai.

(Ignatius Kristanto/Litbang Kompas)

"Kuali Peleburan Budaya" di Jawa Timur

Peta Jawa TimurMENJELANG pemilihan umum digelar, jalan-jalan di seluruh pelosok Jawa Timur banyak dijejali aneka bunyi slogan dengan beraneka bahasa lokal. Sama-sama berasal dari Provinsi Jatim, orang Madura belum tentu bisa memaknai slogan dengan bahasa Jawa, begitu pula sebaliknya.

Jatim memang plural, beragam. Meskipun memegang nama ”Jawa” yang memberi kesan bahwa masyarakatnya monokultur, tetapi kenyataannya tidak. Bahkan, apabila wilayah ini dibagi- bagi lagi menjadi beberapa wilayah kecil berdasarkan kultur lokal yang berkembang, ”wajah” Jatim akan kelihatan keragamannya.

Budayawan Universitas Jember, Ayu Sutarto (2004), pernah membagi wilayah ini menjadi empat tlatah atau kawasan kebudayaan besar. Keempatnya adalah tlatah kebudayaan Jawa Mataraman, Arek, Madura Pulau, dan Pandalungan. Selain itu, masih ada enam lagi, tetapi luasan wilayah lebih kecil, yakni Jawa Panoragan, Osing, Tengger, Madura Bawean, Madura Kangean, dan Samin.

Tlatah budaya yang pengaruhnya paling luas adalah Mataraman yang berada di sebelah barat. Bentangan cakupannya dari mulai perbatasan Provinsi Jawa Tengah di barat hingga Kabupaten Kediri di timur.

Tlatah ini dinamai Mataraman karena masih mendapat pengaruh yang kuat dari budaya Kerajaan Mataram, baik pada masa Hindu-Buddha maupun era Kesultanan Mataram Islam yang berpusat di Yogyakarta maupun Surakarta. Karena itu, adat istiadatnya mirip dengan masyarakat Jateng yang berakar pada budaya ekologi sawah, agraris.

Pola permukiman desanya mengelompok dan memiliki solidaritas desa yang kuat sehingga tradisi gotong royong pun berkembang.

Di sebelah timur Mataraman adalah wilayah Arek. Batas fisik alamnya adalah Sungai Berantas. Cakupan wilayahnya membentang dari pesisir utara di Surabaya hingga ke daerah pedalaman selatan, daerah Malang. Wilayah ini tergolong paling pesat perkembangan ekonominya, 49 persen aktivitas ekonomi Jatim ada di sini. Tak heran bila arus migrasi dari wilayah lain banyak masuk ke kawasan ini.

Karena banyak bersentuhan dengan pendatang dari latar budaya, mereka membentuk budaya yang khas, budaya komunitas Arek. Mereka mempunyai semangat juang tinggi, solidaritas kuat, dan terbuka terhadap perubahan.

Kawasan komunitas budaya ketiga adalah Madura. Wilayahnya di Pulau Madura yang kondisi geografisnya sebagian besar merupakan lahan kering. Kondisi lingkungan itulah yang akhirnya turut membentuk budaya yang berbeda jauh dengan budaya Jawa.

Menurut Kuntowijoyo (2002) dalam bukunya Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, keunikan budaya Madura terletak pada bentukan ekologi tegal. Ciri yang dapat dikenali adalah pola permukiman desanya terpencar, tidak memiliki solidaritas desa, sehingga membentuk ciri hubungan sosial yang berpusat pada individual, dengan keluarga inti sebagai unit dasarnya.

Karena daerahnya relatif kurang subur, banyak orang Madura akhirnya bermigrasi ke wilayah Jatim lainnya yang subur, terutama di daerah yang sekarang disebut sebagai kawasan budaya Pandalungan.

Pandalungan sendiri berasal dari kata dasar bahasa Jawa dhalung yang berarti ”periuk besar”. Tempat bertemunya dua budaya besar, budaya Jawa dan budaya Madura, budaya sawah dengan budaya tegal yang kemudian membentuk budaya baru, Pandalungan.

Ciri khas budaya ini adalah membentuk karakter masyarakat yang agraris-egaliter, bekerja keras, agresif, ekspansif dan memiliki solidaritas tinggi, tetapi masih menempatkan pemimpin agama Islam sebagai tokoh kunci. Wilayahnya meliputi Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Lumajang, dan Jember.

Pembagian wilayah kultural ini menunjukkan bahwa Jatim memang dinamis, terus bergerak. Inilah bagian dari Jawa yang mengalami perubahan budaya yang dipelopori oleh percampuran budaya lokal. Tempat ”kuali” budaya-budaya lokal dan asing ”dileburkan”.


(Ignatius Kristanto/ Litbang Kompas)

Arena Pertaruhan "Nasionalis"

Peta Jawa TengahOLEH YOHAN WAHYU DAN IGNATIUS KRISTANTO

JAWA Tengah boleh dibilang tergolong homogen dari segi etnis dan budayanya. Mayoritas penduduknya, 98 persen, bersuku Jawa dan dalam keseharian menggunakan bahasa Jawa. Saking seragamnya, orang Jepara yang terletak di pesisir utara dapat dengan mudah mengerti ucapan bahasa Jawa yang dikeluarkan orang Kebumen yang lokasinya di pesisir selatan meskipun dengan dialek yang berbeda.

Akan tetapi, kesamaan etnis ini tidak terjadi dalam preferensi politiknya. Jepara pada Pemilu 2004 dimenangi oleh Partai Persatuan Pembangunan yang berasas Islam, sedangkan Kebumen dikuasai oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang berideologi nasionalis.

Dari sini tampak bahwa Jateng terbagi menjadi dua ”mazhab” besar, nasionalis dan Islam. Pilihan politik nasionalis lebih banyak dianut penduduk wilayah pedalaman, sedangkan partai-partai yang mengusung ideologi Islam banyak mendapat tempat di pesisir utara.

Namun, penguasaan pemilihnya lebih condong ke nasionalis. Dengan partai pemenangnya adalah PDI-P. Jika suara pemilih partai-partai nasionalis pada Pemilu 2004 digabung dan dilawankan dengan gabungan partai-partai Islam, proporsinya mencapai 60 persen banding 40 persen.

Segregasi pilihan politik ini ternyata bukan hanya bersifat struktural, tetapi juga bersifat kewilayahan. Pemilahan wilayah terjadi antara daerah pesisir utara dan pedalaman. Wilayah utara banyak dikuasai partai-partai Islam seperti PPP dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sedangkan pedalaman dikuasai oleh PDI-P.

Pemilahan wilayah politik ini hampir mirip di Jawa Timur, hanya lokasinya yang berbeda. Jika di Jatim pembagian geografisnya antara barat dan timur, di Jateng antara utara dan selatan. Pola kecenderungan politik ini relatif stabil, tidak berubah, dan sudah terjadi sejak Pemilu 1955. Ini menunjukkan seakan-akan pola politik aliran yang terjadi sejak pemilu pertama itu tidak berubah hingga kini.

Menurut Herbert Feith (1999), politik aliran memang masih kuat, khususnya di Jawa. Pilihan politik penduduk di wilayah lebih banyak dipengaruhi faktor kepercayaan dan kecurigaan daripada faktor pilihan program- program yang ditawarkan partai politik.

Fakta ini sungguh menarik. Jika ditilik sejarahnya, pandangan Feith dapat ditelusuri jejaknya. Perbedaan kultur politik pesisir utara dan pedalaman sudah terjadi sejak era kedatangan Islam di Jawa pada abad ke-14. Islam masuk lewat pesisir utara.

Menurut pandangan guru besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Prof Dr Djuliati Suroyo, wilayah pesisir atau pasisiran adalah wilayah yang relatif terbuka terhadap pengaruh luar. ”Di wilayah ini, Islam lebih mudah masuk karena pengaruh Hindu-Buddha relatif tidak sekuat di wilayah pedalaman,” kata Djuliati.

Ketika pusat kerajaan Jawa berpindah dari pesisir utara ke wilayah pedalaman, di Surakarta dan Yogyakarta mulai muncul pembagian ”kasta” wilayah berdasarkan pengaruh keraton.

Dari kacamata orang Jawa, kedua pusat kota menjadi wilayah inti, sedangkan wilayah pesisir utara tergolong wilayah monconegara.

Meskipun sejak abad ke-18 hampir seluruh Jateng secara resmi beragama Islam, intensitas keagamaannya berbeda. Pusat Islam tetap di daerah pesisir utara dan cenderung berkebudayaan santri. Sebaliknya, meskipun keraton- keraton Jawa yang terletak di pedalaman secara resmi memeluk agama Islam, dalam gaya kehidupannya pengaruh tradisi Hindu-Jawa lebih menonjol.

Pemilu 2009

Kini pegangan penduduk Jateng dalam memilih partai sebagian besar tertuju pada PDI-P. Dalam dua pemilu terakhir, perolehan suaranya tetap di urutan pertama. Bahkan dalam pemilihan gubernur pada tahun 2008, pasangan calon yang diusung partai ini, Bibit Waluyo-Rustriningsih, berhasil memenanginya. Kemenangan di dua pemilu dan pemilihan gubernur tersebut tidak hanya meneguhkan partai ini terkuat di Jateng, tetapi juga menjadikan provinsi tersebut sebagai basis politik terbesar di Jawa.

Dominasi PDI-P di Jateng tidak lepas dari menguatnya relasi politik dan budaya di provinsi ini. Budayawan dari Banyumas, Ahmad Tohari, melihat identitas konstituen PDI-P berbanding lurus dengan identitas kaum abangan dan kejawen yang begitu mengakar kuat di Jateng.

”Pernyataan orang yang mengaku sebagai simpatisan PDI-P itu sekaligus pernyataan identitas kultural mereka sebagai orang Jawa. Jadi bukan sekadar identitas politik saja,” ujar Tohari.

Namun, dominasi PDI-P di Jateng mulai mendapat tantangan. Tanda-tandanya mulai terlihat sejak perolehan suaranya menurun dari 43 persen pada Pemilu 1999 menjadi 30 persen pada Pemilu 2004.

Demikian juga yang terjadi ketika menghadapi pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota. Dari daerah-daerah yang dimenangi PDI-P pada Pemilu 2004, hanya 18 daerah yang bisa menempatkan calonnya dapat menguasai kursi bupati atau wali kota. Beberapa daerah yang sebelumnya menjadi salah satu basis pendukungnya, PDI-P tidak berhasil menempatkan kandidatnya sebagai pemenang pilkada.

Misalnya di pilkada Blora, calon yang diusung PDI-P kalah melawan calon yang diusung Golkar. Basuki Widodo- Yudhi Sancoyo meraih suara terbanyak dengan mengalahkan pasangan Hartomi Wibowo-Bambang Susilo. Demikian juga di pilkada Kabupaten Wonosobo yang tergolong daerah pedalaman, calon dari PDI-P juga kalah. Pemenangnya adalah Abdul Kholiq Arif-Munthohar yang didukung PKB dan PKS dengan meraih suara lebih dari separuh pemilih.

Hal ini juga mendapat perhatian pengamat politik dari Universitas Diponegoro, Susilo Utomo. Menurut pandangan dia, PDI-P dalam menghadapi Pemilu 2009 memang masih menjadi partai yang dominan di Jateng. Namun, semua tergantung sejauh mana soliditas internal partai ini. Ancaman yang cukup tampak menjelang pemilu ini, menurut Susilo, adalah perang antarcalon anggota legislatif (caleg), baik caleg dengan partai politik berbeda maupun caleg dari partai politik yang sama.

”Isu ideologi dalam kampanye caleg jarang disinggung, padahal kata kunci bagi PDI-P adalah berjuang untuk rakyat kecil”, ujar Susilo. Jika kampanye legislatif, terutama dari caleg PDI-P, melupakan hal ini, bukan tidak mungkin akan memengaruhi peluang partai berlambang kepala banteng mulut putih ini pada Pemilu 9 April 2009.

Potensi pemilih yang condong ke ideologi ”nasionalis” di Jateng besar, sekitar 60 persen dari total konstituen. Sebagian besar berada di wilayah pedalaman. Di wilayah inilah nantinya partai-partai ”nasionalis” lain akan bersaing dengan PDI-P. Apalagi dalam pemilu kali ini tercatat ada 26 partai yang mengusung corak kebangsaan.

(Litbang Kompas)

Geliat "Santri Kota" di Wilayah "Abangan"

Peta DI YogyakartaMESKI Muhammadiyah, salah satu organisasi sosial keagamaan besar, berpangkal dari Yogyakarta, provinsi yang pertama bergabung dengan Republik Indonesia pada awal kemerdekaan ini sejatinya adalah basis kaum nasionalis. Kekuatan politik kaum nasionalis patut mewaspadai kekuatan partai aliran keagamaan yang mulai meraih simpati konstituen Yogyakarta.

Kompetisi di antara parpol yang berhaluan nasionalis, komunis, dan Islam di DIY sebenarnya sudah terjadi sejak pemilu pertama digelar. Pada Pemilu 1955 itu, ketika DIY masih menjadi satu wilayah dengan Provinsi Jawa Tengah, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) mendominasi perolehan suara di wilayah yang saat ini menjadi wilayah DIY. PNI menang mutlak di Kabupaten Kulon Progo serta menang tipis di Kabupaten Bantul dan Sleman. Sedangkan PKI menang di Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta.

Dilihat secara provinsi, pamor partai Islam saat itu masih relatif kecil, bahkan kalah oleh Grinda, sebuah gerakan politik kaum priayi/bangsawan di Yogyakarta yang meraih suara ketiga terbanyak. Partai Islam Masyumi yang tersohor itu hanya mampu meraih peringkat keempat.

Pada era pemilu berikutnya, kekuatan politik Golkar telah mampu menggiring suara bagi partai ”beringin” itu. Bahkan, sebelum fusi parpol diberlakukan tahun 1971, Golongan Karya yang mampu mendefinisikan dirinya dalam birokrasi mendapat suara terbanyak meski masih dibayang-bayangi perolehan Partai NU.

Seperti halnya ”nasib” mayoritas provinsi di Indonesia, sepanjang pemilu masa Orde Baru, Golkar menang mutlak di DIY. Namun, kemenangan parpol tersebut tak pernah lebih besar dari 71 persen. Sebagian pemilih yang berdomisili di Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta cenderung loyal berpihak pada partai nasionalis. Bahkan, perolehan suara Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dari pemilu ke pemilu dalam kurun waktu 20 tahun (1977-1997) di dua wilayah tersebut cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Afiliasi keislaman

Pemilu langsung yang terselenggara tahun 1999 mengukuhkan citra wilayah ini sebagai basis nasionalis. PDI-P sebagai representasi dari parpol nasionalis menang mutlak di semua kabupaten/kota di DIY dan berhasil meloloskan 15 wakilnya di kursi DPRD provinsi. Selain bangkitnya pemilih nasionalis, pada saat yang sama basis-basis konstituen partai Islam rupanya turut berkembang. Kekuatan politik Islam tampak dari ”menyeruaknya” perolehan suara Partai Amanat Nasional (PAN) yang meraih tempat kedua dengan 17,27 persen suara, mengalahkan Golkar di tempat ketiga dan PKB di tempat keempat.

”Kemenangan” politik PAN dengan meraih tempat kedua dalam Pemilu 1999 menandai bangkitnya kekuatan politik yang berafiliasi kepada identitas keislaman. Meski parpol ini secara platform bersifat terbuka, tak terhindarkan terbentuknya afiliasi politik yang dekat dengan simbol keislaman, terutama gerakan Muhammadiyah yang lahir di Yogyakarta. Malah bisa dikatakan, PAN memiliki massa riil pendukung yang dikonstruksi dan terbentuk dari jumlah massa Muhammadiyah di wilayah ini.

Perolehan suara PAN dalam Pemilu 2004 mencapai 342.921 suara. Sedangkan dari proyeksi data pemilih Pemilu 2004, diperkirakan pemilih potensial PAN sebenarnya mencapai 544.325 jiwa lebih atau 1/7 jumlah penduduk.

”Orang Muhammadiyah memilih PAN bukan karena partai (kuasi) Islam. Bukan pula karena parpol itu berwatak plural. Orang Muhammadiyah memilih PAN semata karena parpol itu ’baju’-nya Muhammadiyah,” kata Sigit Pamungkas, pengajar pada Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol, UGM.

Dengan habitat sosial semacam itu, tak heran, PAN yang sebenarnya ”pendatang baru” dalam percaturan politik di DIY dengan cepat meraih simpati konstituen. Terbukti, Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul merupakan lumbung suara PAN pada tahun 1999. Di wilayah-wilayah itu PAN mengalahkan Golkar dan menduduki peringkat kedua di bawah PDI-P.

Sifat kelompok santri di DIY dalam berpolitik saat ini tak berbeda jauh dengan masa lalu. Kelompok ini relatif ”patuh” pada afiliasi keagamaannya meski tak selalu setuju dengan pandangan organisasi sosial keagamaan yang menjadi referensinya. ”Konstituen yang termasuk kaum santri di Yogyakarta cenderung ’manut’ atau mengikuti pilihan politik orang-orang yang punya komitmen sosioreligi sama,” kata Sigit Pamungkas.

Di lain pihak, pemilahan karakter pemilih pemilu Yogyakarta yang relatif terdidik dan melek informasi membuka pintu bagi kehadiran parpol kuasi agama seperti PAN. Partai kuasi menjadi partai ”alternatif” ketika baik konstituen Muslim maupun non-Muslim mendapati kekecewaan dengan parpol nasionalis, seperti PDI-P dan Golkar. Itu terbukti dari perolehan suara PAN dalam dua pemilu langsung (1999-2004) yang memang cenderung tetap (17 persen), sementara suara parpol-parpol nasionalis justru semakin turun.

Merosotnya perolehan suara parpol nasionalis dalam Pemilu 2004 menjadi fenomena tersendiri. PDI-P yang mengantongi sedikitnya 35 persen suara pada Pemilu 1999 menurun hampir 10 persen. Partai Golkar juga berkurang suaranya meski tak terlampau besar. Di sisi lain, perolehan suara parpol berbasis massa Islam yang direpresentasikan oleh PAN, PKB, dan PKS cenderung kokoh, bahkan meningkat. Apakah ini merupakan tanda mulai tergerogotinya kekuatan politik di basis kaum nasionalis?

Kultur nasionalis

Kedekatan sosiopolitik pemilih DIY pada ideologi nasionalis tak lepas dari peran Keraton Yogyakarta sebagai patron kultural dan sosok yang cenderung mengedepankan paradigma nasionalisme dalam berkomunikasi politik kepada rakyat Yogyakarta. Salah satu contoh konkret adalah penggabungan wilayah ini dengan ”bayi” negara RI pada masa kemerdekaan serta dukungan kuat Sultan Hamengku Buwono IX terhadap perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

Menurut Arief Akhyat, pengajar Jurusan Sejarah UGM, nasionalisme terbentuk pula dari perjalanan sejarah sosial ekonomi masyarakat Yogyakarta. Pascakemerdekaan, sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk DIY, terperangkap kemiskinan. Semakin jauh letak suatu kawasan dari Keraton Yogyakarta, semakin ”berjarak” pula kesejahteraan penduduknya dengan kemakmuran. Pada Pemilu 1955, kondisi yang demikian menjadi lahan garap potensial bagi PNI dan PKI yang menjunjung konsep marhaenisme dan keberpihakan kepada kaum papa, sebuah isu yang kini banyak digaungkan kembali oleh partai-partai nasionalis.

Di samping faktor penguat identitas nasionalis tersebut, posisi Yogyakarta sebagai kota ”pendatang” tempat bernaungnya berbagai institusi pendidikan memberikan perkembangan warna politik tersendiri yang cenderung dinamis bagi perubahan. Partai-partai mapan, seperti PDI-P dan Golkar, terpaksa berbagi suara pemilih dengan parpol nasionalis baru, seperti Partai Demokrat. Hal itu tampak dari perolehan Demokrat di DIY yang cukup berarti, sekitar 6 persen suara. Tampilnya sosok Susilo Bambang Yudhoyono ke tampuk teratas pemerintahan agaknya menjadi penarik dukungan yang cukup efektif untuk menarik simpati pemilih partai-partai nasionalis tradisional.

Kian menyebarnya dukungan kaum nasionalis tradisional kepada Partai Demokrat maupun partai nasionalis-sekuler lainnya bisa jadi bakal makin menyurutkan pamor partai nasionalis mapan seperti PDI-P dan Golkar. Belum lagi kehadiran partai nasionalis baru seperti Gerindra dan Hanura yang gencar mempromosikan nilai-nilai keberpihakan kepada rakyat.

Selama dua pemilu terakhir (1999-2004), tampak proporsi perolehan parpol nasionalis dan Islam sebenarnya relatif tetap. Pada Pemilu 1999, pemilih parpol Islam di wilayah ini mencakup 44 persen, sedangkan pemilih partai nasionalis sekitar 56 persen. Komposisi ini terulang kembali dalam jumlah relatif sama pada Pemilu 2004. Artinya, pemilih nasional dan pemilih Islam relatif loyal kepada ideologi yang dianut, tetapi bisa jadi beralih ”baju” kepada partai lain, asalkan ideologinya sama.

Bersandar pada fakta hasil dua pemilu langsung dalam sepuluh tahun terakhir, diprediksi parpol yang mengusung ideologi nasionalis masih tetap eksis di DIY. Konstituen Yogyakarta yang sebagian besar ”abangan” menjadi segmen pangsa potensial bagi parpol-parpol nasionalis. Tiga parpol nasionalis yang bakal berkompetisi cukup ketat adalah PDI-P, Partai Golkar, dan Demokrat, selain partai baru seperti Gerindra dan Hanura. Namun, PAN, PKB, PKS, dan parpol berhaluan Islam lain juga potensial menjadi pilihan warga Yogyakarta. Tinggal kelincahan parpol memanfaatkan waktu menuju 9 April 2009, melimbang suara konstituen DIY yang masih mungkin bersulih.


(NURUL FATCHIATI/ Litbang Kompas)

Sosok Keraton dalam Politik

DIDIE SWKERATON Yogyakarta adalah simbol budaya adiluhung Jawa, khususnya yang bernuansa Mataraman. Hingga kini, keraton yang berdiri dua setengah abad lalu itu masih menjadi patron kultural masyarakat di DIY dan sebagian Jawa Tengah. Namun uniknya, meski kental mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat, keraton tak serta-merta menjadi patron dalam berpolitik.

Lantas, di manakah letak Keraton Yogyakarta dalam konteks pemilih pemilu dan seberapa besar pengaruh tokoh terhadap pilihan politik?

Arif Akhyat, pengajar pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, menyatakan, Keraton Yogyakarta sebagai patron budaya sebenarnya mengakar kuat hingga ke masyarakat bawah. Sebagai institusi, keraton sebetulnya menjadi patron perubahan dalam masyarakat, termasuk orientasi pilihan politik. Namun, kekuatan pengaruh keraton tersebut berlaku pada kalangan tertentu semata, yaitu pada orang Yogyakarta asli dan pendatang yang telah menyatu secara kultural dengan keraton.

Selain itu, sikap politik Keraton Yogyakarta yang secara demokratis membebaskan pilihan politik rakyat menjadikan peta politik DIY menjadi cenderung ”netral” dari intervensi perintah keraton. Pada titik tertentu, sikap keraton yang sebenarnya sangat dipatuhi oleh kawula Yogyakarta itu menempatkan citra keraton lebih berfungsi sebagai institusi budaya ketimbang politik (Sultan HB X sebagai Raja Yogyakarta adalah Gubernur DIY, sekaligus pimpinan Golkar).

Dengan demikian, tak mengherankan jika publik Yogyakarta memandang Keraton Yogyakarta sebagai patron budaya, tempat nilai-nilai budaya Jawa dilestarikan. Namun, dalam berpolitik, publik Yogya bisa memiliki pilihan politik yang berbeda. Secara sederhana, hal itu juga tecermin dalam polarisasi dukungan kerabat Keraton Yogyakarta terhadap patron keraton, yaitu Sultan Hamengku Buwono X. Prabukusumo, adik HB X, contohnya, cenderung mendukung Partai Demokrat dan calon presiden yang diusung parpol tersebut dalam Pemilu 2009.

Meski demikian, patron budaya itu terbukti sewaktu-waktu bisa menjadi sebuah patron politik manakala pihak keraton atau Sultan HB X sendiri memerintahkan sebuah gerakan politik, sebagaimana terjadi pada ”Aksi Massa Reformasi” Mei 1998. Demikian juga terkait dengan pencalonan Sultan HB X sebagai presiden, terlihat peran Keraton Yogyakarta yang kembali dilibatkan dalam kancah politik melalui acara ”Pisowanan Agung”. Dalam kasus-kasus semacam itu, terbukti Keraton Yogyakarta masih memiliki pamor kuat untuk menggerakkan pilihan politik publik Yogyakarta.

Santri dan abangan

Dalam situasi bebas, menurut Sigit Pamungkas, potret karakter konstituen Yogyakarta sejauh ini tak bergeser banyak dari hasil kajian Afan Gaffar dalam buku Javanese Voters: A Case Study of an Election Under a Hegemonic Party System in Indonesia. Pemilih cenderung menetapkan preferensi politiknya sesuai dengan komitmen sosioreligi yang diyakini. Secara sederhana, pemilih masih terpilah dalam kelompok santri dan abangan. Kelompok ”santri” cenderung memilih partai politik berhaluan Islam, sedangkan ”abangan” lebih condong memilih parpol non-agama, seperti parpol berideologi nasionalis atau sosialis.

Dalam konteks kekinian, ”santri” tak sekadar mengacu pada kalangan pondok pesantren atau mereka yang belajar kepada kiai (nyantri). ”Santri” mencakup konteks yang lebih luas, yaitu mereka yang bersimpati atau berafiliasi pada organisasi sosial keagamaan (Islam) tertentu. Tak terbatas pada organisasi sosial keagamaan yang sudah lama eksis di Indonesia saja, seperti NU atau Muhammadiyah, tetapi juga organisasi Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia. Sementara itu, ”abangan” mereferensi kelompok masyarakat di luar santri, termasuk pemeluk Islam yang nonpartisan terhadap organisasi sosial keagamaan tertentu.

Heterogenitas komposisi penduduk DIY saat ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi parpol untuk menggarap pemilih Yogyakarta. Kemampuan memetakan konstituen dalam kantong-kantong santri dan abangan akan lebih memudahkan parpol dalam melakukan pendekatan yang efektif guna meraih suara konstituen pada Pemilu 2009.

(NURUL FATCHIATI)

"Jembatan Politik" Jawa- Sumatera

BESTARI
Peta Provinsi BantenOLEH IGNATIUS KRISTANTO

BANTEN memiliki posisi yang istimewa, yaitu sebagai ”jembatan penghubung” antara Jawa dan Sumatera. Sebagai ”jembatan”, ia pun mudah terpengaruh oleh kedua sisi wilayah yang dihubungkannya. Baik itu pengaruh budaya maupun preferensi politiknya.

Bagian Jawa yang luasnya meliputi sepertiga Pulau Jawa ini sejak dulu memang mendapat pengaruh dari kedua sisi, baik dari kerajaan yang berkuasa di Sumatera maupun di Jawa. Berlapis-lapis budaya pernah memengaruhi masyarakat Banten.

Menurut Claude Guillot (2008) dalam bukunya Banten, Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, pada awalnya Banten didirikan oleh bangsawan dari kerajaan di Jawa Tengah yang berlatar Hindu pada abad ke-10. Pada tahun 1016, wilayah ini kemudian dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya yang berlatar budaya Melayu. Setelah itu, penguasanya berganti ke Pajajaran yang berpusat di Bogor sekitar tahun 1400. Pengaruh budaya Jawa kembali masuk Banten setelah wilayah ini dikuasai oleh Kerajaan Demak. Namun, kali ini Demak sekaligus juga ”membawa” Islam.

Latar sejarah yang mendapat berbagai pengaruh budaya tersebut membuat masyarakat Banten terbuka akan perubahan. Di masa kini, perubahan budaya ini memengaruhi juga perubahan politik masyarakatnya.

Perubahan politik ini dapat ditelisik dari pemilihan umum yang terjadi sebelumnya. Pada Pemilu 1955, misalnya, wilayah yang waktu itu masih bergabung dengan Provinsi Jawa Barat ini dimenangi oleh Partai Majelis Syuro Indonesia (Masyumi). Partai berideologi Islam ini memang mendominasi wilayah Sumatera pada waktu itu.

Ketika Orde Baru berkuasa, ”jembatan penghubung” ini berhasil diwarnai oleh penguasa dengan warna tunggal, kuning. Mesin politik Orde Baru waktu itu, Golkar, berhasil menguasai seluruh wilayah Banten. Dalam penyelenggaraan Pemilu dari 1971 hingga 1997, Golkar selalu meraih mayoritas suara di wilayah tersebut.

Wilayah Banten kembali menjadi ajang perebutan politik oleh partai-partai dari beraneka ideologi setelah pemilu secara demokratis kembali dilakukan pada tahun 1999. Kali ini Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang berhasil mengambil ”jembatan penghubung” tersebut. Kali ini pula partai yang banyak dipilih oleh ”masyarakat Jawa” ini yang mampu menguasai wilayah Banten. Perolehan suaranya mencapai 35 persen. Jadi, orientasi pilihan politik masyarakat Banten serupa dengan seluruh Jawa.

Lima tahun kemudian, Pemilu 2004, orientasi politik sebagian besar masyarakat Banten berubah kembali. Kali ini sama dengan yang dipilih oleh warga di Sumatera, yakni Partai Golkar. Seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Banten dikuasai oleh partai berlambang beringin ini. Secara keseluruhan, partai ini mampu meraih 22 persen suara.

Dalam pemilihan kepala daerah untuk memilih gubernur dan wakilnya yang berlangsung pada tahun 2006, komposisi pilihan masyarakat Banten juga berubah. Pilkada ini memang dimenangi oleh pasangan Ratu Atut Chosiyah-M Masduki yang didukung oleh koalisi Partai Golkar, PDI-P, PBB, PBR, dan PDS, tetapi yang istimewa adalah perolehan suara yang diraih calon yang didukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meskipun kalah, partai berideologi Islam yang mengusung Zulkieflimansyah-Marissa Haque itu mampu meraih 30-an persen suara. Bahkan, besaran angka ini melampaui perolehan suara yang diraih Partai Masyumi pada tahun 1955 yang mencapai 26 persen.

Berbagai pemilu tersebut mengindikasikan bahwa pilihan politik masyarakat Banten sering berubah. Apakah ini berarti menyalahi pandangan Herbert Feith (1999) yang mengungkapkan bahwa preferensi politik masyarakat Jawa relatif tetap, termasuk Banten, yaitu masih bersandar pada politik aliran?

Jika merujuk pandangan Feith tersebut, apabila pemilahannya berdasarkan politik aliran yang lebih luas, yakni partai-partai Islam dan nasionalis-sekuler, pandangan tersebut masih terbukti kebenarannya. Hal ini dapat dilihat dari hasil penggabungan perolehan suara partai-partai berideologi Islam dan berbasis massa Islam, dilawankan dengan perolehan suara gabungan partai-partai sebaliknya, nasionalis-sekuler. Hasilnya tetap, gabungan suara partai-partai Islam meraih sekitar 40 persen, sedangkan partai-partai nasionalis-sekuler mendapat kurang lebih 60 persen. Proporsi ini hampir sama antara Pemilu 1955, Pemilu 1999, dan Pemilu 2004.

Akan tetapi, jika dilihat secara rinci berdasarkan perolehan suara masing-masing partai dari ke tiga pemilu tersebut terus berubah. Tidak ada partai politik yang stabil mempertahankan perolehan suaranya di sini.

Utara-selatan

Meskipun secara keseluruhan pilihan politik masyarakatnya terhadap partai sering berubah, hal itu ternyata tidak terjadi di semua bagian wilayahnya. Perbedaan dari sisi perubahan politik ini lebih terasa apabila dipilah antara wilayah utara dan selatan Banten.

Masyarakat di wilayah utara, di Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang, relatif lebih gampang berubah dibandingkan dengan wilayah selatan, yaitu Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Ini bisa dilihat dari hasil perolehan suara PDI-P dalam dua pemilu terakhir.

Pada Pemilu 1999, suara PDI-P di wilayah utara mencapai 35 persen, lima tahun kemudian merosot menjadi 13 persen. Lain dengan di wilayah selatan, sebelumnya mencapai 34 persen kemudian menjadi 18 persen. Wilayah utara perubahannya lebih besar dibandingkan dengan wilayah selatan.

Dalam banyak hal, perkembangan di wilayah utara memang lebih dinamis. Misalnya seperti yang terlihat pada sisi ekonomi antara utara-selatan yang timpang. Kegiatan ekonomi Banten 90 persen ada di wilayah utara. Industri-industri besar banyak dibangun di wilayah ini, seperti di Cilegon dan Tangerang. Akibatnya, banyak pendatang dari berbagai provinsi mencari rezeki di sini. Inilah yang berdampak pada komposisi penduduknya. Oleh karena itu, orientasi pilihan politiknya pun berubah berdasar latar etnis dan budayanya.

Ciri khas hubungan pilihan politik dan etnis ini dapat dilihat di Kabupaten dan Kota Tangerang. Di kedua wilayah yang merupakan tempat limpahan penduduk pendatang dari Jakarta ini, proporsi etnis Jawa mencapai 30 persen, paling banyak di antara daerah lain di Banten, ternyata perolehan suara PDI-P hampir setara dengan jumlah orang Jawa di sini.

Itulah Banten. ”Jembatan penghubung politik” ini dapat berubah sewaktu-waktu. Partai-partai politik yang bertarung di Pemilu 2009 mempunyai peluang yang sama besar untuk menaklukkan daerah ini, tergantung pengaruh siapa yang menang dari dua sisi yang mengapitnya.

(Ignatius Kristanto/ Litbang Kompas)